Perang Israel Hancurkan Mimpi Mahasiswa dan Lulusan Gaza


Saat siswa di seluruh dunia kembali ke sekolah setelah liburan musim panas, pendidikan tetap menjadi mimpi yang sangat sulit digapai warga Palestina di Gaza. Perang Israel tidak hanya menghancurkan impian anak-anak sekolah tetapi juga mengganggu kehidupan mahasiswa.

Mahasiswa kehilangan kesempatan untuk mengalami salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah pendidikan mereka yakni kelulusan. Masa depan mereka sekarang dalam ketidakpastian.

“Perang telah memengaruhi studi saya begitu dalam hingga saya hampir melupakan segalanya,” kata Dalal Elswerky yang berusia 22 tahun, mahasiswa senior Sastra dan Bahasa Inggris-Prancis di Universitas Al-Azhar — yang sekarang sebagian besar hancur setelah serangan Israel.

Dalal merenungkan kesulitan besar yang dialaminya. “Ketika keluarga saya dan saya dipindahkan secara paksa ke selatan, saya tidak sempat membawa buku-buku saya. Buku-buku itu ditinggalkan di rumah dan dibakar. Sekarang buku-buku itu sudah tidak ada lagi,” kenangnya.

Lebih dari 41.020 warga Palestina telah tewas dan 94.925 lainnya terluka dalam serangan militer Israel di Gaza sejak 7 Oktober, kata kementerian kesehatan Gaza dalam sebuah pernyataan, kemarin.

“Saya merasa sangat sedih dan takut melupakan semua yang telah saya pelajari. Setiap malam di tenda, saya mengobrol dengan ayah saya tentang apa yang seharusnya saya lakukan saat ini. Saya seharusnya sudah menyelesaikan ujian akhir dan bersiap untuk lulus. Saya mengatakan kepadanya betapa saya merindukan universitas, para profesor, kuliah, dan pertemuan dengan teman-teman serta kolega saya,” lanjut Dalal.

“Dulu saya khawatir apakah akan bekerja atau mengejar gelar master segera setelah lulus. Sekarang, kekhawatiran saya adalah tentang perang, kematian, dan kemungkinan kehilangan keluarga,” ungkapnya kepada The New Arab (TNA).

“Semuanya terasa berbeda sekarang; bahkan universitas, yang merupakan bagian penting dalam hidupku, sudah tidak ada lagi. Aku tidak bisa membayangkan semuanya sudah hilang sekarang. Ini adalah tingkat kesedihan yang lain.” 

Sejak perang Israel dimulai pada 7 Oktober, semua universitas di Gaza telah rusak atau hancur. “Tahun ini seharusnya menjadi tahun kelulusanku. Aku tidak yakin apakah akan ikut upacara kelulusan atau tidak. Namun sekarang, aku sangat ingin ikut. Aku merindukan saat ketika mereka memanggil namaku dan keluargaku bisa bangga padaku,” Dalal menambahkan.

“Meski begitu, saya sangat bersyukur. Saya terus mengingatkan diri bahwa banyak orang dan teman yang menjanjikan telah terbunuh dan menjadi martir. Saya beruntung masih hidup bersama keluarga, dan saya siap untuk memulai dari awal lagi. Saya bertekad untuk meraih impian dan aspirasi saya suatu hari nanti,” jelasnya.

68 Profesor telah Tewas

Menurut Euro-Med Human Rights Monitor, perang Israel di Gaza telah menghentikan pendidikan di semua universitas dan perguruan tinggi, dengan lima dari enam universitas hancur total atau sebagian. Tiga presiden universitas dan lebih dari 95 dekan dan dosen, termasuk 68 profesor telah tewas. Sekitar 88.000 mahasiswa tidak dapat melanjutkan studi mereka, sementara 555 mahasiswa kehilangan beasiswa ke luar negeri. 

Dr Akram Wadi, Dekan Fakultas Pendidikan di Universitas Al-Aqsa, merenungkan dampak yang menghancurkan dari perang yang sedang berlangsung terhadap kehidupan universitas.

“Ketika kita berbicara tentang kehidupan universitas, hampir mustahil untuk tidak mengakui bahwa perang Israel telah menghancurkannya sepenuhnya, memadamkan harapan dan impian banyak mahasiswa,” tutur Dr. Akram kepada TNA, menekankan betapa seriusnya situasi tersebut.

“Tidak diragukan lagi bahwa di antara mereka yang terbunuh adalah profesor universitas, cendekiawan terhormat, intelektual, dan kaum terpelajar. Kehidupan pendidikan telah terhenti total karena genosida yang dilakukan oleh Israel,” tambahnya. 

“Baru pada bulan Oktober lalu, kami merayakan kelulusan para mahasiswa, merayakan prestasi mereka dengan gembira. Banyak mahasiswa yang berhasil lulus, tetapi sekarang Israel telah menghancurkan masa depan para mahasiswa ini, menghancurkan kegembiraan mereka, dan menjerumuskan banyak rumah warga Palestina ke dalam kesedihan dan duka,” keluhnya.

Mahasiswa lain, Muhannad, mengenang kegembiraan yang pernah mengisi hari-harinya saat mendekati kelulusan. “Setiap hari, saya menghitung waktu, dengan penuh harap menunggu hari di mana saya akhirnya bisa lulus, memegang sertifikat di tangan saya, dan mengambil langkah pertama menuju masa depan yang telah lama saya impikan,” ungkapnya. 

“Itulah kunci untuk membuka peluang kerja dan beasiswa yang selama ini telah saya perjuangkan dengan keras. Namun, serangan gencar dan ketidakstabilan di Gaza telah mengaburkan momen yang seharusnya menjadi momen paling bahagia dalam hidup saya.” 

Meski menghadapi tantangan yang sangat besar, Dr. Akram telah menyatakan harapannya untuk masa depan. “Kami berharap perang dan kehancuran ini akan berakhir dan kehidupan di Gaza akan kembali seperti aslinya,” katanya.

Berbicara dengan rasa kagum yang tulus kepada semua siswa, ia mencatat, “Siswa kami memiliki kemampuan luar biasa untuk mengatasi bahkan keadaan yang paling menantang sekalipun. Mereka adalah orang-orang yang tangguh, murah hati, dan bertekad yang berusaha menjalani hidup dalam bentuk yang sepenuhnya.”