Kanal

Abu Dzar Al-Ghifari, Orang Paling Jujur Setelah Nabi

“Di mana barang-barang milikmu?” “Kami punya rumah di seberang sana (maksudnya di Akhirat),” jawab Abu Dzar, “di sanalah kami menyimpan barang-barang kami.” 

Oleh  :   Watung Arif Budiman

Di lembah Waddan, sebuah tempat yang menghubungkan Mekkah dengan dunia luar, tersebutlah sebuah suku bernama Suku Ghifar. Suku ini hidup dari upeti yang diberikan oleh rombongan-rombongan dagang yang hilir mudik antara Syria dan Mekkah. Mereka akan menyerang rombongan-rombongan itu bilamana tidak mendapatkan apa yang dibutuhkannya.

Jundub bin Junadah, juga dipanggil Abu Dzar, adalah salah seorang anggota suku ini.

Orang ini dikenal karena keberanian dan ketenangannya, wawasannya yang jauh, juga karena kebenciannya atas penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang di antara sukunya. Ia menentang kepercayaan jahiliah dan cara-cara beragama yang melenceng di kalangan masyarakat Arab kala itu.

Tatkala ia berada di padang pasir Waddan, sampailah kabar kepadanya tentang sesosok nabi baru dari Mekkah. Ia berharap kemunculan nabi ini akan membawa perubahan dalam hati dan alam pikiran orang-orang dan sanggup mengangkat mereka dari kegelapan takhayul. Maka, tanpa membuang waktu lagi, dipanggillah Anis, saudaranya:

“Pergilah ke Mekkah dan carilah kabar sebanyak-banyaknya tentang orang yang mengaku Nabi ini dan tentang wahyu yang turun kepadanya. Dengarkan baik-baik apa yang diucapkannya lalu kembalilah, dan ceritakan semuanya kepadaku.”

Berangkatlah Anis ke Mekkah dan ditemuilah Sang Nabi, shalallahu alaihi wassalaam. Ia dengarkan baik-baik apa-apa saja yang diucapkannya, lalu ia pun kembali ke padang Waddan. Abu Dzar menemuinya, tak sabar ingin mendengarkan berita tentang Nabi.

“Di sana ada seorang laki-laki,” kisah Anis, “ia mengajak orang-orang kepada sifat-sifat mulia, tidak hanya dengan syair-syair.”

“Apa kata orang tentangnya?” tanya Abu Dzar.

“Mereka bilang ia penyihir, tukang ramal dan penyair.”

“Ini belum cukup bagiku. Maukah kau menjaga keluargaku selama aku pergi? Aku ingin menyelidikinya sendiri.”

“Baiklah. Tapi berhati-hatilah dengan orang-orang Mekkah.”

Sesampai di Mekkah, Abu Dzar sangat cemas dan merasa harus mengambil langkah waspada. Orang-orang Quraisy di Mekkah sedang marah karena penghinaan terhadap berhala-berhala mereka. Ia juga mendengar kabar tentang berbagai kekerasan yang dialami para pengikut Nabi ini dan situasi inilah yang memang harus ia hadapi. Lantaran tidak tahu siapa kawan siapa lawan, ia menahan diri untuk tidak bertanya kepada siapa pun tentang Muhammad.

Saat senja menjelang, ia merebahkan tubuhnya di pelataran Masjidil Haram. Ali bin Abi Thalib r.a., tatkala melewatinya dan menyadari ada seorang asing di masjid, mengajaknya untuk singgah ke rumahnya. Abu Dzar melewati malam bersama Ali dan ketika pagi hari tiba, ia bergegas meraih kantung air dan tas perbekalannya, kembali ke Masjidil Haram. Ia sama sekali tidak bertanya, juga tak seorang pun menanyakan tentangnya.

Abu Dzar menghabiskan hari itu tanpa memperoleh kabar apa-apa tentang Nabi. Begitu matahari tenggelam, ia kembali ke Masjidil Haram untuk tidur dan Ali sekali lagi melewatinya, seraya berkata, “Tidakkah ini saatnya seseorang kembali ke rumahnya?”

Abu Dzar pun menemaninya dan menginap di rumah Ali di malam kedua. Lagi-lagi, tidak ada satu pun pertanyaan terlontarkan.

