Pengamat ekonomi Untag, Fandy Thesna Widya menyarankan Hary Tanoesoedibjo dan kuasa hukumnya Hotman Paris Hutapea berbicara jujur terkait posisinya dalam perkara dugaan Negotiable Certificate of Deposito (NCD) bodong yang dilaporkan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).
Di mana, Hary Tanoe sebagai tergugat, mengeklaim hanya sebagai arranger atau perantara dalam perkara dugaan NCD palsu milik Hary Tanoe setelah dicek Bank Indonesia (BI). Selain itu, menyebut gugatan CMNP sudah kedaluarsa, sangatlah tidak berdasarkan hukum.
“Ya jujur saja, akui, kalau mereka mengaku hanya jadi arranger, arrangernya siapa? Berapa fee arranger. Semuanya harus dibuka,” kata Fandy kepada wartawan, Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Dalam gugatan yang ditangani Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, NCD milik Hary Tanoe diduga melanggar Surat Edaran BI tahun 1988. Sehingga, NCD senilai US$28 juta yang telah ditukarkan dengan MTN (Medium Term Note) dan obligasi tahap II milik CMNP, ditolak pencairannya. Karena tidak terdaftar dan tidak sesuai ketentuan BI. Selain itu, NCD yang dibawa Hary Tanoe dan diserahkan ke CMNP, melanggar Surat Keputusan Direksi BI tahun 1998.
Dalam Surat Edaran BI Nomor 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1988 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank dan Lembaga Keuangan bukan Bank di Indonesia, jatuh tempo NCD seharusnya paling lama satu tahun. Namun, NCD yang diberikan Hary Tanoe kepada CMNP itu, jatuh temponya tiga tahun.
Masih menurut beleid BI itu, NCD seharusnya menggunakan mata uang rupiah, bukan dolar AS. Sedangkan NCD yang diserahkan ke CMNP menggunakan mata uang dolar AS.
Masih kata Fandy, tuduhan kuasa hukum Hary Tanoe terhadap Komisaris CMNP Jusuf Hamka, sangat sumir. Alasannya, perkara dugaan NCD bodong itu merupakan sengketa antara CMNP dengan Hary Tanoe dan MNC Asia Holding yang dulu bernama Bhakti Investama. Jadi, tidak ada kaitannya dengan Jusuf Hamka.
“Jadi CMNP sebagai pihak Perseroan Terbatas yang menggugat Hary Tanoe dan MNC ke PN Jakpus, terus melaporkan ke Polda Metro Jaya. Jadi bukan Jusuf Hamka. Karena Jusuf Hamka tidak pernah melaporkan dan menggugat Hary Tanoe,” ujar Fandy.
Menjawab pernyataan Hotman Paris bahwa perkara CMNP dengan Hary Tanoe dan MNC Asia Holding ini, kedaluwarsa, dinilai tidak dilandasi hukum. Bahkan bertentangan dengan Putusan MK Nomor 118/PUU-XX/2022. Berdasarkan Pasal 79a Putusan MK tersebut, laporan yang dibuat CMNP tidak kedaluwarsa.
Beleid pasal tersebut berbunyi: “Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu, atau mata uang yang dirusak digunakan” tidak mengikat.”
“Berdasarkan Putusan Nomor 118/PUU-XX/2022 Mahkamah Konstitusi sesuai pasal 79a, laporan CMNP terhadap Hary Tanoe, tidak kedaluwarsa,” tegas Fandy.
Di sisi lain, kuasa hukum Hary Tanoe dan MNC Asia Holding dinilai salah karena tidak bisa membedakan antara NCD dengan Zero Coupon Bond (ZCB). Fandy menyebut, NCD bukan merupakan surat utang obligasi.
“Hotman Paris keliru, sebab NCD tidak sama dengan Zero Coupon Bond, NCD bukan merupakan surat utang obligasi,” ujarnya.
Ia menilai, Hotman Paris tidak memahami klaim Hary Tanoe dan MNC Asia Holding yang hanya bertindak sebagai arranger atau perantara.
Menurut sepengetahuannya, CMNP tidak pernah bertransaksi langsung dengan PT Unibank. Di mana, transaksi tukar menukar NCD dengan MTN (Medium Term Note) dan obligasi tahap II milik CMNP itu, merupakan urusan antara Hary Tanoe dan CMNP.
Informasi saja, munculnya kasus ini berdasarkan RUPSLB CMNP pada Desember 2024. Selanjutnya dilakukan investigasi lebih lanjut terhadap transaksi pertukaran surat berharga antara CMNP dengan PT MNC Asia Holding Tbk dan ditemukan dugaan pemalsuan NCD senilai US$28 juta.
“Informasi BI (Bank Indonesia) melalui suratnya tahun 2003, tidak terdapat sertifikat deposito (NCD) dalam USD (dolar AS) dan tidak diketahui adanya penerbitan NCD dalam USD,” tegas Dosen Ekonomi Untag itu.
Kasus dugaan NCD atau sertifikat deposito yang diduga bodong ini, terjadi pada 1999. Kasus ini terungkap dari sistem keterbukaan informasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebut adanya gugatan CMNP terhadap Hary Tanoe dan MNC Asia Holding ke PN Jakpus pada 28 Februari 2025. Dengan nomor gugatan 142/Pdt.G/2025/PN Jkr.Pst.
Dan, CMNP menjelaskan, NCD merupakan surat berharga yang sifatnya ‘atas bawa’ (aan toonder, to bearer). Artinya, siapa yang membawa dan dapat menunjukkan serta menyerahkan NCD untuk diuangkan, adalah pemiliknya. Dan menurut CMNP, Hary Tanoe yang menyerahkan NCD kepada CMNP saat itu.
Selain Hary Tanoe dan perusahaannya, CMNP juga menyertakan nama Tito Sulistio dan Teddy Kharsadi sebagai tergugat III dan IV. Akibat perkara ini, PT CMNP mengaku mengalami kerugian Rp 103,4 triliun. Hitungan ini didasarkan bunga 2 persen per bulan sejak kasus itu terjadi.
Dalam kasus ini, Hotman Paris dan Direktur Legal MNC Chris Taufik kompak membantah bahwa Hary Tanoe hanya bertindak sebagai broker atau perantara dalam dugaan NCD bodong yang dikeluarkan Unibank.
Dikatakan Hotman Paris gugatan CMNP sudah kedaluwarsa karena transaksi penerbitan surat berharga terjadi pada 1999. “Ini (transaksi) bulan Mei 1999. Sekarang udah berapa tahun? 26 tahun ya. Jadi dari segi pidana sudah kadaluarsa. Dari segi pidana sudah kadaluarsa, karena tindak pidana ini 12 tahun kedaluwarsanya,” kata Hotman Paris di iNews Tower, Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025).
Hotman Paris menyebut, Hary Tanoe tidak memiliki tanggung jawab dalam transaksi tersebut dari sisi hukum perdata. Karena peran Hary Tanoe sebagai broker, sedangkan Unibank yang menerima semua uang untuk penerbitan surat berharga tersebut.