Pengamat hukum dari Universitas Airlangga, I Wayan Titib Sulaksana, merespons dorongan berbagai pihak untuk menghapus Pasal 8 Ayat 5 UU Nomor 11 Tahun 2021 yang dianggap membuat jaksa kebal hukum.
Wayang mengingatkan, keberhasilan penegakan hukum tidak hanya bergantung pada aturan, tetapi juga pada integritas aparat penegak hukum.
“Semuanya kembali lagi kepada niat dan keberanian aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum yang sudah ada,” ujar Wayan saat dihubungi Inilah.com, dari Jakarta, Jumat (31/1/2025).
Wayan menilai bahwa penghapusan pasal tersebut akan sia-sia jika mentalitas aparat penegak hukum tidak diperbaiki.
“Sebaik dan sebagus apa pun peraturan hukum itu, kalau mentalitas aparat penegak hukum akhlaknya rusak, ya sudah selesai,” tegasnya.
Asal tahu saja, Undang-Undang nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan dinilai memuat banyak masalah. Dari imunitas bagi jaksa yang terjerat perkara pidana hingga kewenangan yang dianggap berlebihan. Sejumlah pihak pun mendorong agar UU Kejaksaan segera direvisi oleh DPR.
Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang secara khusus menyoroti Pasal 8 Ayat 5 UU Kejaksaan. Di matanya keberadaan pasal sial hak imunitas ini bisa menimbulkan konflik kepentingan serta ketidakpastian hukum. Adapun bunyi pasal tersebut: Dalam hal melaksanakan tugas, jaksa diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
“Beberapa pihak khawatir bahwa ketentuan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan, karena Jaksa Agung yang memberikan izin juga memiliki kekuasaan yang besar dalam kejaksaan. Hal ini bisa mengarah pada penyalahgunaan wewenang,” kata Saut kepada Inilah.com, Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Saut juga menerangkan ada beberapa pihak berpendapat, ketentuan ini kurang transparan. Yang mana akhirnya tidak memberikan mekanisme pengawasan yang cukup, untuk memastikan hak imunitas jaksa tidak disalahgunakan.
“Sehingga menimbulkan potensi soal ketidakpastian hukum. Ada ketidakpastian dalam penegakan hukum yang dihasilkan oleh pasal ini, yang bisa menghambat proses penegakan hukum yang efektif,” jelas Saut.
Dengan begitu, Saut menegaskan pasal ini perlu diatur lebih rinci dan transaparan untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang. “Kekhawatiran utama yang diajukan oleh beberapa kalangan mengenai Pasal 8 Ayat 5 dari UU No. 11 Tahun 2021 adalah bahwa ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan beberapa masalah,” ujar dia.
Jauh sebelum Saut bersuara, pengamat hukum Ade Adriansyah Utama pernah mendorong agar Pasal 30 Ayat 1 UU Kejaksaan memberi wewenang jaksa untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, hingga pemberian jasa hukum. Kewenangan ini dinilai terlalu berlebihan sehingga menjadikan Korps Adhyaksa begitu powefull.
Menurutnya, kewenangan penyidikan kejaksaan dalam tindak pidana tertentu seharusnya ada pembatasan yang jelas. Sebab, sambungnya, bukan tidak mungkin wewenang jaksa sebagai penyidik akan membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam proses penyidikan.
“Bayangkan, dalam proses prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan jaksa dilakukan sekaligus sehingga tidak ada kontrol dari lembaga lain,” terangnya September lalu.
Sementara Kejaksaan Agung (Kejagung) enggan berkomentar soal banyaknya kritikan menyoroti beberapa pasal dalam UU Kejaksaan. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Harli Siregar, mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya keputusan untuk revisi aturan tersebut kepada DPR RI.
“Kami tidak dalam posisi itu (memastikan atau tidak) tetapi kami hanya menyampaikan norma secara universal,” kata Harli saat dihubungi BI di Jakarta, Kamis (30/1/2025).