Pemerintah Indonesia membebaskan terpidana mati kasus penyelundupan narkotika asal Filipina, Mary Jane Veloso.
Kabar itu disampaikan Presiden Filipina Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr melalui akun Instagram resminya pada Rabu (20/11/2024). “Mary Jane Veloso akan pulang,” tulis Bongbong dalam unggahannya.
Sang Presiden mengatakan Mary akan kembali ke kampung halamannya setelah lebih dari satu dekade Filipina berdiplomasi dan berkonsultasi dengan pemerintah Indonesia untuk menunda eksekusinya.
Mary Jane merupakan warga negara Filipina yang lahir pada 10 Januari 1985. Ia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara yang saat ini usianya sudah menginjak 39 tahun.
Di Filipina, Mary Jane tinggal di Kota Cabanatuan, Negara Bagian Nueva Ecija. Di sana, ia hidup bersama keluarganya dalam kondisi miskin dan prihatin.
Mary Jane bahkan pernah menjadi pemulung lantaran gaji sang ayah, Hacienda Luisita, yang hanya bekerja sebagai pekerja serabutan tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kondisi hidup yang dialami Mary Jane ini membuatnya tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ia dikabarkan hanya bisa sekolah sampai jenjang kelas 1 SMA karena orangtuanya tidak bisa membayar uang sekolah.
Setelah lepas sekolah, Mary Jane pun memutuskan menikah muda. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua orang anak, Mark Daniel dan Mark Darren.
Pada 2009, Mary Jane memutuskan merantau ke Dubai, Uni Emirat Arab, untuk mencari pekerjaan. Saat itu, ia berharap bisa mendapatkan penghasilan cukup agar bisa ‘mengeluarkan’ keluarganya yang kemiskinan.
Namun, nasib berkata lain. Tak lama usai bekerja di Dubai, Mary Jane pun memutuskan untuk kembali ke Filipina. Dia kabur setelah nyaris mengalami pemerkosaan oleh majikannya sendiri.
Meski gagal meniti karier di Dubai, Mary Jane tak lantas putus asa. Pada 18 April 2010, ia diberitahu rekan dekatnya, Maria Kristina Sergio, bahwa ada seorang di Malaysia yang membutuhkan asisten rumah tangga.
Tanpa berpikir panjang, Mary pun langsung menerima tawaran kerja di Malaysia dari Maria. Ia dan kawannya itu pun segera terbang ke Malaysia pada 22 April 2010.
Namun, nasib buruk pun kembali menemui Mary Jane. Sesampainya di Malaysia, ia diberitahu bahwa lowongan pekerjaan ART yang ditawarkan oleh temannya ternyata sudah ditutup. Sebab lowongan itu sudah diisi oleh pelamar lain.
Merespons hal ini, Mary merasa sedikit putus asa. Sebab, harapannya untuk mendapat pekerjaan saat itu kembali pupus. Selain itu, di Malaysia, Mary Jane juga hanya membawa perbekalan seadanya. Bahkan, ia saat itu dikabarkan hanya membawa dua setel baju dan celana.
Meski begitu, Maria sebagai teman dekat berusaha menyemangati Mary Jane. Ia meyakinkan Mary Jane bahwa dirinya akan segera mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat. Bersama temannya, Mary Jane pun akhirnya terpaksa tinggal di Malaysia selama kurang lebih 3 hari.
Pada 25 April 2010, Maria menyuruh Mary Jane untuk mengemasi barang-barangnya. Sebab, saat itu, ia menyuruh Mary Jane untuk segera terbang ke Yogyakarta, Indonesia karena di sana ada lowongan pekerjaan.
Awalnya, Mary Jaru ragu menerima tawaran tersebut. Sebab, saat itu, ia sudah tidak punya uang untukmembeli tiket pesawat ke Yogya. Jangankan uang, untuk makan sehari-hari saja waktu itu Mary Jane kesulitan.
Beruntungnya, Maria mau membantu Mary Jane. Ia meminjamkan sejumlah uang kepada Mary Jane untuk berangkat ke Yogyakarta. Namun, di sinilah letak kesalahan Mary Jane.
Saat itu, Mary Jane ditawari kawannya itu untuk menyelundupkan heroin ke Indonesia. Lantaran dihimpit kondisi ekonomi yang tidak memadai, ia pun menerima tawaran tersebut.
Maria pun memasukan sejumlah narkotika jenis heroin ke dalam koper yang ia berikan kepada Mary Jane. Kawannya itu juga memberikan sejumlah uang kepada Mary Jane untuk biaya hidup di Yogyakarta
Sesampainya di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, Mary Jane langsung diperiksa petugas karena ada indikasi barang mencurigakan di koper yang ia bawa saat pemerikaan mesin x-ray.
Pada awal pemeriksaan, petugas bandara tidak ditemukan adanya barang mencurigakan di dalam koper Mary Jane. Namun, petugas bandara tidak lantas percaya begitu saja. Oleh sebab itu, mereka melakukan pengecekan kembali terhadap koper tersebut.
Benar saja, usai melakukan pengecekan lebih detil, petugas bandara akhirnya menemukan heroin seberat 2,6 kilogram di dalam koper Mary Jane. Heroin yang ditaksir seharga US$500 ribu atau setara Rp7,6 miliar saat itu.
Imbas temuan ini, Kepolisian Indonesia pun segera menangkap dan menahan Mary Jane. Pada 11 Mei 2010, Mary Jane sempat menelpon keluarganya untuk memberi tahu kondisinya di Indonesia.
