Perubahan Tutupan Lahan Menjadi Faktor Utama Bencana


Banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di berbagai daerah, dan dampaknya sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Fenomena ini tidak hanya menyebabkan kerugian materiil, tetapi juga mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Di banyak tempat, banjir telah menjadi masalah yang semakin serius, terutama di daerah perkotaan yang padat penduduk. Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap peningkatan kejadian banjir adalah perubahan tutupan lahan. Artikel ini akan membahas bagaimana perubahan tutupan lahan berkontribusi terhadap peningkatan risiko banjir dan dampak yang ditimbulkannya.

Fenomena banjir sering kali disertai dengan kerugian besar, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), frekuensi banjir di Indonesia mengalami peningkatan dalam dekade terakhir, dengan banyak daerah yang mengalami banjir setiap tahun. Misalnya, Jakarta dan sekitarnya sering kali terendam air akibat hujan deras, terutama ketika sistem drainase tidak mampu menampung volume air yang besar. Kerugian akibat banjir tidak hanya mencakup kerusakan infrastruktur, tetapi juga hilangnya mata pencaharian bagi banyak orang (BNPB, 2023).

Konversi lahan dari hutan atau sawah menjadi pemukiman atau area komersial mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan. Hal ini menyebabkan peningkatan aliran permukaan yang lebih cepat dan mengurangi waktu tunda aliran air ke sungai (Farid et al., 2021). Penelitian menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan di Depok dari tahun 2000 hingga 2019 didominasi oleh konversi lahan pertanian menjadi area permukiman (Rosandi et al., 2024). Dengan semakin banyaknya bangunan dan infrastruktur, kemampuan tanah untuk menyerap air berkurang drastis.

Perubahan tutupan lahan di Kota Depok dari tahun 2000 hingga 2019 menunjukkan penurunan signifikan pada lahan pertanian dan ruang terbuka hijau, yang sebagian besar dikonversi menjadi kawasan pemukiman. Berdasarkan penelitian Rosandi et al., (2024), lahan pertanian di Depok mengalami penurunan sebesar 35,6%, sementara kawasan pemukiman meningkat hingga 47,2% selama periode tersebut. Tren ini mencerminkan urbanisasi yang pesat, didorong oleh tingginya kebutuhan akan hunian dan infrastruktur akibat pertumbuhan populasi. Rosandi et al., (2024) juga memprediksi hingga tahun 2039 menggunakan metode Land Change Modeler (LCM) menunjukkan bahwa jika skenario business-as-usual (BAU) terus berlanjut, ruang terbuka hijau akan semakin berkurang, meningkatkan risiko bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor. 

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan tata ruang yang lebih terintegrasi untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Depok, mengembalikan fungsi riparian sungai menjadi jalur hijau, dan melakukan pengelolaan sungai secara kolaboratif dan terintegrasi dengan masyarakat sekitarnya.

Perubahan tutupan lahan menjadi salah satu penyebab utama peningkatan risiko banjir. Konversi lahan hutan dan sawah menjadi area pemukiman atau komersial mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air. 

Deforestasi dan urbanisasi menyebabkan banyak permukaan tanah menjadi tidak dapat menyerap air (impervious surfaces), sehingga meningkatkan jumlah dan kecepatan aliran air permukaan. Selain itu, faktor lain seperti perubahan iklim dan pengelolaan drainase yang buruk juga memperburuk situasi ini. Penelitian yang dilakukan oleh Qin dan Eslamian (2023) menunjukkan bahwa urbanisasi yang cepat mengurangi infiltrasi tanah, sehingga meningkatkan limpasan permukaan yang berpotensi menyebabkan banjir.

Meskipun perubahan tutupan lahan sering kali dikaitkan dengan peningkatan risiko banjir, ada juga manfaat yang dapat diperoleh dari pengembangan lahan. Misalnya, pengembangan infrastruktur dapat meningkatkan aksesibilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, penting untuk mengelola perubahan ini dengan bijaksana agar dampak negatifnya dapat diminimalkan. Salah satu solusi berkelanjutan adalah penerapan praktik pengelolaan lahan yang baik, seperti restorasi lahan basah dan penggunaan infrastruktur hijau, yang dapat membantu mengurangi risiko banjir sambil tetap mendukung pertumbuhan ekonomi (GFDRR, 2023).

Dampak negatif dari perubahan tutupan lahan sangat signifikan dan kerusakan lingkungan akibat konversi lahan dapat menyebabkan hilangnya biodiversitas dan meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap bencana. Hal nyata dapat dilihat di daerah-daerah seperti Jakarta, di mana pembangunan infrastruktur di daerah resapan air telah menyebabkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir. Selain itu, perubahan tutupan lahan juga mempengaruhi pola aliran sungai dan distribusi aliran permukaan, sehingga mengubah karakteristik hidrologi suatu wilayah (Huang et al., 2019).

Memahami hubungan antara perubahan tutupan lahan dan risiko banjir sangat penting untuk merumuskan kebijakan pengelolaan lahan yang efektif. Upaya untuk menjaga keseimbangan ekosistem harus menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan agar dampak negatif dari banjir dapat diminimalkan. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk mendukung kebijakan pengelolaan lahan yang berkelanjutan dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan demi mencegah bencana di masa depan.

Dengan demikian, melalui pendekatan yang holistik dalam pengelolaan sumber daya alam dan perencanaan tata ruang, kita dapat mengurangi risiko banjir sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Untuk menghadapi tantangan ini, solusi berkelanjutan perlu diterapkan dalam perencanaan tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam. Misalnya:

  • Restorasi Lahan dan Riparian: Mengembalikan fungsi alami lahan pada kawasan hijau yang dapat membantu menyerap kelebihan air selama musim hujan, dan memastikan seluruh riparian hijau berfungsi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
  • Penggunaan Infrastruktur Hijau: Penerapan sistem drainase hijau seperti bioretention cells atau permeable pavements bisa membantu meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah.
  • Perencanaan Tata Ruang Berbasis Risiko: Kebijakan pengelolaan lahan harus mempertimbangkan risiko banjir dalam perencanaan pembangunan dengan membatasi pembangunan di daerah rawan banjir.

Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut secara konsisten dan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, serta sektor swasta, kita dapat menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih tahan terhadap bencana.

Perubahan tutupan lahan memiliki dampak signifikan terhadap kejadian banjir di berbagai daerah. Meskipun ada manfaat dari pengembangan lahan, penting untuk mengelola perubahan ini secara bijaksana agar dampak negatifnya dapat diminimalkan. 

Memahami hubungan antara perubahan tutupan lahan dan risiko banjir sangat penting untuk merumuskan kebijakan pengelolaan lahan yang efektif. Upaya menjaga keseimbangan ekosistem harus menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan agar dampak negatif dari banjir dapat diminimalkan.

Oleh karena itu, mari kita dukung kebijakan pengelolaan lahan yang berkelanjutan serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan demi mencegah bencana di masa depan.