Kanal

Umat Islam, Demokrasi dan Kualifikasi Pemimpin


“Beliau meneladani Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang mengangkat penggantinya, Umar bin al-Khaththâb,”tulisnya lagi. Ia mengibaratkan meluncur mulusnya peluang Gibran setelah utak-atik persyaratan usia pencapresan oleh Mahkamah Konstitusi itu sebagai ‘pengangkatan’ oleh pemegang amanah saat ini.

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

Sekitar sepekan setelah drama lolosnya Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden, 16 Oktober 2023, seorang senior yang dikenal alim dalam ilmu agama berseloroh via pesan WA. “Presiden Jokowi ternyata lebih Islami dibanding yang kita duga,”kata dia mengawali pesannya. Melihat sikap kritisnya sehari-hari terhadap pemerintah, apalagi Presiden, saya segera tahu ia tengah berseloroh.

“Beliau meneladani Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang mengangkat penggantinya, Umar bin al-Khaththâb.” tulisnya lagi. Ia mengibaratkan meluncur mulusnya peluang Gibran setelah utak-atik persyaratan usia pencapresan oleh Mahkamah Konstitusi itu sebagai ‘pengangkatan’ oleh pemegang amanah saat ini.

Mengangkat pengganti dalam bahasa Arab disebut istikhlaf, yang secara harfiah berarti “menunjuk khalifah”. Berdasarkan ucapan Umar itu, Ahlussunnah sepakat bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan istikhlaf. Namun karena Abu Bakar melakukan istikhlaf, para fuqaha (ahli hukum fiqh) Ahlussunnah membenarkan juga penunjukan pemimpin oleh pemimpin sebelumnya.

Sekali lagi, tentu saja pesan-pesan di atas hanyalah seloroh seorang berilmu. Konon, humor orang pintar memang lain dibanding kalangan awam yang masih bisa menertawakan komedi slapstick.

 ***

Ini baru asumsi, tetapi tampaknya bagi umat Islam Indonesia, yang menjadi masalah bukanlah bentuk pemerintahan, melainkan derajat pemerintahan, yaitu sejauh mana suatu pemerintahan (bisa) memerintah.

Kita bisa menyaksikan ada pemerintahan yang sangat demokratis, tetapi tidak kuat. Karena itu ia tidak betul-betul memerintah. Yang memerintah bisa saja sejatinya para tuan-tuan tanah, kapitalis, kaum oligarki. Keputusan-keputusan pemerintah yang lemah seperti itu dengan mudah bisa dianulasi, dihilangkan oleh kelompok-kelompok tersebut. Sebaliknya, ada negara-negara yang jauh dari kesan demokratis, cenderung otoriter dan penuh aturan mengikat, tetapi kuat. Negara itu sangat peduli dengan keadilan dan kesejahteraan warganya. Singapura, misalnya.

Umat Islam (Indonesia), diwakili pemikiran yang muncul dari para cendikiawannya, belakangan bahkan cenderung tidak lagi mempermasalahkan bentuk pemerintahan. Yang penting keadilan dan kesejahteraan rakyat tercapai dan terjamin. Hanya urusan keelokan saja untuk tidak mengatakan bahwa barangkali lebih baik satu pemerintah otoriter ketimbang kekuasaan yang terbagi di antara pemerintah yang sah, dengan kehendak banyak oligarki yang punya pengaruh kuat karena jasa-jasa yang mereka perbuat.

Sikap seperti itu bahkan tidak hanya monopoli keinginan orang Islam. Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century” (1991), dengan klaim telah menelaah 60-an negara di dunia, Samuel P. Huntington mengajak kita untuk mendefinisikan ulang demokrasi. Huntington kemudian lebih menekankan demokratis dan tidak-demokratisnya pemerintahan, antara lain, pada apa yang disebutnya akuntabilitas (accountability), yakni seberapa besar rakyat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Namun yang menarik—tampaknya dipengaruhi latar belakang Huntington sebagai seorang hawkish yang tak pernah ramah pada Islam—di buku itu pun Huntington tetap menyatakan bahwa ada dua budaya yang tak (akan) serasi dengan demokrasi. Dua budaya yang sering disebut-sebutnya itu adalah Konfusianisme dan—tentu saja– Islam.

Dengan begitu, bisa kita katakan bahwa sebagaimana ‘hukum’ Panta Rei dari Herakleitos, demokrasi dan pengertiannya pun tidaklah jumud dan statis. Ia berkembang, menyelaraskan diri dengan kondisi dan perubahan dunia.  

