Kanal

Pengalaman Hidup dalam Kerangkeng [3]: Berpuasa, dan Taraweh Diimami Napi Pasal 285

Sebagai ‘jurig bioskop’ saya jadi teringat film “Good Fellas” yang dibintangi Robert de Niro dan mendiang Ray Liotta. Ada adegan di film itu yang menceritakan seorang don mafia yang dalam masa menjalani hukuman di penjara begitu khusyuk saat memasak makanannya di sel. Mengiris bawang dengan silet—yang pasti terlarang–, mengaduk pasta dengan khidmad, mencicipinya dengan syahdu. Di penjara, saya bisa mendapatkan feel itu.  

Oleh   : Darmawan  Sepriyossa

Tidak terasa, sepekan setelah saya masuk Lapas Cipinang, Ramadhan pun datang. Saya menyongsongnya dengan perasaan ganjil yang tak bisa saya definisikan lewat kalimat.

Ada rasa senang, karena bagaimana pun Ramadhan bulan yang dijanjikan membawa banyak kebaikan. Ada Lailatul Qadar yang bisa saya buru untuk mendapatkan kebaikan dan pahala seribu  bulan (meski sejak lama saya percaya bahwa ‘seribu’ dalam hal ini lebih berarti ‘banyak sekali’ dibanding arti harfiah). Penjara, dengan segala keterbatasannya, saya kira lebih memungkinkan orang beribadah dan menyendiri, dibanding di luar, tempat segala godaan datang silih berganti.

Ada pula rasa takut. Sebenarnya lebih pada hal-hal praktis, semacam, bagaimana sahur, bagaimana nanti buka puasa? Saya tidak yakin ada pembagian nasi cadong—nasi gratis ransum napi, di dini hari. Terlalu riskan.

Dan memang benar, pembagian cadong tetap saja sebagaimana biasa: pagi hari sekitar pukul 07; siang sekitar pukul 01, dan sore sekitar pukul 17. Artinya, pihak pengelola Lapas cukup demokratis: silakan mau puasa atau tidak, jatah cadong tetap diberikan pada jam-jam biasa.

Tetapi sejak hari pertama pun saya hanya sesekali makan nasi cadong. Seringnya beli ke berbagai kantin yang ada, di luar atau pun di dalam blok. Sering tidak harus beli sendiri. Ada saja yang membayari, biasanya para senior di Tipe 3.

Tiga hari sebelum hari pertama puasa, Martono, teman satu sel yang masuk karena pasal 378, bertanya.

”Bapak mau puasa?”

“Tentu,” jawab saya.

“Kita harus masak sendiri untuk sahur. Atau beli nasi dan lauk sore-sore buat dimakan malam. Malam hari tak ada yang jual nasi, kecuali makanan awetan seperti roti,” kata dia.  “Di warung banyak.”

Memang, warung-warung di penjara jauh lebih hebat dibanding di luar. Penjaganya penuh dedikasi dan totalitas pengabdian. Warung-warung itu hanya ditunggui dua tiga orang, namun beroperasi penuh 24 jam!

Dia bilang, untuk masak sih gampang. “Ada mejikom (maksudnya rice cooker), meski sudah lama, masih bisa dipakai. Tinggal sedia beras dan lauk pauk saja.”

Martono membongkar sesuatu dari ‘lemari’ pakaian  yang dipakainya bersama Jay dan beberapa penghuni lain. Saya sendiri menyimpan pakaian saya dalam container plastic besar yang dibawa istri, beli dari sebuah hypermarket. Sebagaimana Setiyardi, saya menyimpannya di ujung kasur, dekat kaki saya kalau tidur. Di sana disimpan apa pun milik saya: pakaian, sarung, jam tangan, kopiah. Saya punya cara tersendiri dalam menyimpan uang. Tidak saya simpan di situ.

