Perang Dagang AS-China di Masyarakat Konsumer


Perang dagang AS dan China terus berlangsung. AS menaikkan tarif ke China dari 34 sampai tarif 245. ‘Tantrum’ tertinggi Donald Trump ini merupakan respons dari tarif China yang menaikkan barang impor sebesar 125. Entah sampai kapan kondisi ini berakhir. Yang jelas, seluruh dunia mengalami kerusakan, termasuk tidak ada kemenangan antara AS dan China.

Perang dagang AS dan China pastinya mempengaruhi semua negara di dunia seperti nilai Rupiah jatuh sampai Rp17 ribu di 6 April 2025 dari dolar, banyak pabrik tutup, PHK, pengangguran bertambah, harga-harga mahal, produk lokal dibunuh produk luar, dan beberapa dampak lainnya. Masyarakat internasional berusaha bertahan demi keberlangsungan ekonomi mereka karena ekonomi utama dalam menjaga stabilitas sosial dan politik dalam negeri. Mereka melakukan self-help dalam dunia yang anarkis (tidak ada pemerintah dunia). Tindakan AS ini menolong dirinya sendiri dengan melawan sistem dunia yang dibentuknya sendiri. Apakah benar?

Penghancuran Diri Sendiri

Tata dunia liberal (Liberal Order) adalah sistem ekonomi politik global yang dipimpin oleh hegemoni AS. Sayang, tatanan ini dirusak secara ‘awur-awuran’ oleh AS sendiri di bawah administrasi Trump. Menurut pakar geopolitik, John Mearsheimer, ekonomi AS akan sangat hancur dibandingkan ekonomi China dalam perang dagang ini. Seluruh dunia tahu, termasuk AS dan China bahwa perang dagang ini tidak dimenangkan oleh siapa pun juga kecuali kerusakan ekonomi bersama-sama. Mearsheimer menambahkan bahwa kebijakan Trump menampilkan pengingkaran semua nilai-nilai AS sendiri. Tindakan ini mempermalukan bangsa AS sendiri.

Pakar Hubungan Internasional (HI) Amerika jebolan Harvard dan kini host di CNN, Fareed Zakaria, menyebut Trump sekarang sedang menembaki ‘kakinya sendiri’ karena menaikkan tarif artinya mempersulit bangsanya sendiri dengan membeli barang lebih mahal ke China dan negara pen-supply-nya. Zakaria melihat AS mengalami transformasi dari “the leading free market in the world” ke crony capitalism.

Seorang ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Columbia, Jeffrey Sachs, menyebut AS melakukan kebodohan karena pasar AS akan sangat sempit dengan isolasi itu. Jika AS digabung dengan Eropa, populasinya hanya kurang lebih 10 persen untuk hanya sekadar menggerakkan ekonomi sedangnya; di luar itu, China bisa menguasai 90 persen penduduk dunia melalui sokongan infrastruktur Belt and Road Initiative yang efektif, murah, akurat, dan cepat.

Pakar HI liberal dari Amerika, Keohane dan Nye (1970-an), menamai tata dunia liberal sebagai “interdependensi kompleks” yakni hubungan antaraktor hubungan internasional yang semakin rumit seperti aktor yang beragam dari non-negara ke negara, dimensi ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, dan keterkaitan di antaranya serta sifatnya yang bilateral sampai multilateral. Interdependensi kompleks ini membuat setiap aktor saling tergantung satu dengan yang lain seperti pasokan bahan baku manufaktur, supply chain, dan sebagainya. Sistem yang sudah mengikat dalam ketergantungan ini dirusak AS lalu dipertahankan China. Gambaran ekstremnya, jika AS jatuh ke dalam jurang kehancuran maka AS berharap mengajak yang lainnya untuk hancur bersamanya.

Masyarakat Konsumer

Konteks interdependensi kompleks membuat peran militer-politik dan ancaman-kekerasan di politik global menurun. Sebaliknya, dimensi relasi ekonomi-politik global semakin intens sehingga membentuk suatu budaya global baru. Tahun 1980-an, filsuf dan pakar kajian budaya Prancis, Jean Baudrillard, mendefinisikan budaya baru yang dikondisikan oleh relasi ekonomi-politik global sebagai budaya masyarakat konsumer, yakni adanya pergeseran dari pola produksi ke konsumsi melalui dunia maya (media). Jadi kelas pekerja (buruh) tidak hanya di pabrik, tapi konsumer pun kelas pekerja (buruh).

Di dunia media sosial yang masif, siapa pun yang klik, view, like, dan komen adalah kelas pekerja. Siapa pun yang mengonsumsi realitas dunia maya adalah kelas pekerja. Di balik mengonsumsi dan menikmati serta tergoda realitas dunia maya, mereka sekaligus kelas pekerja (buruh) bagi algoritma realitas dari sistem pertukaran tanda (logo/merek).

Dengan dominasi dunia maya maka bagi Baudrillard, realitas asli sudah tidak ada lagi. Apakah barang asli? Apa itu barang? Dalam masyarakat konsumer, barang dihidupkan oleh figur, selebritas, model, narasi melalui imajinasi dan fantasi lalu distempel asli oleh penjualnya. Barang adalah tanda (logo) dan artinya dan pertukarannya. Antara yang asli dan palsu sudah menjadi tidak penting lagi karena batasnya sudah tidak ada lagi. Utamanya adalah tanda dan pertukaran tanda (logo) dan maknanya. Barang yang bermerek dan hidup bersama maknanya inilah disebut fetisisme komoditas.

