Pendidikan, Gawai, Relasi Keluarga


Minggu lalu saya memberi paparan terkait Gadget dan Digitalisasi Pendidikan: Aktor dan Relasi dalam keluarga di SDIT Bina Bangsa di Kota Cirebon. Uniknya, Kepala SDIT yang mengundang menyertakan jurnal karya Malgorzata Sikorska (2020) berjudul ‘Addictive for children and helpful to parents: electronic devices as non-human actor in family relations dan menyatakan beberapa keresahannya. Pertama, adanya kewajiban dari Dinas Pendidikan untuk melaksanakan digitalisasi pada seluruh aspek sementara perangkat yang dimiliki oleh sekolah belum memadai. Kedua, dalam amatannya para siswa SD-SMP cenderung lebih suka bermain gawai di luar konteks pendidikan. Dan ketiga, ada situasi di mana anak-anak kecanduan gawai, namun perhatian dari orangtua kurang memadai karena posisi mereka yang sibuk bekerja.

Keresahan dari sang Kepala SD berdasarkan konteks riset dan observasinya di keseharian selama bertugas. Apresiasi tinggi untuk para pendidik yang mengungkap keresahan dari pengalaman faktual dan juga pendalaman literatur terkini. Untuk memberikan paparan yang optimal, saya pun kemudian mencoba menelusur beberapa artikel, buku, dan laporan-laporan jurnalistik terkait isu tersebut. Paparan tersebut saya coba narasikan dalam tulisan ini.

Salah satu buku menarik yang saya baca karya Jonathan Haidt berjudul The Anxious Generation: How the Great Rewiring of Childhood is Causing an Epidemic of Mental Illness. Ada kisah yang dituturkan Haidt tentang Alexis Spence, seorang remaja putri, yang mengalami kecemasan, gangguan makan, dan depresi sepanjang masa remaja. Ia bahkan harus dirawat karena anoreksia dan depresinya. Alexis mendapatkan gawai pertamanya pada usia 10 tahun dan mulai bermain salah satu game, namun ia diejek oleh teman-temannya karena dianggap hanya bermain game untuk anak-anak. Ia pun terpacu untuk membuat akun sosial media, meski sesungguhnya orangtuanya memberikan larangan penggunaan media sosial, screen time yang dibatasi, termasuk memantau penggunaan gawai oleh Alexis.

Namun Alexis dapat mengakali batasan-batasan tersebut termasuk membuat akun palsu, mengunduh dan menghapus aplikasi sosial media secara berkala, menyembunyikan aplikasi dengan icon aplikasi yang berbeda, hingga membuat akun-akun lain untuk menghindari pengawasan. Awalnya Alexis sangat senang dengan aplikasi sosial medianya, namun kemudian algoritma konten yang hadir di akunnya menjadi berubah, dari awalnya konten tentang kebugaran hingga konten pro anoreksia. Hal tersebut membuat dirinya semakin dihinggapi rasa cemas. Berkenalan dengan sosial media di kala usia masih sangat muda ternyata berefek yang luar biasa dahsyat bagi Alexis. Di luar kisah itu, Jonathan Haidt sangat konsisten memberi seruan agar orangtua, sekolah, dan pemerintah membuat batasan mengenai penggunaan gawai dan sosial media bagi anak-anak di bawah umur.

Pembatasan Gawai

Beberapa negara mulai memberi perhatian khusus terhadap pembatasan gawai dan media sosial. Australia misalnya, seperti dalam laporan Guardian (2024) dipaparkan memperkenalkan kebijakan larangan media sosial untuk anak di bawah 16 tahun. Kebijakan tersebut tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Salah satu anggota parlemen menyebut kebijakan ini sebagai “solusi tahun 1970 untuk masalah tahun 2024.” Demikian juga beberapa kelompok masyarakat sipil yang memperingatkan bahwa larangan ini bisa jadi meminggirkan anak-anak muda dari arus informasi. Pihak-pihak yang pro mengapresiasi larangan tersebut, dan beberapa negara seperti Perancis, Swiss, dan negara-negara Eropa lainnya juga berminat untuk mengadopsi larangan tersebut (Guardian, 2024).

