Peran Dunia dalam Menghadapi Kejahatan Israel


Genosida yang dilakukan Israel kepada warga Palestina masih terus berlanjut. Sudah hampir 41.000 warga Palestina meninggal dunia, termasuk anak-anak dan perempuan. Lebih dari 94.000 orang luka-luka akibat serangan yang membabi buta dari Israel. Sementara itu, serangan dari Hamas juga menewaskan 1.139 orang dan masih ada 240 orang warga Israel yang ditawan.

Dunia internasional sudah melakukan berbagai cara untuk mencari solusi penyelesaian dan menyuarakan agar segera dilakukan gencatan senjata. Semua aktor dalam dunia internasional, mulai dari aktor negara, organisasi internasional, hingga gerakan sosial masyarakat internasional, memberikan kontribusi masing-masing agar kejahatan kemanusiaan ini tidak terus berlanjut.

Peran Aktor-Aktor Internasional

Negara-negara sudah banyak yang mengutuk keras apa yang dilakukan Israel di bawah kepemimpinan Benyamin Netanyahu. Ada yang memutuskan hubungan diplomatik, memutus hubungan perdagangan, menangguhkan penjualan senjata, hingga berjuang di organisasi internasional. Bolivia, misalnya, memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan menilai bahwa Israel melakukan kejahatan kemanusiaan. Pada 3 Mei 2024, Turki menangguhkan hubungan perdagangan dengan Israel sampai tercapainya gencatan senjata permanen dan bantuan kemanusiaan bisa terjamin. Sementara itu, Afrika Selatan berjuang melalui Mahkamah Internasional dengan menggugat Israel melakukan genosida.

Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sangat diharapkan perannya oleh dunia internasional. Terjadi dinamika peran PBB di Sidang Majelis Umum (SMU), Dewan Keamanan (DK), dan Mahkamah Internasional. Secara mayoritas, negara-negara di SMU PBB sepakat untuk segera dilakukan gencatan senjata agar terjaminnya bantuan kemanusiaan di Gaza, Palestina. Namun demikian, SMU tidak memiliki kekuatan hukum untuk dapat mengimplementasikan hasilnya. Sementara itu, DK PBB yang memiliki kekuatan untuk mengimplementasikan kesepakatannya terhambat oleh Amerika Serikat sebagai aliansi Israel, yang beberapa kali menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi yang dirancang. Pada Juli 2024, Mahkamah Internasional sudah mengeluarkan putusan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina adalah ilegal. Namun demikian, Israel menolak putusan ini secara sepihak, bahkan AS meminta pengadilan untuk tidak memutuskan penarikan pasukan Israel tanpa syarat dari wilayah Palestina.

Selain negara dan organisasi internasional, masyarakat internasional juga berperan penting dalam menyuarakan perlindungan kemanusiaan bagi warga Palestina. Di seluruh dunia, masyarakat internasional melakukan demonstrasi dan membagikan berbagai dukungan terhadap Palestina di platform digital. Hal ini terjadi bukan hanya di negara-negara yang pro terhadap Palestina, namun bahkan di negara-negara yang posisinya abstain atau mendukung Israel. Di Amerika Serikat terjadi demonstrasi berturut-turut memprotes posisi AS, mengecam Israel, dan juga menuntut agar Palestina bisa mendapatkan kemerdekaannya. Kecaman dan protes masyarakat juga datang dari warga Israel. 

Mereka memprotes Benyamin Netanyahu karena dianggap tidak memadai dalam memberikan keamanan bagi warga Israel, terutama setelah kejadian lima sandera warga negara Israel dan satu sandera warga AS ditemukan tewas. Para demonstran menuntut pemerintah Israel agar segera melakukan gencatan senjata dan kesepakatan dengan Hamas agar sandera lainnya bisa dibebaskan. Mereka menilai pendekatan militeristik yang digunakan Netanyahu membuat kondisi semakin buruk. Suara dari internal Israel ini bisa menjadi secercah harapan dalam bentuk tekanan publik agar Netanyahu segera melakukan gencatan senjata.