“Ibu, Ayah, aku sangat mencintai kalian semua. Aku dipenjara,” kata dalam percakapan telepon saat mengabari keluarganya.
Kesalahan berat Mary Jane ini membuat Indonesia saat itu bertindak tegas. Pengadilan Negeri Sleman memutuskan untuk menjatuhkan vonis hukuman mati.
Pada 2011, Mary Jane sebetulnya pernah mengajukan banding untuk meringankan hukuman mati yang diberikan kepadanya. Namun upaya bandingnya ditolak.
Upaya Peninjauan Kembali (PK) juga kandas hingga grasinya ditolak Presiden Joko Widodo.
Saat itu, Jokowi juga tegas mengatakan bahwa Indonesia akan memerangi orang-orang atau kelompok yang masuk dalam organisasi pengedar narkoba. Ia pun akhirnya diputuskan akan dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan pada April 2015.
Menjelang tanggal eksekusinya, warga di Filipina dan Indonesia berunjuk rasa untuk menyelamatkan nyawa Mary Jane. Ratusan orang menggeruduk Kedutaan Besar Indonesia di Manila, bahkan bintang tinju dunia asal Filipina Manny Pacquiao sampai membuat permohonan publik agar Mary Jane dibiarkan hidup.
Dua hari sebelum tanggal eksekusi, keluarga Mary Jane diizinkan berkunjung. Dengan pilu Mary Jane menyampaikan kepada kedua putranya bahwa ia tidak akan pulang.
Keajaiban kemudian datang di menit-menit terakhir waktu eksekusinya. Hukuman mati Mary Jane secara mendadak ditangguhkan. Usut punya usut, Indonesia menerima perkembangan kasus terbaru dari Filipina mengenai penyerahan diri Maria Kristina Sergio.
Presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino, meminta Indonesia untuk membiarkan Mary Jane hidup guna bersaksi dalam kasus perdagangan manusia, perekrutan ilegal, serta penipuan yang dituduhkan pada Maria. Ia mengacu pada perjanjian regional yang mewajibkan negara-negara bekerja sama dalam menangani kejahatan transnasional.
Indonesia patuh dan menunda eksekusi Mary Jane demi bekerja sama dengan Filipina.
Setelah penundaan itu, Mary Jane terus mendekam di penjara Indonesia sembari menunggu proses hukum atas Maria rampung di Filipina.
Pada September 2022, Presiden Filipina Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr meminta grasi untuk Mary Jane yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Enrique Manalo kepada Menlu RI Retno Marsudi di Jakarta.
Kemudian, pada awal tahun ini, ibunda Mary Jane, Celia Veloso, menyampaikan permohonan kepada Presiden Jokowi untuk membebaskan putrinya. Permohonan itu disampaikan saat Jokowi berkunjung ke Manila, Filipina pada Januari.
“Saya memohon dan meminta kepada Anda untuk membantu membebaskan putri saya yang telah menderita meski tak bersalah selama 14 tahun,” kata Celia dalam surat yang dilihat AFP.
Pada 11 November 2024, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra pun menyampaikan bahwa Indonesia saat ini mempertimbangkan opsi ‘transfer of prisoner’ atau pemindahan narapidana Mary Jane. Jadi bukan pembebasan.
“Tidak ada kata bebas dalam statement Presiden Marcos itu: ‘bring her back to the Philippines’ artinya membawa dia kembali ke Filipina,” kata Yusril melalui keterangan persnya, Rabu.
Yusril mengatakan Indonesia menjunjung tinggi kedaulatan hukum dan berkomitmen pada penerapan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Namun, sebagai bagian dari upaya diplomasi yang konstruktif, Kemenko Kumham Imipas saat ini mempertimbangkan opsi ‘transfer of prisoner’ untuk narapidana asing termasuk Mary Jane yang disesuaikan dengan permintaan dari pemerintah negara asal.
“Masalah ini sudah kami diskusikan internal Kemenko Kumham Imipas dan juga sudah mendiskusikan poin-poin persoalan ini kepada Presiden Prabowo, dan kita sedang merumuskan satu kebijakan untuk menyelesaikan persoalan narapidana asing yang ada di negara kita ini baik melalui perundingan bilateral maupun juga kita merumuskan satu kebijakan yang dapat kita tempuh terkait dengan apa yang dalam bahasa Inggris sebut dengan transfer of prisoner,” ujar Yusril.
Apabila permohonan tersebut dikabulkan, Mary Jane akan melanjutkan sisa masa hukumannya di Filipina dengan mengikuti ketentuan yang telah diputuskan oleh pengadilan Indonesia. Pihak Filipina, sesuai kebijakan ini, juga diharapkan mengakui keputusan tersebut dan melaksanakannya.
Yusril menyebut kebijakan itu menjadi bagian dari kerja sama timbal balik antara kedua negara, Indonesia dan Filipina, untuk menghormati dan memperkuat penegakan hukum di tingkat internasional.
Yusril menyebut Mary Jane kemungkinan besar lolos dari hukuman mati apabila ada grasi yang diberikan Presiden Filipina.
“Dalam kasus Mary Jane yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia, mungkin saja Presiden Marcos akan memberikan grasi dan mengubah hukumannya menjadi hukuman seumur hidup, mengingat pidana mati telah dihapuskan dalam hukum pidana Filipina, maka langkah itu adalah kewenangan sepenuhnya dari Presiden Filipina,” ujarnya.