News

Perang Urat Syaraf China-AS Setelah Penembakan Balon Mata-mata Beijing

Perselisihan diplomatik segera meningkat setelah ditembak jatuhnya balon mata-mata China yang terbang melintasi AS, dengan sisa-sisa pecahan balon yang berhasil diselamatkan di lepas pantai Atlantik.

Beijing pada Senin (6/2/2023) menuduh Washington ‘bereaksi berlebihan’ dan ‘menggunakan kekuatan militer secara sembarangan’ dalam peristiwa penembakan balon China tersebut. Beijing juga memperingatkan kemungkinan kerusakan hubungan bilateral kedua negara.

Sementara itu, Presiden AS Joe Biden mengatakan hubungan antara Washington dan Beijing tidak dilemahkan oleh insiden tersebut. “Kami menjelaskan kepada China apa yang akan kami lakukan. Mereka mengerti posisi kami. Kami tidak akan mundur,”kata Biden kepada wartawan di Gedung Putih.

Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, menunjukkan bahwa Menteri Luar Negeri Antony Blinken telah memperingatkan rekannya Wang Yi, dari China pada Jumat lalu bahwa AS akan mengambil ‘tindakan yang tepat untuk melindungi kepentingan kami’. Jadi kata Price, seharusnya Beijing tidak terlalu terkejut manakala balon itu ditembak jatuh keesokan harinya.

“Jika itu adalah pesawat AS di atas China, Anda bisa membayangkan bagaimana respons Beijing,”kata dia.

Pentagon mengatakan potongan-potongan puing pertama telah ditemukan di permukaan laut lepas pantai Carolina Selatan, sementara pekerjaan untuk terus menemukan potongan-potongan yang telah tenggelam ke dasar laut juga dilakukan. Ia meminta masyarakat untuk melaporkan setiap fragmen yang terdampar di pantai.

Kepala Komando Pertahanan Ruang Angkasa Amerika Utara (Norad), Jenderal Glen VanHerck, menggambarkan balon itu setinggi 200 kaki (61 meter), dengan muatan pengawasan (surveillance)  seukuran jet penumpang regional. Ketika pertama kali terlihat melewati Kepulauan Aleutian, AS, sang jenderal mengatakan pihaknya memutuskan untuk tidak menembak jatuh.

“Menurut penilaian saya, balon ini tidak menghadirkan ancaman militer fisik ke Amerika Utara—yang berada d bawah kendali saya atas Norad. Karena itu saya tidak dapat mengambil tindakan segera karena tidak menunjukkan tindakan permusuhan atau niat bermusuhan,” kata VanHerck kepada wartawan .

Dia mengatakan pesawat dapat bermanuver sampai batas tertentu dengan memanfaatkan arah angin yang berbeda pada ketinggian yang berbeda, dan rute balon tampaknya sengaja direncanakan untuk menavigasi arus tersebut.

Cina mengklaim pesawat itu adalah balon cuaca. Wakil Menteri Luar Negeri China Xie Feng mengajukan pengaduan resmi ke kedutaan AS pada Minggu lalu atas insiden tersebut. Ia menuduh Washington bereaksi berlebihan terhadap kecelakaan yang ‘disebabkan oleh force majeure‘, menurut pernyataan yang diposting di situs web Kementerian Luar Negeri China.

“Faktanya jelas, tetapi AS menutup telinga dan berkeras untuk menggunakan kekuatan tanpa pandang bulu terhadap pesawat sipil yang akan meninggalkan wilayah udara AS. Itu jelas reaksi berlebihan dan sangat melanggar semangat hukum internasional dan praktik internasional,” kata Xie.

Dia menuduh Washington ‘memberikan pukulan serius’ terhadap upaya dan kemajuan dalam menstabilkan hubungan China-AS sejak pertemuan puncak Presiden Biden dengan Presiden Xi Jinping, November tahun lalu.

“China dengan tegas menentang dan memprotes keras hal ini, dan mendesak AS untuk menahan diri dari mengambil tindakan lebih lanjut yang akan merugikan kepentingan China dan meningkatkan ketegangan,” kata dia.

Jenderal VanHerck mengatakan, kapal pendarat dermaga amfibi, USS Carter Hall, akan berfungsi sebagai kapal komando untuk pencarian puing-puing, dan kapal oseanografi US Navy sedang memetakan kondisi di bawah permukaan untuk mencari puing-puing.

Laut yang ganas telah menghalangi pencarian, tetapi dia mengatakan penyelam angkatan laut dengan perahu karet telah mulai bekerja pada Senin pagi dengan bantuan kendaraan bawah air tak berawak. Diharapkan pada sore hari, akan lebih banyak lagi yang diketahui sisa-sisa balon udara tersebut.

Insiden itu terjadi di tengah ketegangan atas berbagai masalah termasuk Taiwan, isu perdagangan, dan hak asasi manusia. Persoalan itu telah mendorong Menlu AS Antony Blinken menunda kunjungannya ke Beijing.

Pada hari Senin, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning,  mengatakan insiden itu menguji ketulusan AS dalam menstabilkan dan meningkatkan hubungan kedua negara.  “AS sengaja membesar-besarkan (insiden) dan bahkan menggunakan kekuatan militer untuk menyerang. Ini tidak dapat diterima dan tidak bertanggung jawab,” kata Ning.

Dia juga mengakui bahwa balon yang terlihat di atas Amerika Latin adalah milik China tetapi mengatakan itu adalah pesawat sipil yang digunakan untuk uji terbang yang memasuki wilayah udara Amerika Latin dan Karibia ‘secara tidak sengaja’.

Yoshihiko Isozaki, wakil kepala sekretaris kabinet Jepang, pada Senin mengatakan bahwa sebuah benda terbang yang dianggap milik Cina dan mirip dengan yang ditembak jatuh oleh AS, telah terlihat setidaknya dua kali di atas Jepang utara sejak tahun 2020, sebagaimana dilaporkan Associated Press.

China sebelumnya keberatan ketika pesawat pengintai militer asing terbang di lepas pantainya di wilayah udara internasional. Pada tahun 2001, sebuah pesawat Angkatan Laut AS yang melakukan pengawasan rutin di dekat pantai China bertabrakan dengan pesawat tempur China.

Insiden itu menewaskan pilot pesawat tempur China dan merusak pesawat Amerika yang terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah pangkalan udara angkatan laut China di selatan pulau Hainan. China menahan 24 awak pesawat angkatan laut AS itu selama 10 hari sampai AS menyatakan penyesalannya.

Prof William Hurst, wakil direktur Pusat Geopolitik di Universitas Cambridge, mengatakan insiden balon itu terjadi dalam iklim yang jauh lebih negatif daripada insiden pesawat mata-mata.

“Pengungkapan publik memperumit politik dalam negeri AS, yang sudah pepak padat masalah,”kata Hurst. “Efeknya kemungkinan akan lebih kecil, tetapi butuh waktu lebih lama untuk bisa kembali ke semula.” [The Guardian]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button