Namun demikian, harapan yang tumbuh dari peranan berbagai aktor internasional ini bisa saja akan sulit terwujud. Penulis melihat setidaknya ada dua faktor utama yang menjadi tantangan sekaligus penghalang dalam mewujudkan gencatan senjata permanen dalam waktu dekat. Dua faktor utama tersebut adalah peran Amerika Serikat sebagai aliansi utama Israel dan kepemimpinan Netanyahu.

Peran Amerika Serikat

Dalam salah satu paradigma ilmu hubungan internasional ada yang dinamakan realisme. Dalam sudut pandang realisme, hal yang paling menentukan dalam sistem internasional yang anarki adalah kapasitas dan kapabilitas kekuatan yang dimiliki sebuah negara. Ada adagium “big power can do whatever they want to do.” Negara-negara dengan kekuatan besar memiliki kemampuan untuk berbuat apapun sesuai dengan kepentingan mereka, bahkan jika harus bertentangan dengan hukum internasional yang telah disepakati. Hal ini juga terjadi di organisasi internasional yang dibentuk dengan harapan adanya kesetaraan nilai dan peran semua anggotanya. Secara ekstrem, para pemikir realisme melihat bahwa organisasi internasional hanya menjadi “kepanjangan tangan” dan “alat” negara besar.

Amerika Serikat sebagai negara dengan kekuatan yang sangat besar memiliki pengaruh luar biasa di organisasi internasional, seperti PBB. AS memiliki hak istimewa veto di DK PBB, yang dalam konteks Israel-Palestina, AS akan mengeluarkan vetonya untuk menggagalkan rancangan resolusi yang tidak sesuai dengan kepentingan dirinya dan aliansinya, Israel. Hal ini menjadi penghalang yang cukup signifikan dan membuat PBB seolah sulit berperan untuk bisa menghasilkan gencatan senjata di Gaza. Bahkan Palestina tertolak menjadi anggota penuh PBB dikarenakan veto dari Amerika Serikat.

Perilaku Amerika Serikat yang menyulitkan ini dikarenakan lobi Israel yang kuat di Amerika Serikat. Dalam buku *The Israel Lobby and Foreign Policy* karya John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt dijelaskan bagaimana dahsyatnya lobi Israel di Amerika Serikat. Salah satu kelompok lobi Israel yang sangat kuat di AS bernama American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). AIPAC melakukan lobi-lobi ke berbagai sektor pemangku kebijakan di AS. Mereka masuk ke dalam kongres, lembaga eksekutif, dan bahkan mempengaruhi opini masyarakat AS untuk mendukung Israel. AIPAC bahkan tidak segan memberikan dana kampanye bagi mereka yang berjanji setia untuk terus mendukung Israel. AIPAC senantiasa memainkan perannya secara signifikan di momen politik AS.

AS akan menyelenggarakan pemilihan presiden pada bulan November 2024. Banyak yang pesimistis terhadap dua calon kandidat, baik Trump maupun Kamala Harris, dapat memberikan dukungan kepada Palestina. Pasalnya, keduanya menunjukkan posisinya akan terus bersama dan mendukung Israel. Kamala Harris dalam pidatonya menyampaikan bahwa Israel memiliki hak untuk mempertahankan dirinya. Namun demikian, Harris juga tidak menampik bahwa apa yang terjadi di Gaza juga menyedihkan. Di sisi lain, Trump bahkan menyampaikan bahwa serangan 7 Oktober ke Israel tidak akan terjadi jika dirinya menjadi presiden. Secara rekam jejak saat menjadi presiden, kesetiaannya kepada Israel ditunjukkan dengan mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Nampaknya kedua calon presiden tersebut ingin meyakinkan kekuatan lobi Israel di AS bahwa mereka tetap setia kepada Israel. Hal ini menjadi halangan yang sangat berat bagi masa depan rakyat Palestina.