Dari ‘lemari’ kayu itu Martono mengeluarkan sebuah rice cooker yang sudah menghitam karena mungkin terbakar konsluiting. Sebagian tubuh luarnya bolong-bolong dimakan karat. “Masih bisa dipakai,” kata dia. “Kalau rusak, Mas Opank bisa betulkan.” Mejikom itu merupakan barang warisan entah siapa dari era mana. Diwariskan turun-temurun dari penghuni lama ke penghuni baru sel itu, atau bisa juga blok itu.

Sore hari sebelum hari pertama puasa, saya bersama Martono datang ke blok teroris. Ramai orang di sana. Semua penghuni yang mau puasa dan rajin—mereka yang malas cukup membeli nasi sore dan lauknya untuk dimakan saat sahur, datang ke sana. Blok itu mirip pasar kaget dadakan saja laiknya. Ada banyak penjual, menggelar jualan berbeda-beda, cenderung tak ada yang sama.

Saya bengong. Semua yang saya perlukan untuk bisa makan sederhana, ada di sana. Ada kangkung, bayam, dalam ikatan-ikatan kecil yang dihargai Rp 3.000. Ada wortel, paket sayuran sop yang telah terbungkus plastik, telur mentah, labu siam, paket sayur lodeh, sayur asem, dan yang lain. Juga tembe mentah berpapan-papan, baik produksi penjara maupun beli dari luar. Di awal-awal Ramadhan saya masih menemukan kaleng-kaleng sarden dan kornet. Kemudian hilang.

“Dilarang, karena kaleng bekasnya bisa dipakai buat bikin pisau-pisauan,” kata Martono. Pisau adalah barang yang sangat terlarang. Ketahuan bawa pisau—atau pisau buatan, bisa masuk sel tikus, sel kecil di bawah tanah yang diisi berapa pun pelanggar tanpa mempertimbangkan sesak tidaknya. Atma pernah masuk sel tikus saat di Rutan Cipinang. Cukup lama, lebih dari sebulan.

“Saya bertahan waras hanya karena terus membaca Quran dengan penerangan cahaya lampu yang menerobos masuk sel,” kata dia. Menurut Atma, sel tikus dibiarkan tak berpenerangan.

Para penjual barang-barang kebutuhan itu adalah santri-santri napi teroris. Rata-rata minat bisnis mereka tinggi. Merekalah yang memasok berbagai kebutuhan sesama penghuni penjara, sampai hal kecil seperti menerima transferan uang dari luar penjara dengan imbalan sekitar tiga hingga lima persen uang yang ditransfer. Marjin itu, selain tingkat kepercayaan para penghuni, yang dimainkan para pelaku bisnis itu untuk bersaing di antara mereka.

Kami beli beras cukup banyak, satu karung isi 50-an kilo. Tidak kami angkut sendiri karena untuk pembelian agak banyak, mereka mau mengantar ke sel pembeli. Dari warung-warung yang ada, kami juga beli labu siam, minyak goreng, kecap, garam, ikan asin, telur asin, bawang merah dan beberapa barang lain. Saat pulang, Martono memaksa membawakan barang belanjaan tersebut, meski awalnya saya menolak.

Malamnya, itulah yang dimasak. Ada dua orang penghuni sel KB yang rajin memasak. Ope dan Martono. Martono bahkan bisa dikatakan koki bersama selama kami di sana. Kentara bahwa di luar dia pun senang memasak. Opank sesekali mengulurkan tangan membantu. Bila sedang memasak, tak terlihat sedikit pun bahwa ia seorang napi untuk urusan yang bikin ngeri. Tak pula tampak bahwa di blok ini—blok kriminal, sehingga pasti juga berpengaruh di blok narkoba–ia disegani dan ditakuti.

Perlu kesabaran dan kecakapan tersendiri dalam memasak makanan. Yang digunakan hanya mejikom. Secara resmi kompor dilarang. Mungkin saja ada satu dua kompor  di seluruh blok yang ada—terutama blok elit Tipe 3, digunakan secara sembunyi-sembunyi.

