Peneliti Temukan Kota Maya Kuno yang Luas di Hutan Meksiko secara tak Sengaja

Sabtu, 2 November 2024 – 16:37 WIB

Struktur kuno di bawah hutan lebat di dekat Calakmul, Meksiko. (Foto: Philip Dumas/Getty Images)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Seorang mahasiswa pascasarjana yang menganalisis data drone di Meksiko secara tak senjaga menemukan sebuah kota Maya kuno yang luas terkubur di bawah hutan lebat. Pemukiman kuno itu terungkap melalui survei lidar udara.

Selama berabad-abad, kota itu tersembunyi di tengah rerimbunan hutan di negara bagian Campeche, di Teluk Meksiko. Penelitian baru yang dipublikasikan Selasa (29/10/2024) di jurnal Antiquity mengungkap situs-situs yang secara keseluruhan meliputi area sekitar satu setengah kali ukuran Washington DC.

Mengutip NBCNews, profesor antropologi di Universitas Tulane Marcelo Canuto mengungkapkan, kota kuno bangsa Maya itu ditemukan oleh kandidat PhD Luke Auld-Thomas saat menjelajah internet. Para peneliti menemukan area padat yang berisi 6.674 bangunan, termasuk bangunan menyerupai piramida Chichén Itzá di negara bagian Yucatan, Meksiko, dan Tikal, benteng kuno di hutan hujan Guatemala utara. 

Data kemudian dikumpulkan kelompok peneliti yang mempelajari pola penggunaan lahan menggunakan teknologi pemetaan drone modern, dikenal sebagai LiDAR yakni peralatan deteksi dan pengukuran cahaya.

Peta LiDAR digunakan banyak peneliti mengumpulkan data untuk tujuan arkeologi dan nonarkeologi. Auld-Thomas mengambil data dan menganalisis peta dengan metode yang digunakan oleh para arkeolog tersebut. Dengan cara itu, tim peneliti menemukan kota kuno besar yang mereka beri nama Valeriana, diambil dari nama laguna air tawar di dekatnya.

Advertisement

Para peneliti mengatakan Valeriana, yang mungkin menjadi rumah bagi 30.000-50.000 orang pada masanya, runtuh antara 800 M dan 1.000 M, karena serangkaian alasan yang kompleks, termasuk perubahan iklim.

“Konsensus yang berkembang adalah bahwa variabilitas iklim merupakan faktor utama yang menyebabkan tekanan, adaptasi, dan reaksi, mengarah pada keresahan sistemik lebih besar,” kata Canuto kepada NBC News, kemarin.

Hal ini sebagian disebabkan oleh kepadatan populasi dan lambat laun, selama beberapa generasi, tidak dapat bertahan hidup menghadapi masalah iklim.

Teknologi LiDAR merupakan kemajuan terbaru dalam dekade terakhir yang telah merevolusi penelitian arkeologi, terutama di wilayah hutan lebat. Teknologi ini mampu mengungkap lapisan sejarah luas dan belum pernah terlihat sebelumnya di wilayah-wilayah terpencil yang sulit diakses. Dengan mencakup hamparan tanah yang luas secara presisi, LiDAR memungkinkan peneliti untuk mengungkap struktur tersembunyi.

Canuto mengatakan teknologi ini, yang menggunakan pulsa laser untuk menembus tajuk hutan, dan menangkap gambar lanskap di bawahnya dengan sangat rinci, memiliki kekuatan transformatif, dan menggambarkannya sebagai bentuk “deforestasi digital,” tambahnya.

Tidak ada gambar yang diketahui mengenai kota yang hilang itu, kata Canuto, hanya peta LiDAR, karena tidak ada seorang pun yang pernah ke sana bersama penduduk setempat. Reruntuhan itu mungkin terletak di bawah gundukan tanah.

Meskipun penelitian ini merupakan yang pertama mengungkap bangunan Maya di Campeche, para arkeolog menemukan bahwa area dengan lapisan aktivitas manusia lebih umum daripada yang diperkirakan sebelumnya, katanya.

Canuto berharap penemuan ini menekankan perlunya penelitian lapangan lebih lanjut di samping upaya besar untuk memetakan wilayah tersebut menggunakan drone. “Akan luar biasa dalam 10, 20 tahun ke depan,” katanya. “Kita seharusnya bisa menggandakan jumlah wilayah yang tercakup dalam LiDAR.”

Topik

BERITA TERKAIT