Memperhatikan kondisi tersebut, sebetulnya apa yang perlu diperhatikan oleh orang tua dan guru serta para pembuat kebijakan? Tentu yang pertama-tama harus menjadi acuan adalah pertanyaan “apakah anak-anak kita memang sudah membutuhkan gawai?”. Lalu, “untuk apa gawai tersebut digunakan?”. Jika pilihannya “iya, anak-anak kita membutuhkan gawai” dan “gawai tersebut bermanfaat untuk aspek A, B, C, dst”, maka orangtua atau guru bisa masuk ke pertanyaan selanjutnya, “bagaimana gawai tersebut dimanfaatkan untuk mendukung tujuan-tujuan yang sudah disampaikan pada jawaban pertanyaan sebelumnya?” Atau jika anak-anak di bawah usia 16 tahun yang ada dalam pengawasan kita sudah kadung kecanduan, langkah apa yang harus dilakukan agar mereka tidak adiksi pada gawainya? Untuk pembuat kebijakan tentu pertanyaannya harus lebih menyeluruh lagi. Bagi para pembuat kebijakan yang selalu meminta sekolah-sekolah menerapkan digitalisasi harus diajukan pertanyaan, “apakah pemerintah sudah mengakomodasi kebutuhan perangkat digital dan kapasitas guru-guru dalam pemanfaatan digital teknologi untuk pendidikan?”

Dalam konteks pendidikan, promosi yang diajukan adalah asumsi bahwa penggunaan teknologi mobile yang lebih inovatif menghasilkan hasil belajar yang lebih baik (Zhai, Zhang, & Zhang, 2019). Tak mengherankan memang, apalagi anak-anak dianggap memiliki kemampuan bawaan untuk menggunakan teknologi, yang oleh salah satu media (BBC Inggris) sebagai “natural-born net babes” dan “net-savvy young” (Selwyn, 2020). Namun, seperti yang diungkap oleh Selwyn (2020), berlawanan dengan dukungan terhadap penggunaan teknologi dalam pendidikan selama beberapa dekade ini, usulan untuk melarang perangkat seluler dari sekolah dan kelas saat ini semakin mengemuka (Selwyn, 2020). Hal tersebut nampaknya didasarkan pada beberapa temuan faktual dan riset yang memberikan pandangan tentang dampak buruk penggunaan ponsel pintar dan media sosial oleh siswa terhadap gangguan akademik lebih terlihat nyata, terutama dengan maraknya perangkat digital pribadi (Dontre, 2020). Selain itu aspek yang harus diperhatikan adalah betapa pentingnya untuk menjaga keamanan daring serta kemampuan anak-anak untuk mengelola risiko dan bersikap selektif terhadap siapa yang mereka percayai (Neumann, 2024).

Relasi Keluarga

Tentu ketika pengaturan digital semakin masuk ke ruang keseharian, terutama keluarga, ada banyak yang semakin terpengaruhi. Riset Mesch (2019) mengungkap, pengenalan teknologi baru seperti internet ke dalam rumah tangga berpotensi mengubah kualitas hubungan keluarga. Selanjutnya, penggunaan komputer dan internet dapat mengubah pola interaksi keluarga, memicu konflik terkait otonomi remaja, otoritas orang tua, dan kontrol atas komputer (Mesch, 2006). 

Dalam riset terhadap mahasiswa tingkat sarjana yang kecanduan smartphone, memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kecemasan tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak kecanduan, dan mahasiswa yang memiliki kecemasan tinggi menunjukkan kemungkinan lebih besar memiliki masalah yang signifikan secara klinis dalam hubungan keluarga mereka (Hawi dan Samaha, 2017). Bayangkan di level mahasiswa yang relatif sudah matang saja kerentanan terhadap kecanduan internet membayang demikian parah. Beberapa saran misal diajukan oleh Livingstone & Helsper (2008) yang lebih memberikan perhatian pada pentingnya interaksi aktif dan penggunaan gawai secara bersama dibanding menggunakan filter dan aplikasi yang bisa memantau anak-anak. Nampaknya, saran keduanya lebih masuk akal, sebab jika mengacu pada pengalaman Alexis, anak-anak dengan kemampuan teknologinya dapat memanipulasi aturan-aturan yang disampaikan oleh orangtuanya.

Bekal Memadai

Masuk ke rimba belantara digital bukan perkara mudah. Kita masuk ke arena yang tidak terprediksi dan membingungkan, jika tak memiliki bekal memadai berupa kapabilitas teknikal dan pengetahuan substansial terkait dengan isu yang dihadapi. Sesungguhnya ingatan dari Giroux (2009) perlu diperhatikan sebab anak-anak kita merupakan target utama pasar dari budaya komodifikasi, termasuk konteks digital hari-hari ini. 