Meski demikian, sejatinya ‘definisi’ demokrasi yang paling relevan sesuai kepeduliannya akan nasib publik justru datang dari masa lalu. Dalam bukunya yang telah klasik, “Capitalism, Socialism, and Democracy” yang pertama kali terbit 1942, Joseph Schumpeter mengutarakan dua sisi demokrasi. Pertama sebagai sumber (“kehendak  rakyat) dan, kedua, sebagai tujuan (“kebaikan bersama”), karena demokrasi adalah “the  will  of  the  people  and  the  common  good”.  

Dengan demikian, mengikuti tradisi Schumpeterian, kita bisa saja mengatakan bahwa  sistem politik suatu negara itu demokratis, sejauh para pembuat keputusan kolektif dipilih melalui Pemilu yang adil, jujur dan berkala, serta para calon pemegang amanah publik pun berkompetisi memperoleh suara dalam sebuah pemilihan yang diikuti hampir semua penduduk dewasa dan berhak memberikan suara.

Almarhum Affan Gaffar pernah merumuskan  setidaknya  lima  indikator untuk meninjau kadar demokratisnya system pemerintahan suatu negara. Kelimanya itu adalah (1) Akuntabilitas, di mana setiap pemegang jabatan yang  dipilih  rakyat  harus  dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak dan telah ditempuh. Kedua rotasi kekuasan, yang dilakukan secara damai dan teratur. Ketiga rekruitmen politik yang terbuka, yakni mereka yang  menduduki  jabatan publik  dipilih  melalui  kompetisi  yang terbuka  dan  peluang  yang sama. Keempat Pemilu, yang dilakukan secara teratur; serta kelima adanya pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Hampir sama dengan konstatasi Huntington.

Yang justru kini harus lebih kita awasi adalah pembusukan demokrasi dari dalam. Dalam “How Democracies Die” (2018), dua ilmuwan politik Harvard University, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, bercerita bagaimana demokrasi mengalami kemunduran, dan bagaimana para pemimpin terpilih secara bertahap mampu menumbangkan proses demokrasi guna meningkatkan kekuasaan mereka. Satu hal yang melihat perkembangan terakhir terasa relevan untuk Indonesia. “Demokrasi  tidak  digulingkan  secara  eksternal  oleh  kudeta militer yang kejam seperti  di masa  lampau,”kata keduanya, “melainkan dari arah internal  demokrasi  sendiri melalui Pemilu  dan  jeratan terhadap institusi politik oleh kaum otokrat.”

Dengan kata lain, kematian demokrasi  dapat  bermula  dari  pemimpin  politik  hasil sarana  lembaga  yang legal.  Mereka kemudian  membajak  demokrasi  dengan  mengubah  haluannya  menjadi bercorak  otoritarian. Bisa juga karena orang dari luar politik yang berhasil menduduki tampuk kekuasaan dan melakukan persekutuan  dengan  para  elit  politik  yang telah  mapan sebelumnya.  

Rekrutmen pemimpin politik seyogyanya bisa menghindarkan negara dari petaka seperti itu.  Setidaknya, partai-partai yang saat ini diberi peluang oleh system demokrasi kita untuk mencalonkan seorang presiden dan wakil presiden, hendaknya paham bahwa mereka seharusnya memiliki kualifikasi utama. Apakah kualifikasi utama tersebut?

Banyak pemikiran, studi dan riset telah dilakukan manusia untuk soal itu, nyaris sepanjang peradaban berkembang. Juga dari dunia pemikiran Islam. Kita petik saja salah satunya sebagai contoh.    

Filosof terkemuka dunia Islam, Abū Nashr Muhammad bin Muhammad bin Uzalagh bin Tarkhan Al-Fārābī, dikenal sebagai Abū Nashr Al-Farabi, atau hanya Al-Farabi, dalam “Arā Ahlul-Madīna al-Fāḍilah” (Negara Utama), menyebut pemilik kualifikasi tinggi kepemimpinan itu sebagai ” ar-Ra’is al- Awwal li al-Madinah al-Fadhilah wa ar-Ra’is al-Ma’murah min al-Ardh Kulliha–pemimpin tertinggi negara dan pemimpin oikumene dunia. Ia, kata Al Farabi memiliki sifat-sifat, “… Bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta ilmu, sanggup menanggung beban dan kesulitan, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani, cinta  kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang, juga terhadap diri dan keluarganya serta berani.  Terhimpunnya semua syarat dan sifat ini dalam diri seseorang adalah sesuatu yang jarang terjadi….”

Koridor yang ditegaskan Al Farabi itulah yang harus kita acu dalam mencari pemimpin. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button