Pengaruh Efisiensi Anggaran 2025 Terhadap Sektor Pariwisata


Kebijakan pemerintah untuk menerapkan efisiensi anggaran pada tahun 2025 dengan tujuan meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara tentu memiliki dampak signifikan terhadap sektor pariwisata. Pemangkasan anggaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) hingga lebih dari 40%—menyisakan hanya sekitar Rp884,9 miliar dari pagu awal sebesar Rp1,49 triliun—telah menciptakan ketegangan serius dan menjadi alarm strategis bagi sektor yang selama ini digadang sebagai salah satu pilar utama pemulihan dan diversifikasi ekonomi nasional.

Di tengah lanskap ekonomi global yang masih dibayangi ketidakpastian dan tekanan inflasi, langkah penghematan ini—yang secara logis didasari oleh niat menjaga stabilitas dan kesehatan fiskal negara (Kemenkeu, 2025)—justru berisiko menjadi langkah mundur yang fundamental. Rasionalitas fiskal makro tampak bertabrakan dengan urgensi strategis sektoral.

Padahal, arena pariwisata global saat ini bergerak dalam dinamika yang sangat cepat dan kompetitif. Negara-negara tetangga seperti Thailand melonggarkan kebijakan visa dan menggelontorkan dana besar untuk kampanye global, sementara Vietnam agresif membangun infrastruktur dan mempromosikan destinasi alternatif (UNWTO, 2025). Mereka aktif merebut pangsa pasar wisatawan internasional yang mulai pulih pascapandemi. Momentum kebangkitan minat perjalanan global ini adalah jendela peluang yang hanya terbuka sesaat. Dalam situasi kritis seperti ini, pemotongan anggaran secara drastis berpotensi menghilangkan momentum dan pangsa pasar secara permanen.

Langkah pemangkasan tersebut melemahkan kapasitas Kemenparekraf dalam melakukan promosi global yang masif dan terarah, mengembangkan destinasi prioritas, serta meningkatkan standar kualitas SDM pariwisata (Kemenparekraf, 2025). Terlepas dari tekanan fiskal yang nyata, memprioritaskan dan melindungi anggaran sektor strategis seperti pariwisata seharusnya tetap menjadi kalkulasi utama. Pariwisata bukan sekadar pos pengeluaran konsumtif atau seremonial yang mudah dikorbankan. Ia adalah investasi strategis dengan multiplier effect ekonomi yang luar biasa luas.

Setiap rupiah yang dibelanjakan wisatawan berdampak pada rantai pasok yang panjang: dari petani dan nelayan penyedia bahan baku, pengrajin suvenir, penyedia jasa transportasi, hingga pekerja hotel dan pemandu wisata. Lebih jauh, pariwisata juga merupakan mesin penghasil devisa penting yang menopang neraca pembayaran (PDB Pariwisata, 2025) serta instrumen soft power dalam membangun citra bangsa. Memangkas anggarannya dengan logika linier seolah setara dengan pos operasional rutin lainnya sama saja dengan mengabaikan peran vitalnya dalam diversifikasi ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing nasional di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Indonesia, dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa, sejatinya memiliki peluang emas menjadikan pariwisata sebagai pilar pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Namun kebijakan pemangkasan anggaran secara drastis ini justru mengancam realisasi potensi tersebut. Estimasi menunjukkan potensi kerugian pendapatan industri perhotelan dan restoran hingga puluhan triliun rupiah akibat hilangnya belanja meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) pemerintah (PHRI, 2025). Ini bukan sekadar statistik, tetapi ancaman nyata bagi kelangsungan bisnis ribuan pelaku usaha dan puluhan ribu pekerja, terutama di daerah yang bergantung pada aktivitas pemerintah untuk mengisi tingkat hunian di luar musim liburan.

Lebih jauh, pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata—akses jalan ke destinasi terpencil, peningkatan kapasitas bandara internasional, jaringan internet, serta sistem pengelolaan sampah dan sanitasi—terancam mandek (Kemenparekraf, 2025). Hambatan struktural ini membatasi pengembangan produk wisata baru, menurunkan kualitas pengalaman wisatawan, dan akhirnya melemahkan daya saing destinasi Indonesia.

Diskursus mengenai efisiensi anggaran selama ini kerap terjebak dalam asumsi simplistik bahwa efisiensi berarti pemotongan merata tanpa mempertimbangkan dampak strategis sektoral. Narasi bahwa keterbatasan dana akan memicu inovasi dan kolaborasi juga terdengar utopis jika tidak dibarengi investasi awal yang memadai. Inovasi butuh ruang eksperimen, dan kolaborasi butuh sumber daya untuk koordinasi serta implementasi.

Efisiensi sejati seharusnya menyasar pemborosan birokrasi dan program tumpang tindih yang minim dampak, bukan mengamputasi program-program strategis. Akuntabilitas dan tata kelola yang baik adalah prasyarat wajib—bukan justifikasi pemangkasan yang membahayakan fungsi utama sektor.

Karena itu, anggaran yang tersisa harus diprioritaskan untuk program dengan economic impact tinggi, seperti promosi digital tertarget kepada segmen high-spender, pengembangan atraksi unggulan di Destinasi Super Prioritas, dan dukungan konkret lintas kementerian. Kolaborasi lintas sektor—seperti dengan Kementerian PUPR untuk infrastruktur dasar, Kemenkominfo untuk konektivitas digital, dan pemerintah daerah—harus diwujudkan dalam aksi nyata, bukan sekadar memorandum of understanding.

Lebih strategis lagi, pemerintah perlu menjajaki skema pendanaan non-APBN, seperti:

  • optimalisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Pariwisata,
  • skema Public Private Partnership (KPBU) yang atraktif,
  • pinjaman lunak dari lembaga pembangunan internasional,
  • penerapan tourism levy atau pajak turis untuk reinvestasi,
  • dan pembentukan dana abadi pariwisata.

Jangan biarkan kebijakan efisiensi yang bertujuan baik ini menjadi bumerang yang justru mematikan momentum kebangkitan dan potensi emas sektor pariwisata nasional. Keputusan hari ini akan menentukan apakah pariwisata Indonesia mampu bersaing dan berkontribusi optimal, atau justru tertinggal dan kehilangan relevansi di panggung global.

Kini saatnya mengedepankan kebijaksanaan strategis—bukan sekadar kalkulasi fiskal jangka pendek.