Kepemimpinan Netanyahu

Netanyahu sudah cukup lama memimpin Israel. Dirinya pertama kali menjadi Perdana Menteri (PM) Israel pada 1996-1999. Kemudian, Netanyahu kembali menjadi PM Israel pada tahun 2009 hingga 2021. Setelah itu, Israel sempat dipimpin oleh Naftali Bennett dari Juni 2021-Juni 2022. Namun, kepemimpinannya tidak lama karena ketidakberhasilannya membangun koalisi dalam merancang undang-undang di Knesset. Pada pemilu Israel tahun 2022, dirinya bersama koalisi sayap kanan ultranasionalis religius kembali terpilih menjadi PM Israel. Selama kepemimpinannya, Netanyahu terkenal kejam terhadap penduduk Palestina dengan menggunakan pendekatan militeristik.

Setelah serangan 7 Oktober terhadap Israel, Netanyahu membuat Kabinet Perang Israel pada tanggal 11 Oktober 2023. Kabinet ini terdiri dari tim kecil (6 orang) representasi dari berbagai faksi, termasuk Benny Gantz dari partai National Unity yang berideologi tengah. Namun demikian, di tengah perjalanan kabinet ini ditinggal oleh anggotanya, termasuk Gantz, karena banyaknya perbedaan pandangan di dalamnya. Gantz menilai Netanyahu telah mencegah Israel maju menuju kemenangan sejati. Gantz menilai langkah yang dilakukan oleh Netanyahu sebagai langkah politis dan bukanlah langkah strategis. Hal ini terlihat bahwa Netanyahu seolah “memelihara” pendekatan militeristik (perang), meskipun cara ini tidak berhasil membebaskan sandera-sandera warga Israel.

Cara memelihara perang dengan justifikasi keamanan dan kepentingan nasional juga pernah dilakukan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan George W. Bush. Masih teringat dalam memori dunia internasional ketika itu Bush menyerang Irak dengan berbagai alasan, salah satunya Irak memiliki senjata pemusnah massal yang tidak terbukti hingga saat ini. Banyak korban jiwa yang meninggal dunia akibat penyerangan ini. Banyak yang melakukan demonstrasi mengecam apa yang dilakukan pemerintahan Bush. Namun demikian, hal ini tidak membuat Bush kalah dalam pemilihan presiden AS selanjutnya. Bahkan dirinya memenangkan suara populer di AS kala itu.

Belakangan ada 6 orang sandera, salah satunya warga AS, yang ditemukan tewas. Hal ini memicu demonstrasi besar terjadi di Israel yang menuntut Netanyahu segera melakukan gencatan senjata dengan Hamas agar dapat memulangkan para sandera yang masih tertawan. Namun demikian, nampaknya Netanyahu masih tidak bergeming dengan caranya untuk mengerahkan kekuatan militer agar dapat melumpuhkan Hamas dan memulangkan para sandera. Pada bulan Juni, Gantz dan warga Israel sebelumnya sempat menuntut agar dilaksanakan pemilu dini, sehingga bisa terjadi pergantian PM. Namun demikian, Netanyahu masih memiliki koalisi sayap kanan yang lebih dominan di parlemen dengan 64 dari 120 kursi.

Faktor Amerika Serikat dan kepemimpinan Netanyahu di Israel menjadi faktor penghalang terbesar untuk dihentikannya genosida di Gaza, Palestina. Meskipun sudah banyak peran dan gerakan dari aktor-aktor internasional untuk menghentikan kekejaman kemanusiaan ini, namun jika tidak ada kemauan politik dari dua faktor ini untuk melakukan gencatan senjata, nampaknya sulit untuk bisa mendapatkan kondisi ideal bagi rakyat Palestina. Penulis berharap suara dan perjuangan aktor internasional untuk terciptanya perdamaian serta terwujudnya kemerdekaan secara luas bagi Palestina terus berlanjut. Penulis percaya bahwa batu yang besar dan keras jika terus ditetesi air secara konsisten pasti tetap bisa berlubang. Maka dari itu, suara kita untuk perdamaian dan kemerdekaan rakyat Palestina harus terus diperjuangkan!