News

Pengamat: Implikasi ‘Liar’ Perpanjangan Masa Jabatan Jokowi

Isu perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi dan penundaan pemilu, melahirkan banyak implikasi politik yang bisa semakin liar.

Peneliti Senior Institut Riset Indonesia (INSIS), Dian Permata menyebut, isu presiden 3 periode, sejatinya sempat mengemuka saat pelantikn DPR pada Oktober 2019.

Mungkin anda suka

“Hanya saja, bahasanya masih halus. Diksi yang digunakan adalah amandemen UUD 1945. Saat itu, sejumlah partai politik tiada basa-basi melontarkan ide soal amandemen. Dan itu bisa menjadi pintu masuk pembahasan soal wacana pembahasan perpanjangan masa jabatan presiden. Itu berdasarkan data media yang kami crawling sejak awal mereka dilantik,” buka Dian kepada Inilahcom, Jakarta, Sabtu (19/3/2022).

Dilanjutkan Dian, jika pembahasan kedua wacana masih saja bergulir, maka terbuka peluang untuk membahasnya di MPR (amandemen UDD 1945). Caranya hanya dengan amandemen konstitusi. Dengan catatan, seluruh partai pendukung emerintah, satu suara mendukung itu. Meskipun, terbuka peluang juga ditolak oleh sejumlah partai politik.

Masih kata akademisi Universitas Ibnu Chaldun (UIC) itu, peluang membesar apabila melihat pola komunikasi zig-zag Jokowi. Masih segar dalam ingatan, soal gaya komunikasi Jokowi saat menyatakan emoh ikut konstentasi pemilihan presiden pada 2014. Kala itu, Jokowi masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, menyatakan tidak tertarik ikut Pilpres 2014. Belakangan, malah sebaliknya. “Copras-capres, copras-capres. Gak mikir. Mikir banjir, mikir macet saja pusing,” kata Jokowi saat itu.

Jika ingin polemik wacana ini diakhiri, saran Dian, Jokowi tegas saja. Dia menolak ide tersebut. Disampaikan di depan pendukungnya. Seperti partai pendukung pemerintah dan relawan. “Tapi ini kan tidak dilakukan. Beliau kerap menggunakan kalimat bersayap. Apalagi, saat ini, sudah ada relawan Jokowi-Prabowo untuk Pilpres 2024,” papar Dian.

Andaikan terjadi, kata Dian, ada pertanyaan liar di masyarakat. Dengan siapa Jokowi berpasangan dalam mengarungi Pilpres 2024. Apabila melihat angka elektoral, maka di belakang Jokowi ada Prabowo, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan lainnya. Jika melihat berdasarkan angka-angka elektoral maka pilihan dua pasangan terbesar ada di Jokowi–Prabowo atau Jokowi-Anies Baswedan. “Nah di sini, ketemu analisa liar tadi dengan kelahiran relawan Jokowi dan Prabowo,” ungkapnya.

Pertanyaan liar lanjutannya, sambung Dian, putusan amandemen itu bisa saja berimplikasi kepada dibolehkannya SBY untuk melenggang atau terjun kembali di kontestasi Pilpres 2024. Hal yang sama, dengan siapa SBY berpasangan. Jika menggunakan metode sama dengan Jokowi, maka SBY bisa saja memilih Ganjar Pranowo, atau Anies Baswedan.

“Jadi akan ada battle of precidency Jokowi–Prabowo atau Jokowi–Anies Baswedan melawan SBY–Ganjar Pranowo atau SBY–Anies Baswedan,” tutup Dian.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button