Kanal

Penumpang Gelap dan Tiga Masalah Permendikbud Ristek 30

Polemik dan perdebatan mengenai Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 masih terus berlangsung dan kian panas saja. Saling tuding antara kelompok yang pro dan kontra kian hari kian liar, penumpang gelap dalam perdebatan ini juga semakin banyak. Seolah ini tentang melindungi atau tidak melindungi korban kekerasan seksual, ihwal pro perempuan atau mengagungkan laki-laki dalam relasi kuasa tertentu.

Semua itu mengaburkan esensi bahwa sebenarnya tidak ada satupun pihak yang setuju pada ide untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi. Semua sangat setuju. Tidak ada satupun ormas atau tokoh agama, termasuk Muhammadiyah, Aisyiyah dan MUI, yang tidak mau Permendikbud Ristek 30 ini ditegakkan untuk menyelamatkan dan melindungi kelompok rentan kekerasan seksual di kampus–apapun gendernya.

Masalah sesungguhnya adalah kritik terhadap Peraturan Menteri Nadiem sebagai produk hukum formal negara. Sebagai sebuah kebijakan publik, ia tidak boleh anti kritik dan tertutup peluangnya untuk direvisi. Lagipula, perdebatan dan polemik yang ada seolah menciptakan kultur demokrasi yang eksklusif, yang memaksakan perspektif tertentu, dan tidak akomodatif terhadap perspektif yang lain. Kita butuh ‘demokrasi yang inklusif’ (Arran Gare, ‘Beyond Social Democracy?, Democracy & Nature, 2003).

Padahal, semestinya Mas Menteri tahu bahwa cita-cita kita berdemokrasi adalah dengan mengusung prinsip demokrasi deliberatif. Demokrasi yang menempatkan konsensus sebagai inti dari prinsip pengambilan keputusan. Demokrasi yang menampung dan mengayomi semua aspirasi, apalagi mengingat bangsa ini merupakan bangsa yang plural (majemuk, bhinneka). Sementara masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, dalam hal ini aspirasinya diwakili oleh kelompok masyarakat sipil di bidang agama, jumlahnya tidak sedikit dan tidak boleh diabaikan begitu saja (majority rule) (Helene Landemore, ‘Deliberative Democracy as Open, Not (Just) Representative Democracy’, 2017).

Penumpang Gelap

Setidaknya saya mencatat tiga problem utama dari polemik Permendikbud Ristek 30 ini. Pertama, problem prosedural. Kemendikbud Ristek mesti terbuka tentang proses bagaimana peraturan menteri ini dihasilkan. Apakah memang sudah melibatkan semua pihak dan unsur terkait, termasuk kelompok masyarakat sipil keagamaan? Jika memang sudah, apakah gagasan dan aspirasi mereka ditampung dan diakomodasi?

Jangan sampai ada keluhan seperti disampaikan Aisyiyah, bahwa sebelumnya mereka diundang proses diskusi mengenai Permen ini tetapi di saat-saat akhir saja, saat draft Permen justru sudah berada di Kementerian Hukum dan HAM? Pada saat diundang itu, Aisyiyah menyampaikan sejumlah aspirasi, termasuk soal frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang sekarang bikin rame itu, tetapi aspirasi itu sama sekali tidak diakomodasi. Dan bleid Permen yang diteken serta disahkan 31 Agustus 2021 itu konon sama sekali tidak berubah dari draft awal yang didiskusikan. Jika benar begini, apakah pelibatan unsur masyarakat atau ormas hanya bersifat formalitas belaka? Saya percaya tidak demikian.

Poin keberatan Muhammadiyah dan Aisyiyah di antaranya adalah soal prosedur ini. Dalam berbagai keterangan resmi jelas mereka menyinggung persoalan prosedur formal ini. Maka jawablah secara terang benderang mengenai hal ini, jelaskan kepada publik. Jangan sampai bola liar dibiarkan dan sebagian pihak justru jadi menuduh Aisyiyah, Muhammadiyah, atau MUI tidak pro pada pencegahan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Faktanya, bahkan jauh sebelum Permen ini ada, melalui Majelis Hukum dan HAM (MHH) Aisyiyah sudah menginisiasi dan mendirikan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) untuk membantu para perempuan mengadukan persoalan-persoalan yang mereka hadapi, termasuk KDRT dan kasus kekerasan seksual. Saat ini Aisyiyah sudah memiliki Posbakum di 25 wilayah dan 10 daerah. Ini menunjukkan bahwa komitmen Aisyiyah sebagai salah gerakan perempuan tertua di Indonesia terhadap kekerasan seksual dan isu perempuan tak perlu diragukan lagi.