Segala aplikasi ataupun perangkat bahkan dapat dibranding sebagai ‘sesuatu’ yang dibutuhkan anak. Misal, mudah sekali sekarang di berbagai aplikasi media sosial kita lihat iklan-iklan tentang game pendidikan, aplikasi digital pendidikan, makanan bergizi khusus untuk anak, smart devices untuk tumbuh kembang anak, mainan edukatif, dan lainnya. Mengapa hal itu hadir? Menurut Giroux (2009), hal tersebut hadir karena marketing perusahaan menyelidiki hampir setiap aspek kehidupan anak-anak mulai dari bermain, makan, dan merawat diri, hingga perlengkapan mandi. Setelah penyelidikan tersebut, perusahaan-perusahaan kemudian membanjiri anak-anak dengan pesan tentang apa yang keren, tren, dan tersedia (Giroux, 2009). Intinya, menurut Giroux (2009), terdapat politik komodifikasi yang menjadikan anak-anak dan pemuda sebagai sumber profit. Situasi ini jika tidak ditanggapi dengan serius dapat merugikan anak-anak, tidak dapat diperbaiki, dan paling buruknya akan menyebabkan cedera material, psikologis, dan spiritual pada anak.

Lalu apa yang perlu dilakukan oleh pembuat kebijakan secara struktural dan oleh orangtua secara personal? Saya ingat kata-kata dari Biesta (2013) yang mengungkap bahwa “education always involve risk.” Jika dimaknai ada banyak risiko yang membayangi pendidikan kita, termasuk internalisasi digitalisasi pendidikan. Tanpa kesiapan memadai dari pemerintah (akses, fasilitas, pendampingan), digitalisasi pendidikan hanya menjadi omon-omon belaka, dan justru akan menguntungkan kelas sosial ekonomi atas yang lebih siap. Risiko memberikan akses digital ke anak-anak kita tanpa kapabilitas memadai juga perlu diperhatikan. Kita tak ingin anak-anak kita hanya jadi konsumen konten-konten buruk atau juga produsen konten nirmanfaat. Lagi-lagi catatan Biesta (2013) perlu diperhatikan seksama. Biesta memaparkan “education operates by means of communication,” intinya betapa komunikasi antar semua pihak perlu diperhatikan dalam ruang pendidikan. Dialog-dialog penuh makna, seperti juga anjuran dari Freire, menjadi bagian utama dari pendidikan. Apalagi pendidikan bukanlah interaksi antara robot, yang kaku dan mekanik, tetapi perjumpaan antara manusia (Biesta, 2013).

Dalam konteks negara, tentu paling utama mengakomodasi kebutuhan digital tidak hanya perangkat tetapi pendampingan pemanfaatannya bagi masyarakat. Lalu, jika ditumpukan pada upaya personal dari guru dan orangtua maka, pertama, coba perhatikan seksama bagaimana relasi kita, sebagai orang dewasa terhadap gawai. Jika kita sangat bergantung pada gawai, maka kita sendiri harus memiliki kontrol kuat untuk perlahan mengendalikan dan menguranginya. Kedua, bagaimana relasi anak-anak atau siswa kita terhadap gawai? Jika mereka sudah selalu emosi ketika diingatkan maka itu sudah jadi alarm yang penting untuk mengurangi interaksi mereka dengan gawai. Tak mudah, sebab kita pun harus jadi contoh, sesuai dengan poin pertama. Ketiga, kembangkan relasi personal yang lebih mengutamakan dialog atau komunikasi dengan anak. Membiasakan berbincang dan bermain bersama (tentu menyesuaikan usia anak) dapat dirancang ulang. 

Keempat, kembali pada pertanyaan “apa sesungguhnya manfaat gawai untuk anak-anak, dan apakah mendesak untuk menggunakannya”? Kelima, ketimbang menggunakan pengawasan ketat yang justru membuat anak melakukan strategi khusus yang manipulatif, maka lebih baik seperti saran dari beberapa artikel yang saya ungkap sebelumnya, lebih baik menemani anak-anak dalam menelusur media sosial dan membangun daya kritis anak sehingga mereka akan lebih memahami apa fungsi dari gawai dan medsos serta bagaimana mengoptimalkannya untuk membantu keseharian mereka. Beragam upaya tersebut harus diikhtiarkan. Dan jika kembali kepada paparan Biesta (2013), komunikasi yang memadai antar berbagai pihak –sesama manusia– perlu terus dirayakan dan diupayakan, sebab, teknologi lagi-lagi hanyalah media, bukan tujuan dari pendidikan.