Namun di malam ketiga, Ali mulai bertanya kepadanya, “Maukah kau ceritakan padaku apa maksud tujuanmu ke Mekkah?”

“Hanya bila kau berjanji akan membawaku kepada apa yang kucari,” pinta Abu Dzar.

Ali setuju. Maka Abu Dzar pun lalu melanjutkan: “Aku datang ke Mekkah dari tempat yang jauh hendak bertemu Nabi baru dan mendengarkan nasihatnya.”

Wajah Ali tampak berseri-seri, “Demi Tuhan, ia memang seorang utusan Allah.” Ali pun melanjutkan bercerita tentang Nabi dan apa-apa saja yang diajarkannya. Lalu ia berkata: “Selepas bangun di pagi hari nanti, ikutilah aku kemana aku pergi. Jika aku merasakan sesuatu yang membahayakan keselamatanmu, aku akan berhenti sejenak seperti hendak melompati genangan air. Jika kulanjutkan lagi langkahku, ikuti sampai aku masuk ke tempat di mana aku masuk.”

Abu Dzar tak bisa tidur pada malam itu karena tak sabar bertemu Nabi dan mendengarkan petuah-petuahnya. Tatkala pagi pun menjelang, diikutinya langkah-langkah Ali sampai ke tempat Nabi berada.

“Assalaamu 'alaika yaa Rasulullah,” ujar Abu Dzar memberi salam.

“Wa 'alaika salaamullahi wa rahmatullahi wa barakatuh,” jawab Nabi.

Abu Dzar adalah orang pertama yang memberi salam kepada Nabi dengan ucapan demikian. Setelah hari itu, ucapan salam ini pun menyebar dan dipakai secara luas di kalangan Muslim.

Nabi mempersilakan Abu Dzar dan mengajaknya untuk masuk ke dalam Islam. Nabi membacakan beberapa ayat Al-Qur'an kepadanya. Seketika itu pula, Abu Dzar mengucapkan kalimah syahadah dan memeluk agama baru ini. Ia adalah salah seorang dari generasi awal pemeluk Islam.

Kisah ini berlanjut dengan apa yang diceritakannya sendiri.

Setelah itu, aku tinggal bersama Nabi di Mekkah. Ia mengajariku tentang Islam dan membaca Al-Qur'an. Ia berkata kepadaku, “Jangan ceritakan kepada siapa pun di Mekkah tentang agamamu ini. Aku khawatir mereka akan membunuhmu.”

“Demi yang menggenggam jiwaku di tangan-Nya, aku tak akan meninggalkan Mekkah sampai aku berdiri di Masjidil Haram dan mewartakan ajaran Kebenaran ini di tengah-tengah kaum Quraisy,”kata Abu Dzar, berjanji.

“Demi yang menggenggam jiwaku di tangan-Nya, aku tak akan meninggalkan Mekkah sampai aku berdiri di Masjidil Haram dan mewartakan ajaran Kebenaran ini di tengah-tengah kaum Quraisy,”kata Abu Dzar.

Nabi terdiam. Aku pun beranjak pergi ke Masjidil Haram. Di sana, kaum Quraisy sedang duduk dan berbincang-bincang. Aku berjalan ke tengah-tengah mereka dan berteriak sekuat tenagaku, “Wahai kaum Quraisy, aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah!”

Ucapanku itu mengusik perhatian mereka. Seketika itu pula mereka menyerbuku, “Tangkap orang itu yang telah meninggalkan agamanya!” Mereka memukuliku sejadi-jadinya, dan betul-betul hendak membunuhku. Namun Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi, ia mengenaliku. Ia merunduk dan melindungiku. 

Katanya di depan orang-orang: “Celaka kalian! Apakah kalian akan membunuh seorang dari Suku Ghifar sementara rombongan kalian masih melewati wilayah mereka?”

Mereka pun melepaskanku. Lalu aku kembali ke tempat Nabi. Ketika ia melihat keadaanku, ia berkata, “Bukankah aku telah melarangmu untuk menceritakan keislamanmu di depan orang-orang?”

“Wahai Rasulullah,” jawabku, “ini adalah gejolak di dalam jiwaku dan kini aku telah memenuhinya.”

“Pergilah kepada kaummu,” perintah Nabi, “ceritakan apa yang telah kau lihat dan dengar. Undang mereka kepada ajaran Allah. Semoga Allah menganugerahkan kebaikan kepada mereka melaluimu, dan memberimu pahala melalui mereka. Nanti saat kau dengar aku telah membuka diri, datanglah kepadaku.”

