Pembebasan sandera oleh kelompok pejuang Hamas dan timpalannya oleh pasukan Israel (IDF) menunjukkan dua wajah yang berbeda. Indikasi kuat bahwa kedua pihak menerapkan standar yang sangat berbeda terkait perlakuan terhadap tahanan.
Hamas dan Israel telah menyetujui gencatan senjata selama empat hari. Salah satu aspek dari perjanjian ini melibatkan pertukaran sandera antara kedua pihak. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Hamas akan membebaskan 50 sandera dari Gaza, sedangkan Israel akan melepaskan 150 tahanan dari penjara di negara tersebut.
Pada fase pertama, Hamas membebaskan 13 warga Israel yang disandera pada Jumat (24/11/2023) sekitar pukul 16.00 waktu Gaza. Mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Pada hari yang sama, milisi Palestina ini juga membebaskan 10 warga Thailand dan satu warga negara Filipina. Perlu dicatat bahwa pembebasan ini tidak termasuk dalam kesepakatan gencatan senjata, menurut Kementerian Luar Negeri Qatar.
Sementara itu, Israel membebaskan 39 warga Palestina yang tengah ditahan di penjara. Menurut militer Israel, 13 tahanan dari Gaza telah tiba di negara tersebut pada hari yang sama dengan proses pembebasan. Pasukan IDF menyambut mereka dengan memberikan pelukan dan tanda hormat. Pada hari kedua gencatan senjata, Hamas membebaskan 13 tahanan Israel pada Sabtu malam, termasuk tujuh anak-anak. Hamas juga melepaskan empat warga asing.
Israel juga telah membebaskan 39 tahanan Palestina. Menurut laporan Al Jazeera, pertukaran sandera ini sempat mengalami penundaan.
Hamas sempat menyatakan bahwa mereka tidak akan membebaskan sandera sebelum bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza. Mereka juga mengklaim bahwa Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata.
Sementara itu, Israel mengancam akan kembali melakukan serangan terhadap Gaza jika tidak ada pembebasan sandera.
Menariknya, dua sandera lansia yang dibebaskan oleh Hamas sebelumnya mengaku mendapatkan perlakuan yang baik selama dua pekan masa penyanderaan.
Salah seorang sandera berusia 85 tahun, Yocheved Lifshitz mengatakan, mereka diperlakukan dengan lembut oleh pihak Hamas. Lifshitz mengungkapkan pengalamannya dalam konferensi pers di Ichilov Medical Center, Tel Aviv, Israel.
Ia menjelaskan bahwa saat tiba di terowongan, Hamas menyatakan keyakinan mereka pada Alquran seraya menegaskan bahwa mereka tidak akan menyakiti sandera dan memberikan makanan yang sama dengan yang mereka konsumsi.
Lifshitz juga menyebut bahwa Hamas merawat para sandera dengan memberikan obat, dan petugas medis merawat luka-luka yang dialami salah satu sandera akibat kecelakaan.
Berbeda dengan Hamas, Israel diduga tidak memenuhi hak tawanan Palestina. Salah satu contohnya adalah yang disampaikan oleh Fareed Najm, seorang warga Palestina yang sebelumnya disandera oleh Israel dan kini telah dibebaskan. Perempuan tersebut memberikan gambaran mengenai kondisi yang dialami oleh para tahanan di penjara-penjara Israel.
Najm menyatakan, “Kami sangat menderita di penjara,” kepada Al Jazeera pada Sabtu (25/11/2023). “Kami telah dipermalukan dalam perjalanan pulang. Mereka selalu memperlakukan kami dengan cara yang sangat buruk,” tambahnya.
Dia merasa bersyukur dapat bebas dari penjara Israel. Najm bahkan mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada masyarakat di Gaza yang terus melakukan perlawanan.
“Saya ingin berterima kasih kepada masyarakat di Gaza atas perlawanan mereka dan semoga Tuhan memberkati mereka dengan kesabaran,” ujar Najm.
Hal senada juga dikatakan oleh Maysoon Musa Al Jabali, seorang perempuan yang telah dibebaskan oleh Israel setelah ditahan selama delapan tahun.
Menurut Jabali, para sipir penjara Israel sesuka hati menghajar dan menyiksa para tahanan Palestina, termasuk tahanan perempuan. Dia menambahkan para sipir Israel juga tak segan menyemprot para tahanan Palestina dengan gas beracun dan hanya memberi sedikit makanan.
“Para sipir Israel menyiksa para tahanan perempuan dengan memukul, menyemprot dengan gas, dan mengirim mereka ke sel isolasi,” kata Jabali kepada Anadolu Agency pada Minggu (26/11/2023).
Tahanan perempuan di penjara Israel juga menghadapi kekurangan makanan. Menurut Jabali, pihak penjara menyediakan makanan bagi 80 tahanan tetapi jumlahnya hanya cukup untuk 10 orang.
Dia menambahkan bahwa para tahanan perempuan juga menerima ‘beberapa kabar tentang apa yang sedang terjadi di luar’.
Meski sudah dibebaskan, Jabali mengatakan bahwa ‘warga Palestina yang merdeka tidak ingin kebebasan mereka diperoleh dengan cara seperti ini’.
“Kami telah membayar harga yang mahal demi kebebasan kami,” katanya.
Leave a Reply
Lihat Komentar