Tapi karena tingkat pelanggarannya berat dan bisa membawa penghuni masuk sel tikus, tak pernah ada yang berani-berani bicara soal itu. Saya yakinnya sih tak ada, entah kalau masuk dengan cara ‘setengah resmi’. Hanya saya tak bisa membayangkan besaran tanda terima kasihnya.

Hanya ada satu mejikom artinya hanya ada satu wadah untuk memasak. Begitu satu jenis masakan matang, segera masakan itu dituang ke wadah lain. Wadah mejikom segera dicuci bersih, digunakan lagi untuk menggoreng dan sebagainya.

Makanya, waktu di hari kelima puasa Setiyardi bilang mau beli mejikom baru, para ‘kru dapur’ bersorak. Mereka sangat terbantu dengan perangkat baru tersebut. Mejikom baru itu dibeli di luar oleh seorang istri tahanan pendamping, masuk lewat tahanan pendamping tersebut. Setiyardi hanya membayar harga mejikom itu, ditambah uang terimakasih buat si tamping yang telah membeli dan memasukkannnya ke dalam.

Malam itu kami makan enak saat sahur. Nasi, tumis labu, telur asin, abon yang dikirim istri saya, goreng ikan asin. Bahkan ada cuci mulut berupa pisang emas yang dibawakan istri Setiyardi. Istri saya selama puasa banyak membawakan kurma dalam kotak. Itu yang kami jadikan pembuka ifthar saat berbuka.

Sebagai ‘jurig bioskop’ saya jadi teringat film “Good Fellas” yang dibintangi Robert de Niro dan mendiang Ray Liotta. Ada adegan di film itu yang menceritakan seorang don mafia yang dalam masa menjalani hukuman di penjara begitu khusyuk saat memasak makanannya di sel. Mengiris bawang dengan silet—yang pasti terlarang–, mengaduk pasta dengan khidmad, mencicipinya dengan syahdu. Di penjara, saya bisa mendapatkan feel itu.

Suatu malam, saat Martono sakit, Yogi menggantikan memasak. Ope tak tahu kemana saat itu. Mungkin ketiduran setelah main-main gitar semalaman dengan anak-anak lorong.

Manakala makan sahur, Setiyardi complain tentang sayur tumis yang dibuat.

“Lu pakai Royco, ya, Gi?” tanya Setiyardi. Dari awal kami memang bikin kesepakatan untuk tak memakai vetsin, micin, Royco, atau apa pun nama bumbu penyedap buatan. Setiyardi terutama, yang sangat mempercayai buruknya akibat bumbu-bumbu tersebut.

“Nggak, Pak,” jawab Yogi. Wajahnya pucat. Bukan karena takut Setiyardi tampaknya. Ia lebih takut dikemplang Opank atau Jay.

“Lha, rasanya begini, kok bilang nggak pakai Royco.”

“Beneran, Pak, nggak saya tambahi Royco… Tadi, takut nggak enak, saya kasih Masako, beli dari warung,” kata dia.

Saya kontan tertawa mendengarnya, diikuti Opank, Jay dan akhirnya semua. Setiyardi pun terpaksa ikut senyum. Benar, Yogi tak memasukkan Royco sedikit pun, hanya Masako! Bagaimana pun niat Yogi baik, bahkan sampai beli Masako dengan uangnya sendiri.

Wajah Yogi seketika kembali memerah, aliran darahnya normal lagi. Setiyardi sendiri meneruskan makan, dengan lauk hanya telur goreng yang dibawa istrinya saat bezoek siangnya. Saya tawari dia abon dan telur asin, namun ditolaknya. Setiyardi tampaknya tak menyukai telor asin. Mungkin punya cerita buruk tersendiri dengan gadis Brebes.

Dengan beragam tipologi penghuni, wajar bila kadang terbersit pikiran betapa satu atau lebih orang terkesan hanya menjadi parasit. Senantiasa ikut pada saat-saat mengisi perut, namun tak pernah mau mengulurkan tangan bergabung manakala datang urusan yang perlu dikerjakan.

