Kanal

Pemilu Curang, Ibarat Kentut, Tercium tapi tak Terlihat

Pemilu curang! Dua kata ini, akhir pekan kedua September 2022 kembali ramai diperbincangkan. Adalah Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat yang mengingatkan semua pihak, soal kemungkinan terjadinya kecurangan pada pemilu 2024 nanti.

“Para kader mengapa saya harus turun gunung menghadapi pemilu 2024 mendatang? Saya mendengar, mengetahui bahwa ada tanda-tanda pemilu 2024  bisa tidak jujur dan tidak adil. Konon, akan diatur dalam pemilihan presiden nanti, yang hanya diinginkan oleh mereka dua pasangan capres dan cawapres saja yang dikehendaki olelh mereka,” papar SBY di depan ribuan kader yang hadir dalam Rapimnas Partai Demokrata di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Jumat (16/9/2022).

Tuduhan SBY ini mendapat reaksi beragam. Ada yang mengiyakan, tetapi tidak sedikit pula yang menyerang balik SBY. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto misalnya, justru menuding SBY lah yang pernah menjegal PDIP pada Pemilu 2009.

“Tahun 2009 sebenarnya elite PDI Perjuangan dengan PPP, dengan Pak Suryadharma Ali, sebenarnya sudah merencanakan kerja sama, sehingga kami memenuhi syarat-syarat presidential threshold. Tetapi di putaran terakhir, ada penjegalan, sehingga pada akhirnya PDI Perjuangan bekerjasama dengan Gerindra,” kata Hasto kepada wartawan, Minggu (18/9/2022).

Lepas dari jegal menjegal ini, dugaan pemilu curang bukanlah barang baru. Bahkan di belahan dunia lain fakta pemilu curang ini nyaring terdengar. Kecurangan pemilu di Liberia tahun 1927 misalnya, sampai tercatat di Guiness World Book of Record.

Mantan Presiden Liberia Charles King dilaporkan sebagai pelaku kecurangan dalam pemilu. Ia dianggap curang karena memanipulasi jumlah suara. Dalam pemilu tersebut, pemilih yang terdaftar berjumlah 15 ribu orang. Namun, King memenangkan 243 ribu suara. Sementara Thomas Faulkner yang menjadi lawannya hanya mendulang 9.000 suara.

Sengketa Pemilu Indonesia

Bagaimana di Indonesia? Menko Polhukam Mahfud MD menyebut kecurangan dalam pemilu sudah terjadi dari sejak zaman dahulu hingga sekarang meski dalam bentuk yang berbeda.

“Pemilu itu (ada) curang, ya curang. Tapi beda curang yang dulu dengan yang sekarang. Curang yang dulu itu yang curang itu pemerintah melalui LPU memenangkan Golkar. Itu namanya ABG, ABRI, Birokrasi, Golkar bersatu menguasai politik, dari atas curang Pemilunya dulu,” ujar Mahfud dalam Seminar Nasional di UGM, Sabtu (27/8/2022) lalu.

Saat ini, kata Mahfud, kecurangan terjadi secara horizontal, yakni saling curang antarpartai politik. “Sekarang curangnya horizontal. Partai politik ini mencurangi partai politik ini. Partai politik ini yang satu curang di Jogja, yang satu curang di Surabaya yang satu curang di Bangkalan, yang satu di Papua. Sama-sama curang, horizontal,” ucap Mahfud.

Meski tetap ada kecurangan, Mahfud menyebut hal yang membedakan dulu dan sekarang adalah hadirnya pengadilan pemilu, yakni Mahkamah Konstitusi (MK).

Nah soal pengadilan pemilu di MK sejauh ini memang berjalan. Pada pemilu 2019 lalu, Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno resmi mengajukan gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum  2019 ke MK, Jumat malam (24/5/2019). BPN Prabowo-Sandi menemukan 1.261 laporan tindakan kecurangan dalam pemilu 2019.

Hasil putusan MK, tidak jauh dengan gugatan yang pernah dilayangkan saat pilpres 2014. Tentu kita masih ingat ketika pada Pilpres 2014, Prabowo-Hatta Rajasa juga mengajukan gugatan ke MK. Ketika itu pasangan ini menuding ada sejumlah kejanggalan proses pemilu di 52 ribu TPS.

Pada tanggal 21 Agustus 2014, MK akhirnya menolak seluruh gugatan kubu Prabowo karena tidak terbukti adanya kecurangan yang massif, sistematis, dan terstruktur.

Bedanya, di Pilpres 2014 tidak terjadi kerusuhan berarti. Sementara pada 2019 massa pendukung Prabowo-Sandi turun ke jalan, berunjuk rasa di Bawaslu yang berujung pada korban tewas, penjarahan, dan bentrokan aparat dan sipil.

Dari catatan sejarah ini, rasanya sulit membuktikan adanya kecurangan pemilu melalui MK. Apalagi berharap mengubah pemenang manjadi pecundang. Kecurangan pemilu ibarat orang kentut, tercium tetapi tidak terlihat.

Tiga Sebab Kecurangan

Aditya Perdana, Assistant Professor Universitas Indonesia dalam The Coversation yang terbit 30 Januari 2020, merilis riset yang menemukan tiga sebab praktik kecurangan pada pemilu 2014 dan 2019.

Pertama, relasi patronase yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, caleg dan pemilih. Patronase politik adalah penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral. Setiap caleg atau pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah merasa perlu mengeksploitasi relasi personal, patronase, ataupun kekerabatan demi kemenangan yang ingin diperoleh.

Relasi yang terbangun ini melibatkan hal-hal material dan non-material sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut. Aspek material adalah biaya politik, sementara non-material berupa hubungan yang bersifat sosial dan kultural yang disebabkan karena kekerabatan ataupun hubungan kedekatan secara personal.

Kedua, sistem pemilu yang ada mendorong caleg menghalalkan segala cara untuk menang. Sistem pemilu legislatif Indonesia adalah open list proportional representation, yaitu seorang caleg dapat terpilih karena mendapatkan suara terbanyak dalam daftar terbuka di partainya. Dalam sistem tertutup  yang pernah digunakan di pemilu sebelum 2004, terpilihnya seorang caleg ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.

Sistem ini mendorong para caleg berlomba mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Salah satu akibatnya, kompetisi para caleg di internal partai sangat ketat dan keras. Caleg yang merasa punya potensi kemenangan besar akan melakukan manipulasi suara dengan penggelembungan ataupun pengurangan suara dari lawannya sesama partai, ketimbang lawan dari partai lain.

Contoh, Amran, seorang caleg DPRD Kabupaten Bintan, Riau, dari Golkar mengajukan gugatan ke MK di pemilu 2019 terhadap rekan separtainya, Aisyah. Amran mengklaim kehilangan sejumlah suara di sebuah TPS di  Bintan Timur dan di saat yang bersamaan, Aisyah mendapat tambahan suara.

Ketiga, masih lemahnya sistem pendukung dalam pemilu kita yang dapat membuka celah terciptanya manipulasi suara. Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang.

Data pemilih dalam setiap pemilu kita selalu menjadi masalah serius karena data tidak pernah akurat. Sementara itu, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara. Masih ada celah untuk mengubah angka penghitungan suara di tingkat TPS hingga kecamatan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button