Pengamat Mata Uang, Ibrahim Assuaibi, menilai aset kripto telah mempengaruhi rendahnya penerimaan pajak Indonesia.
“Banyak sekali pengusaha-pengusaha Indonesia, para pejabat, dan politikus yang penarikan dana dari luar negeri menggunakan aset kripto. Aset kripto ini sulit terdeteksi, khususnya oleh Bank Indonesia (BI), sehingga akan mempengaruhi pendapatan pajak,” ungkap Ibrahim dalam wawancara dengan inilah.com, Selasa (1/4/2025).
Menurut Ibrahim, pendapatan pajak dari aset kripto sempat dikatakan begitu besar, tetapi hal tersebut hanya pada transaksinya saja. Sebab diduga banyak masyarakat Indonesia menggunakan aset kripto hanya sebagai alat tukar.
“Misalnya, kalau sekarang masyarakat memiliki dana besar dari luar negeri, lalu mereka (menukar) antar bank, itu sulitnya minta ampun, tapi menggunakan aset kripto begitu mudah,” ucap Ibrahim.
Melihat fenomena ini, ia kemudian meminta agar BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat membuat regulasi khusus untuk bisa mengawasi hal ini.
“Kami melihat pada 2024 ini, hampir Rp600miliar-Rp800 miliar orang menarik uang mereka lewat aset kripto ilegal. Ini yang harus diatasi oleh pemerintah,” kata Ibrahim
Sebelumnya pada 2 Maret 2025, Bank Dunia menganalisis data perpajakan Indonesia periode 2016-2021 dalam laporan berjudul Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia. Laporan itu menyimpulkan “Kinerja Indonesia dalam pengumpulan penerimaan pajak sangat buruk.”
Dikutip pada Rabu (26/3/2025), Bank Dunia mencatat Pemerintah Indonesia rata-rata kehilangan potensi pendapatan Rp546 triliun/tahun, dampak ari rendahnya kepatuhan pajak
Potensi kehilangan pendapatan itu terbagi dari dua sumber yakni pajak pertambahan nilai (PPN) yang angkanya mencapai Rp386 triliun dan Pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp160 triliun per tahun. Bank Dunia menilai pemerintah Indonesia tak efisien dalam memungut pajak.