News

Pendekatan Hukum di Paniai Belum Cukup Atasi HAM Papua

Penanganan perkara HAM di Papua sudah memasuki babak baru dari sisi hukum. Hal ini dibuktikan dari penanganan perkara HAM berat Paniai, di mana Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan seorang tersangka, purnawirawan TNI berinisial IS.

Sekalipun begitu, penanganan kasus-kasus HAM di Papua tak cukup hanya mengandalkan penegakan hukum. Butuh dukungan dari lintas sektor kementerian/lembaga untuk mencegah siklus kekerasan terulang di Bumi Cenderawasih.

“Sebaiknya seluruh kementerian/lembaga terkait perlu mendukung proses penyelesaian kasus Paniai dari aspek keadilan hukum bagi korban. Jangka panjangnya untuk mengatasi sumber kekerasan yang berpotensi mereproduksi kekerasan baru,” kata Koordinator Jaringan Damai Papua, Adriana Elisabeth, di Jakarta, Minggu (3/4/2022).

Adriana mengapresiasi langkah Kejagung menetapkan tersangka perkara HAM berat di Paniai, karena hal ini turut membuktikan keseriusan pemerintah menegakan HAM di Papua. Namun dia juga meminta penanganan kasus ini dimonitor hingga tuntas.

“Kalau sebelumnya terhambat karena perbedaan antara Kejagung dan Komnas HAM, kali ini merupakan langkah awal yang perlu diapresiasi sekaligus dipantau kelanjutan dan penuntasannya,” tutur peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI yang kini telah dileburkan ke dalam BRIN.

Dia tidak mau menanggapi spekulasi adanya faktor lain yang memicu tragedi Paniai. Pasalnya, keterangan dari korban menyebutkan pelaku berasal dari unsur tentara.

Penelitian yang pernah diadakan LIPI terhadap konflik di Papua menyimpulkan akar persoalan yang mengakibatkan peristiwa kekerasan berasal dari beragam faktor. Salah satunya trauma masyarakat kepada aparat.

Penelitian itu pula yang menunjukan pendekatan pemerintah pusat terhadap Papua dengan konsep pembangunan dan keamanan tidak relevan lagi. Pasalnya, masyarakat Papua membutuhkan komitmen membangun Papua dari pemerintah yang dapat diwujudkan melalui dialog.

Adriana menyambut baik sikap Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang menyatakan bakal menerapkan paradigma baru di Papua. Namun dia juga menunggu penjelasan lebih lanjut tentang pendekatan humanis yang dimaksud panglima.

“Salah satu dampak konflik adalah trauma, tetapi sebagian masyarakat memiliki mekanisme pertahanan diri untuk move on dan tidak terjebak dalam siklus konflik yang sangat lama. Panglima telah menyampaikan pendekatan humanis untuk Papua, ini baik. Namun harus disampaikan kepada masyarakat Papua apa maksudnya,” tuturnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button