Perlinsos Menggantang Asap


Agustus 2024 lalu, pemerintah mengumumkan alokasi anggaran sebesar Rp 504,7 triliun untuk program perlindungan sosial (perlinsos), dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Angka yang sangat besar, konon yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Alokasi itu nyaris setara 14% dari rencana belanja APBN 2025 yang senilai Rp 3.613,1 triliun. Pada 2024, alokasi perlinsos mencapai Rp 479 triliun, dan pada tahun 2023 senilai Rp 443,4 triliun.

Namun, besarnya dana perlindungan sosial itu tak ubahnya usaha menggantang asap. Alih-alih dana perlindungan sosial itu bisa membantu mengentaskan kemiskinan, seperti harapan Presiden Joko Widodo, justru semakin banyak rakyat terpuruk dalam kesulitan ketika dana perlindungan sosial dikucurkan semakin deras. Kini, kebanyakan penduduk Indonesia, sekitar 83%, hanya memiliki gaji di bawah Rp 2 juta. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ada penurunan drastis jumlah kelas menengah di Indonesia. Sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah ‘turun kasta’ ke kelas menengah rentan hingga kelompok rentan miskin.

Pada 2023, sebanyak 10 juta generasi muda dari kelompok Gen Z (kelahiran 1997-2012) sudah menjadi pengangguran. Mereka tidak sekolah dan tidak juga bekerja. Sebanyak 59% pekerja hanya bisa mencari rezeki pas-pasan di sektor informal. Belum lagi lonjakan harga pangan yang semakin tidak terkendali. Banyak keluarga harus merogoh kocek lebih dalam hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Alhasil, dana perlinsos yang kian membengkak itu hanya bakal menjadi jaring pengaman bagi kaum miskin agar tidak semakin parah lagi hidupnya. Jangan berharap dana itu cukup untuk membuat mereka lepas dari kemiskinan. Malah, boleh jadi, dana perlinsos yang tambah bengkak itu justru tak lagi mencukupi jika kelompok miskin ketambahan penghuni baru dari kalangan kelas menengah yang jatuh miskin.

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2025, pemerintah memproyeksikan bahwa rasio klaim program Jaminan Kehilangan Pekerjaan akan meningkat dari 17,86% di tahun 2024 menjadi 21,9% pada tahun 2025. Ini juga menambah gambaran suram tentang masa depan rakyat Indonesia. Ditambah lagi, akan ada kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di tahun 2025 sehingga bakal semakin membebani masyarakat.

Kalau sudah begini, maka pemerintah harus lebih transparan dan akuntabel dalam penggunaan dana perlinsos. Ini bukan hanya tentang seberapa besar anggaran yang dialokasikan, tetapi seberapa efektif dana tersebut digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Jika tidak ada evaluasi mendalam dan implementasi yang efektif, maka program perlindungan sosial hanya akan menjadi slogan tanpa substansi.

Jika kita coba tengok ke belakang, sistem perlindungan sosial di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tarik-menarik kekuasaan antara berbagai koalisi politik dan sosial, terutama selama masa Orde Baru (Van Diermen dan Maryke, 2018). Pada saat itu, para pejabat pencari rente bersama sekutu-sekutu korporatnya yang masih memiliki pengaruh besar, terfokus pada pengembangan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elit.

Tidak berhenti di situ, kasus korupsi dalam program perlinsos yang terungkap pada tahun 2020 adalah bukti bahwa sistem ini masih rentan terhadap penyimpangan. Ini bak cerita usang yang terus berulang. Pemerintah harus belajar dari kesalahan masa lalu dan mengambil langkah tegas untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar sampai kepada mereka yang berhak.

Selain itu, efektivitas program perlinsos harus ditingkatkan dengan memperbaiki sistem distribusi dan pengawasan. Bantuan yang diberikan harus tepat sasaran dan diterima oleh mereka yang benar-benar membutuhkan. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, bantuan sosial hanya akan menjadi sarana bagi oknum tertentu untuk mencari keuntungan pribadi.

Upaya lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program perlinsos. Partisipasi masyarakat dapat membantu memastikan bahwa program ini sesuai dengan kebutuhan mereka dan mencegah terjadinya penyalahgunaan.

Di atas itu semua, yang terpenting adalah memberdayakan masyarakat agar lebih produktif dan mampu menyejahterakan diri mereka sendiri. Jadi, pemerintah harus fokus pada upaya peningkatan daya beli masyarakat dengan menciptakan lapangan kerja baru, menstabilkan harga kebutuhan pokok, dan memberikan insentif bagi sektor-sektor ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Jadikan pendidikan dan pelatihan keterampilan sebagai prioritas. Siapkan akses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas agar warga kebanyakan bisa masuk ke pasar kerja dan membantu meningkatkan perekonomian keluarga mereka. Permasalahan ketidaksesuaian antara lulusan pendidikan formal dengan sektor industri harus segera diatasi supaya bonus demografi saat ini mampu mendorong ekonomi nasional dan tidak berubah menjadi bencana demografi.

Pemerintah juga harus lebih serius dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang berpengaruh langsung pada kondisi dalam negeri. Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, seperti kenaikan PPN, justru akan semakin menambah beban rakyat yang sudah kesulitan.

Kebijakan seperti menaikkan PPN hanya akan memperburuk daya beli masyarakat. Padahal, kegagalan pemerintah dalam menjaga daya beli akan semakin memperparah situasi. Di tengah melonjaknya harga kebutuhan pokok, rakyat kecil harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup. Di saat yang sama, anggaran super jumbo untuk program perlinsos kemudian tak mampu memberikan bantalan yang cukup kuat untuk melindungi mereka dari dampak ekonomi yang semakin buruk. Tidakkah itu terlalu menyedihkan?