Sering pura-pura tidur kalau ada yang perlu ditangani, atau lainnya. Jay dan Opank biasanya tak pernah ragu menegur, hingga telinga yang tak biasa tak akan enak mendengarnya. Tetapi ya, sebagaimana pepatah Sunda ‘adat kakurung ku iga’—kebiasaan yang menjadi tabiat dan terkurung jasad, rasanya tak pernah ada perubahan dari mereka.

Taraweh biasanya digelar di ujung gang, dengan dua shaf tepat di belakang imam, dan sekian shaf lainnya terbagi di dua lorong. Jamaah yang ikut cukup banyak. Kadang bahkan sampai ke pintu sel kami yang ada di pintu masuk blok.

Ada tiga napi yang biasa menjadi imam. Tampaknya di luar pun mereka semacam ustadz. Dua-duanya masuk karena urusan ‘stud’, melakukan pelecehan kepada anak didik atau ketahuan selingkuh dan didakwa perkosaan. Kadang, di penjara mereka disebut Napi 285, sesuai pasal di KUHP yang menyoal urusan itu.

Saat datang imam ketiga yang lebih fasih, bagus dan kentara memiliki dasar pendidikan pesantren yang kuat, ternyata dia pun masuk karena urusan ‘stud’ juga. Ada pula seseorang yang sudah sepuh, berpenampilan laiknya ustadz, ternyata ia pun masuk Cipinang karena urusan stud itu pula!

Benar kata Bang Wawan saat di Mapenaling, yang terlihat jelas tak menyukai rekannya sesama imam di mushala Mapenaling. “Dia masuk karena “nyetud”. Saya nggak pernah bisa memaafkan ustadz yang masuk karena stud,” kata dia. “Nih, Kang Darmawan, dari orang-orang sini yang masuk karena ‘nyetud’, ada hampir 20-nya ustadz. Lainnya cuma ada dua pastor atau pimpinan agama lain. Memalukan saja!”

Saya dan Setiyardi, mungkin karena sedikit terlihat ‘ngustad’ beberapa kali diminta penghuni blok untuk jadi imam taraweh. Saya lebih sering, karena Setiyardi kemudian sering memilih taraweh sendiri di sel.

Saat kebagian jadi imam, saya minta izin untuk taraweh gaya aturan main bola: 4-4-3. Empat rakaat taraweh, empat rakaat akhirul taraweh dan tiga rakaat witir. Biasanya 11 rakaat itu dilaksanakan dua-dua rakaat. Tentu saja diizinkan.

Tampaknya saat itu setan membisiki agar saya terlihat lebih ngustad lagi.. Alhasil setiap rakaat saya isi dengan ayat-ayat panjang. Semisal Al Baqarah 284 sampai akhir surat, Ali Imran 190 dan seterusnya, petikan Surat Luqman, At Taubah ayat 33 dan seterusnya, serta petikan surat-surat lainnya yang cukup panjang dan banyak dibaca imam senior di masjid-masjid besar. Kalau pun surat tersendiri, yang saya baca tak kurang dari At Tin, Ad Dhuha. Lancar gaya wa lancar jaya, awalnya.

Eh, pas witir, setelah surat Al Falaq, lidah saya kelu saat memulai surat An-Nas. Saya terdiam beberapa lama dengan kepala benar-benar gelap. Saya lupa ayat pertama surat pendek itu.

Qul a’żu birabbin-nās…” kata seorang makmum. Dia tahu pasti surat itu yang akan saya bacakan, karena kebiasaan memang demikian.  Saya masih terdiam, lidah saya kaku.

Qul a’żu birabbin-nās…” seorang lagi makmum bicara.

Perlu sekitar tujuh detik setelah itu, baru lidah saya bisa mengucapkan ayat pertama. Sebelum ayat keempat, kembali saya tertegun, dan dipandu sekian banyak makmum.