Kedua, problem substansi. Harus diakui bahwa ada persoalan substansi dalam Permen ini, terutama yang terdapat dalam pasal 5. Apakah itu persoalan basis ideologi yang dipakai, konsep yang diadopsi, atau masalah kebahasaan yang membuatnya ambigu dan multitafsir. Apapun itu, masalah substansi ini nyata dan membuat publik berdebat panjang. Sampai-sampai perdebatan ini seolah kembali membelah publik, ditumpangi banyak ‘free rider’ yang saling serang satu sama lain dengan sinisme masing-masing yang sebetulnya tidak sepenuhnya relevan dengan substansi persoalan.

Bermula dari perdebatan dan polemik di tengah publik ini, terutama di media sosial, bersyukur Menteri Nadiem akhirnya bergerak. Mulai dari menemui Aisyiyah untuk mengajak berdialog dan mendengarkan masukan. Hingga melakukan sosialisasi mengenai Permendikbud Ristek No. 30 ini di berbagai platform, mulai dari berita, posting media sosial, hingga podcast bersama ‘public figure’. Akhir-akhir ini kita senang Mas Menteri sudah mulai berkomentar bahwa ia mempertimbangkan revisi, seperti yang ia sampaikan saat bertemu dengan Aisyiyah, hanya perlu bersabar dulu karena ia masih berkeliling ke pihak-pihak lain.

Saya kira ini masalah ketiga dari polemik ini. Masalah sosialisasi. Saat melakukan sosialisasi mengenai Permendikbud Ristek 30 ini, saya melihat ada penumpang-penumpang gelap yang justru menyusupi agenda sosialisasi Mas Menteri ini. Sebagian mereka membabi-buta menuduh siapapun yang tidak setuju pada konsep ‘consent’ yang diadopsi Permen itu sebagai pihak yang kolot, pro kekerasan seksual, moralis, dan seterusnya. Meskipun sebaliknya juga, di pihak yang ingin Permen ini direvisi pun banyak penumpang gelapnya, mereka yang berpikir “pokoknya apapun dari pemerintah salah”.

Mengakhiri Polemik

Di sinilah negara harus bersikap. Negara dalam hal ini Kemendikbud Ristek tidak boleh berada pada salah satu sisi. Negara perlu berada di tengah untuk mendengarkan dan mengakomodasi semua masukan masyarakat. Jika justru Kemendikbud ikut menggerakkan opini publik untuk setuju atau tidak setuju pada salah satu kubu, negara sudah memaksakan kehendak dan perspektifnya. Ini tak baik bagi dunia kebijakan publik kita.

Terakhir, saya percaya Menteri Nadiem dan Kementeriannya akan mendengarkan semua masukan berbagai pihak, termasuk Muhammadiyah, Aisyiyah, dan MUI. Seperti saya percaya tak pernah ada niat dari Kemendikbud Ristek melegalisasi perzinahan. Dan saya percaya kita masih menganut demokrasi deliberatif yang inklusif tadi. Masalahnya, memang produk hukum formal negara harus bisa menampilkan prinsip yang sifatnya normatif, termasuk norma agama, budaya dan masyarakat. Kita tak bisa mengabaikan itu.

Lalu, apa revisinya? Saya kira revisi yang tepat akan didapat dari proses demokratis yang melibatkan semua pihak. Ajak lagi diskusi MUI, Muhammadiyah, Aisyiyah, dan ormas-ormas lainnya. Dengarkan masukan mereka, terima keberatan mereka, akomodasi gagasan mereka. Itulah konsensus.

Kalau saya dimintai pendapat, saya kira solusinya simpel saja, hilangkan frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dan buat satu pasal baru yang menegaskan bahwa penerapan sanksi atau hukum terhadap kasus kekerasan seksual harus bersifat adil dan tidak mengabaikan suara korban. Kita semua setuju bahwa korban harus dilindungi dan peraturan harus mengakomodasi sudut pandang korban.

Mudah-mudahan polemik ini cepat berlalu. Sayang sekali energi kita dihabiskan untuk saling serang, saling tuding, saling jatuhkan. Saya kira Mas Menteri tahu, Presiden ingin kita hidup guyub dan rukun. Hindari semua polemik yang berpotensi memecah sentimen publik.

Tabik!

FAHD PAHDEPIE, Penulis, Pemerhati Kebijakan Publik

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button