Aku pun bergegas pergi dan menemui kaumku. Saudaraku menyambutku dan bertanya, “Apa yang telah kau lakukan?” Aku kabarkan kepadanya bahwa aku kini seorang Muslim dan percaya pada kebenaran yang dibawa oleh Muhammad.

“Aku tidak menentang agama barumu ini. Bahkan mulai kini aku pun seorang Muslim dan percaya kepada Muhammad,”sahutnya.

Kami bersama menemui ibu kami dan mengajaknya untuk memeluk Islam.

“Aku tidak ada masalah dengan agamamu. Aku pun memeluk Islam,” ujar ibuku.

Semenjak hari itu pula, keluarga Muslim ini tak henti-hentinya, tanpa kenal lelah, mengajak orang-orang Ghifar untuk memeluk ajaran Allah. Banyak orang dari suku ini kemudian menjadi kaum Muslim, bahkan sholat berjamaah pun didirikan di antara mereka.

Abu Dzar tetap berdiam di padang pasir sampai Nabi hijrah ke Madinah dan terjadi peperangan Badr, Uhud dan Khandaq. Di Madinah, Abu Dzar meminta Nabi agar diijinkan menjadi pelayannya. Nabi menyetujui dan senang atas ungkapan rasa persahabatan dan pelayanan itu. Rasulullah terkadang menunjukkan kesukaannya kepada Abu Dzar lebih dari sahabat-sahabat lainnya. Bilamana bertemu Abu Dzar, Nabi senantiasa menepuk dan tersenyum kepadanya, menunjukkan kebahagiaannya.

Setelah wafatnya Rasulullah, Abu Dzar tak kuasa tinggal di Madinah lantaran rasa duka dan kesadaran bahwa tak ada lagi orang yang membimbingnya. Ia pun pergi ke daerah tandus Syria dan tinggal di sana semasa kekhalifahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.

Di masa kepemimpinan Utsman r.a., ia tinggal di Damaskus dan menyaksikan masyarakat Muslim yang mulai bersikap keduniawian dan cenderung bermegah-megahan. Sehingga ia pun berontak, lalu terusir. Maka, Utsman mengundangnya datang ke Madinah. Di Madinah, ia juga lantang mengkritik orang-orang di sekitarnya yang memburu kesenangan dunia, sehingga mereka pun membalas mencacinya. Karena situasi itu, Utsman memerintahkan agar ia pergi ke Rubdzah, sebuah desa kecil di dekat Madinah. Di sana, ia tinggal jauh dari orang-orang, sehingga tak lagi menghina mereka yang terjebak pada kehidupan dunia — dan bisa tetap berpegang teguh pada warisan asli Rasulullah dan para sahabatnya dalam merengkuh kehidupan Akhirat yang abadi, yang jauh lebih baik dari kehidupan dunia yang sementara ini.

Pernah suatu kali ada yang menengoknya dan mendapati di rumahnya hampir tidak ada apa-apa. Ia bertanya kepada Abu Dzar:

“Di mana barang-barang milikmu?”

“Kami punya rumah di seberang sana (maksudnya di Akhirat),” jawab Abu Dzar, “di sanalah kami menyimpan barang-barang kami.”

Orang itu memahami apa yang dimaksud, lalu menimpali: “Namun engkau harus punya barang-barang selama tinggal di tempat ini.”

“Pemilik tempat ini tak ingin kami tinggal di dalamnya,” tukas Abu Dzar.

Abu Dzar sangat teguh dalam kehidupannya yang sangat sederhana dan zuhud sampai akhir hayatnya. Suatu kali seorang amir Syria mengiriminya tiga ratus dinar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dikembalikannya uang itu seraya berkata, “Tidakkah amir Syria menemukan seseorang yang lebih berhak daripada aku?”

Pada tahun 32 H, sang zahid Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya. Rasulullah SAW pernah berkata tentang beliau ini: “Tak ada lagi di muka bumi dan di bawah naungan langit, orang yang lebih jujur dan teguh selain Abu Dzar.” [  ]

(Diterjemahkan dari buku “Companions of Prophet” v. 1, karya Abdul Wahid Hamid).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button