Usai taraweh, orang-orang menertawakan kejadian barusan. “Lancar sekali, sampai baca ayat Surat Luqman, pas An-Nas keteteran,” kata Pak Heri, salah seorang brengos di blok kami. Dia untuk beliau yang kini sudah berpulang, melapor kepada Al Khalik yang mengamanahkan hidup hingga mencabutnya kembali. Pak Heri-lah tetangga sel yang paling sering berkunjung, karena sel kami memang enak dipakai kongko-kongko. Istrinya di luar banyak. Yang belum dicerai saja kabarnya tiga. Setiyardi berkali-kali berseloroh, di banyak kesempatan.

“Bagi ilmunya doong, Pak Heri,” kata dia.

“Siaaap,” biasanya Pak Heri hanya menjawab begitu.

Kira-kira pada akhir pekan pertama puasa, ada kejadian menarik. Maghrib tinggal sekitar dua puluh menit lagi. Saya telah mengeluarkan apa yang bisa dipakai untuk berbuka bersama, terutama korma.

Setiyardi yang siangnya dibezoek  mengeluarkan beragam kue-kue basah. Lainnya dari persediaan sebelumnya yang dibuatkan Martono; sirop buah, dan kalau tak salah ada kolak beli dari warung blok teroris. Semua sudah duduk mengelilingi hidangan.

Tiba-tiba masuk Adam, seorang napi yang masih muda, sekitar awal 20-an. Dia masuk penjara kabarnya karena membunuh temannya sendiri. Cekcok urusan apalah.

Penyesalan Adam tampaknya berlebihan, sampai mengganggu jiwanya. Dia terganggu bahkan sejak proses penahanan. Orang-orang di penjara menyebut napi seperti itu ‘goyang’. Ada banyak penyebab ‘goyang’, namun biasanya karena penyesalan yang berlebihan. Secara rasional susah juga kan, menjaga kewarasan manakala pikiran dan perasaan seolah ingin tetap di rumah, sementara raga berada di penjara dengan segala kondisinya.

Di blok, bukan sekali dua Adam berteriak-teriak malam-malam. Mengaku dikejar-kejar temannya yang ia bunuh itu. Pernah pula suatu pagi di saat gerbang semua blok dibuka, ia berlari-lari thawaf bersama yang lain yang mencari udara dan berolahraga. Bedanya, Adam telanjang bulat!

Tetapi pada dasarnya Adam ‘anak’ baik. Sebagaimana saya, Setiyardi, dan puluhan napi lainnya, ia termasuk santri Pesantren At-Thawabin, Lapas Cipinang. Dia bisa mengaji, dan suaranya cukup merdu. Di saat-saat sadar, tak jarang ia menyetel pengeras suara mushala dan mengaji menunggu waktu maghrib.

Nah, saat itu Adam datang dengan wajah yang kontan membuat saya curiga.

“Jangan-jangan…” pikir saya.

Benar saja, tiba-tiba tangannya terentang hendak mengambil potongan bika Ambon yang terhidang di tengah-tengah ruangan.

“Hei, ngapain Kau, Dam?” teriak Setiyardi. Namun tak lama terlihat Setiyardi pun sadar tengah berhadapan dengan siapa.

“Mau, Om,” jawab Adam. Setiyardi langsung luruh. Mungkin baru kali ini ia disebut ‘Om’. Keponakannya pun sepertinya hanya menyebutnya ‘Mamang’.

“Oh, Kau mau kue?”

“Iya, Om.”

“Ini kan waktunya puasa. Nggak boleh makan sebelum adzan. Kau adzan dululah!” kata Setiyardi.

Adam tak menarik kembali tangannya. Ia tetap mengambil sepotong bika Ambon. Namun, alih-alih segera memasukkan potongan bika Ambon itu ke mulutnya, ia berdiri. Sikapnya tegak, bahkan jelas ia mencari arah kiblat dan memperbaiki letak sarung yang ia kenakan lebih dulu. Lalu mengalunlah adzan sampai selesai, membuat beberapa penghuni blok berdatangan.

“Oooh, Adam…” kata mereka.

Setelah itu, baru Adam menikmati kuenya. Bahkan ikut makan manakala waktu berbuka tiba. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button