Perubahan komoditas menjadi komodifikasi disebut fetisisme komoditas, yakni jual beli barang yang dihidupkan dengan makna dalam suatu narasi kehidupan manusia dan ‘kemanusiaannya’. Fetisisme komoditas tidak lagi sebagai barang tapi dihidupi melalui makna lalu ditampilkan melalui fantasi, imajinasi, dan narasi. Dengan demikian, produksi barang tidaklah suatu objek benda mati yang terlepas dari kemanusiaan, tapi bagian dari makna dirinya.

Misalnya, sepatu merek Nike tidak hanya benda mati saja, tapi sepatu itu dinarasikan sebagai bagian dari makna diri manusia, yakni motivasi manusia, prestige, dan identitas pemakainya. Merek luxury seperti Louis Vuitton, Hermès Birkin, Lululemon, Giorgio Armani, Dior, Prada dan sejenisnya dijual dalam merek yang bermakna bukan hanya barang fungsional. Ada cerita yang diimajikan, difantasikan, dan digairahkan secara emosional dalam narasi status sosial, prestige, citra, dan hasrat ekstase.

AS menjual mimpi melalui imajinasi, fantasi, dan narasi. “American Dream” adalah fantasi yang diimajikan dalam narasi kedigdayaan AS sebagai negara hegemon tak terkalahkan dan pembela kebenaran. Namun kini meredup di tengah kebangkitan ekonomi China. Topi di pasar bertuliskan “Make America Great Again” dipatahkan narasinya di dunia maya dengan menunjukkan label “made in China”. Singkatnya, narasi dunia tentang AS dan secara umum dunia Barat sedang menuju senjakala.

Dunia maya media sosial seperti TikTok dan Instagram memberikan narasi keruntuhan manufaktur AS dan Eropa (Barat). Kini, bangsa China (Timur) adalah bangsa manufaktur terbesar di dunia. China dapat membuat apa saja secara cepat, efektif, dan murah. Tayangan tas mahal yang ternyata sangat murah diproduksi China seperti Louis Vuitton, Hermès Birkin, Lululemon, Giorgio Armani, Dior, Prada dan sejenisnya, memberikan bukti kehebatan manufaktur China. Hal ini termasuk mobil BYD, DeepSeek, dan sejenisnya. Produksi China menghancurkan narasi “Western dream and power”, yakni superioritas Barat atas bangsa Timur (sebagai follower, second account, inferior atau pembebek modernitas).

Narasi tentang tas mahal merek dunia Barat dipatahkan bangsa Timur. Pabrik dan orang China membeberkan tas mahal merek dunia Barat ternyata diproduksi sangat murah. Misalnya, tas kecil Louis Vuitton di China dengan harga berkisar Rp67.455 dijual di pasar dunia dengan merek sebesar Rp67.455.400; Hermès Birkin harga pabrik China Rp23.500.000 dihargai dengan merek Rp572.900.000; tas Prada seharga pabrik Rp1.600.000 dengan merek menjadi Rp8.400.000. Angka perkiraan itu hanyalah contoh kecil terjadi markup besar-besaran atas nama merek (logo). Setiap logo punya daya tarik narasi maknanya masing-masing.

Pembeli barang bermerek diyakinkan (dieksploitasi hasrat dan emosinya) dengan daya tarik rayuan, narasi citra elitis, eksklusif, produksi yang panjang, serius, kelangkaan, reputasi, identitas, bahan yang berkualitas, asesori logo stempel keaslian, birokrasi pembelian yang mewah, penuh kejutan dan memuaskan hasrat ekstase adrenalin konsumer. Narasi yang diciptakan bangsa Barat dalam komodifikasi barang ini telah dijelaskan Baudrillard dalam perubahan nilai-fungsi ke nilai-tukar dalam fantasi, imajinasi, eksploitasi hasrat ekstase konsumer atas fetisisme komoditas.

Perang dagang ini memberikan kesadaran kita tentang komoditas dan komodifikasi. Komoditas adalah barang fungsional sedangkan komodifikasi adalah barang yang telah dihidupkan. Misalnya, boneka Labubu sebagai barang fungsional akan berbeda jika dikomodifikasi menjadi fetisisme komoditas oleh Lisa Blackpink dalam narasi di Instagram-nya; boneka dan Lisa mengalami pertukaran simbol untuk saling memaknai dan dipersepsikan konsumer.

Perang dagang AS dan China memberikan pilihan kepada masyarakat konsumer: Pertama, membeli barang fungsional yang substansial di China atau membeli komoditas di etalase bermerek pada umumnya. Konsumer rasional akan membeli barang di pabrik China sebelum diberi merek (logo).

Sebaliknya, jika konsumer membeli komoditas di etalase mal atau toko resmi bermerek, maka mereka konsumen irasional yang tersihir fetisisme komoditas. Mereka membeli barang bukan komoditasnya tapi daya tarik komoditas dalam narasi pengalaman luxury, daya tarik perasaan emosional, atribut yang menempel, identitas, fantasi, dan imajinasinya. Singkat kata, bagaimana suatu produk dinarasikan sedemikian hingga untuk menggoda konsumer.

Pertanyaannya, apakah dalam perang dagang ini, masyarakat konsumer menguntungkan China atau AS, Prancis, Italia, dan negara Barat lainnya? Dunia ekonomi sangat ditentukan oleh masyarakat konsumer yang masih rasional atau memang total terayu oleh narasi makna yang diciptakan oleh storyteller pemasaran barang bermerek.