Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) menuai kritik yang deras. Banyak yang memandang ini hanya akal-akalan para legislator untuk menambah kewenangan dan nilai tawar.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan mencoba meredam, dengan menyebut parlemen tidak memiliki hak untuk mencopot pejabat yang menjalani fit and proper test di DPR. Dia menjelaskan revisi tersebut hanya membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah mereka pilih, hingga memberikan rekomendasi.
DPR melalui komisi terkait, tutur dia, hanya melakukan evaluasi secara bertahap. Hasil evaluasi akan diberikan kepada pihak berwenang untuk memutuskan apakah pejabat yang dievaluasi akan dicopot atau diberhentikan.
“Agar dapat diluruskan, DPR tidak memiliki hak untuk pencopotan terkait dengan kedudukan dan jabatan bagi kedudukan yang telah melalui rekomendasi (fit and proper test) DPR sendiri. DPR melakukan evaluasi secara bertahap. Tentunya hasilnya mengikat dan selanjutnya ‘sesuai dengan mekanisme yang ada’ dimaknai sebagai pejabat tersebut dengan kewenangannya serta yang diserahkan kepada pihak yang berwenang untuk memutuskan seperti pencopotan/pemberhentian ” kata Bob Hasan, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Menanggapi itu, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi menyatakan memang tidak ada penyebutan pencopotan pejabat, tetapi frase pada Pasal 228A Ayat (2) menyebutkan hasil evaluasi bersifat mengikat.
“Tentu bisa berujung pada pencopotan, jika hasil evaluasi itu merekomendasikan pencopotan seorang pejabat penyelenggara negara,” kata Hendardi dalam keterangannya kepada Inilah.com di Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Hendardi menekankan, DPR gagal memahami makna pengawasan yang merupakan salah satu fungsi DPR sebagaimana Pasal 20A (1) UUD Negara RI 1945. Fungsi pengawasan yang melekat pada DPR adalah mengawasi organ pemerintahan lain dalam menjalankan undang-undang.
“Artinya, yang diawasi DPR adalah pelaksanaan UU bukan kinerja personal apalagi kasus-kasus yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan berlapis,” ucapnya.
Menurut dia, sebaiknya DPR berfokus pada tugas utama pembentukan UU, pengawasan atas berjalannya UU yang dibentuknya dan fungsi budgeting secara lebih berkualitas, bukan merancang ranjau-ranjau politik dan kekuasaan yang ditujukan bukan untuk kepentingan rakyat tetapi memaksa kepatuhan buta pada parlemen dan selalu membuka ruang-ruang transaksi dan negosiasi.