Pengamat Kebijakan UI Sebut 4 Penyebab Program MBG Berantakan


Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Roy Valiant Salomo menyatakan wajar saja bila program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terbilang masih baru, masih memiliki banyak masalah didalamnya. Ia pun menilai setidaknya ada empat penyebab utama permasalahan ini.

“Ada beberapa penyebab kemungkinan terjadinya berbagai masalah yang ada. Pertama action plan-nya kurang bagus. Kedua, ada kelemahan dalam pengawasan dan monitoring-nya,” ujar Roy kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Senin (28/4/2025).

Ketiga, ia menyebut manajemen pengelolaannya serta keempat tata kelola program yang menghabiskan anggaran jumbo ini, masih dikatakan belum baik.

“Jadi menurut saya, ya perbaiki dengan cepat paling tidak ke empat hal di atas. Jika ke empat hal di atas yang mungkin menjadi penyebabnya (diperbaiki), saya pikir kinerjanya akan menjadi lebih baik. Untuk itu kepala BGN dan jajarannya ya harus kerja keras,” tegasnya.

Meski sudah terdapat banyak masalah, ia tidak menyarankan program MBG dihentikan.

“Wah ya jangan (dihentikan) lah, mau menangkap tikus di lumbung, kok lumbungnya yang dibakar,” tandasnya.

Hal senada juga diutarakan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio. Ia menyarankan agar program ini dihentikan untuk dievaluasi secara menyeluruh.

“Jadi sekali lagi tolong setop dulu, evaluasi dulu, kemudian buat aturan yang jelas, bagaimana keterlibatan Pemda, bagaimana keterlibatan swasta, bagaimana keterlibatan UMKM dan publik,” tegas Agus kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (28/4/2025).

Sejatinya, kata Agus, MBG adalah program yang bagus, namun karena tidak dipersiapkan secara teliti dan terkesan terburu-buru, akhirnya justru menambah daftar masalah di kemudian hari.

“MBG ini enggak jelas underlying-nya atau peraturan perundang-undangannya, hanya ada perpres ke kepala BGN. Sekarang yang dilihat apa? Saya sudah sampaikan bahwa ini satu, MBG ini sumber korupsi yang sulit dilacak. Kkarena makanan. Bagaimana mengauditnya? Mau hitung berapa toge yang dimakan, kemudian yang dibeli, kan sulit,” tuturnya.

Agus juga menyoroti minimnya keterlibatan Pemda hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Padahal kata dia, seharusnya BPOM yang bertugas untuk mengecek kualitas makanan dan mengawasi, tentu harus terlibat di dalam program ini.

“Ini adalah pangan yang ditelan oleh manusia yang kalau salah, entah salah bumbu, entah alergi, entah apa, itu bisa fatal. Dan itu terbukti kan? Semua ada yang mencret dan amit-amit nanti (jangan) sampai ada nyawa melayang, karena itu berat (pertanggungjawabannya),” ungkap Agus.