Kejayaan aplikasi kencan secara perlahan memudar. Pada bulan ini, saham Bumble anjlok 30 persen seiring dengan laporan pemasukan yang merosot.
Mengutip The Guardian, Senin (19/8/2024), aplikasi kencan di bawah naungan Match Group, seperti Tinder, Match.com, dan OkCupid, telah melaporkan penurunan jumlah pelanggan berbayar dalam tujuh kuartal berturut-turut.
Menurut firma riset Pew, nyaris setengah pengguna aplikasi kencan online dan lebih dari setengah perempuan mengatakan pengalaman mereka sangat buruk dalam menjajal platform kencan online.
Tidak hanya karena sulitnya mendapat jodoh ideal, tapi isu penipuan juga makin kencang. Studi Pew menunjukkan sebanyak 52 persen pengguna aplikasi kencan mengaku ada orang yang mencoba menipu mereka.
Kemudian sebanyak 57 persen perempuan mengatakan kencan online tak aman dan 87 persen mengatakan 'diteror' terus-terusan oleh orang yang terang-terangan sudah mereka tolak.
Secara spesifik pada Bumble, aplikasi itu mengalami penurunan akibat sejumlah kejadian beruntun. Salah satunya dipicu fenomena para selebritas yang mengaku menjalani 'celibate' atau puasa dari hubungan asmara. Mereka antara lain Khloe Kardashian, Lenny Kravitz, Julia Fox, Kate Hudson, dan Tiffany Haddish.
Sementara itu, New York Magazine mengonfirmasi tren 'celibate' terjadi akibat maraknya kepanikan moral tentang hubungan seks dan kebanyakan dialami oleh generasi muda.
Laurie Mintz, seorang profesor psikologi Universitas Florida, AS, mengatakan bahwa pada dasarnya tren 'celibate' dipicu kasus 'coba satu, coba yang lain'.
Menurut dia, fenomena ini terkait dengan ketidakpuasan mendasar terhadap status quo seks dalam hubungan romantis bagi perempuan dan penolakan terhadap aturan dan batasan yang kaku mengenai apa yang harus terjadi.
Pada kultur kencan online, banyak orang merasa tidak puas dengan konsep transaksional yang terbentuk. Penulis Vox, Allie Volpe, menganjurkan orang-orang untuk mencari jodoh secara offline. Dia mengatakan banyak teman-temannya yang lajang sudah menyerah dengan konsep kencan online.
“Orang-orang merasakan bahwa kencan online menjadi sangat impersonal, dan seperti permainan angka. Sehingga orang-orang merasa ada pilihan yang tidak terbatas di luar sana. Hasilnya, orang-orang tidak lagi bersikap baik kepada orang-orang yang ditemui di aplikasi,” kata dia.
Volpe menambahkan, banyak orang yang saat ini mencari cara organik untuk bertemu pasangan. Dengan demikian, ketika orang tak merasa tertarik maka bisa dibicarakan baik-baik dan segera 'move on'.
“Di platform online, sulit untuk mengontrol agar orang lain benar-benar menerima penolakan secara baik-baik. Bisa saja orang terus 'diteror', atau bahkan tiba-tiba orang lain hilang atau ghosting begitu mendapat apa yang mereka mau,” kata dia.
“Sangat aneh ketika bertemu orang asing di aplikasi dan tiba-tiba langsung terlibat hubungan romantis. Konsep semacam ini jarang terjadi ketika seseorang bertemu secara offline,” lanjut Volpe.
Konsep kencan online dinormalisasi ketika pandemi COVID-19 terjadi. Pasalnya, orang-orang terpaksa tinggal di rumah, sehingga susah bertemu tatap muka. Bagi Gen Z, bisa jadi pengalaman kencan pertama mereka dialami melalui aplikasi kencan online.
Walaupun begitu, industri kencan online sebenarnya masih kecil. Pendapatan tahunan Match Group dilaporkan 'hanya' sebesar US$3,4 miliar. Terbilang sangat kecil dibandingkan raksasa teknologi lain, menurut Mark Brooks, konsultan industri.
Aplikasi kencan online memang memiliki model bisnis yang jelas. Ada beberapa fitur yang harus dibayar atau berlangganan. Namun, ketika seseorang telah 'nyaman', kerap kali mereka pindah ke aplikasi pesan singkat tak berbayar alias gratis.
Hal lain yang membuat kencan online melelahkan adalah banyaknya tahapan-tahapan pada interaksi offline yang langsung berlangsung instan. Misalnya, sangat umum di aplikasi kencan online, orang yang 'match' tiba-tiba diterpa pertanyaan 'apakah Anda tertarik menikah?'. Hal ini tentu mereduksi keindahan dalam mengenal seseorang secara organik dan bertahap.