Perusahaan energi Amerika dan Eropa berada dalam risiko karena menghadapi krisis uranium seiring meningkatnya permintaan tenaga nuklir, yang digunakan untuk bahan bakar segala hal mulai dari listrik rumah tangga hingga pusat data. Krisis pasokan uranium terjadi ketika Kazakhstan, eksportir Uranium terbesar di dunia, meningkatkan penjualan uraniumnya ke China dan Rusia.
Ancaman kekurangan di masa depan muncul karena Kazakhstan, produsen logam terbesar di dunia yang digunakan untuk menggerakkan reaktor nuklir, menjual lebih banyak produknya ke Rusia dan China serta mengurangi jatahnya ke AS maupun Eropa.
“Pemain Rusia dan China sangat ingin mengamankan akses ke sumber daya di Asia Tengah dan Afrika, sehingga menciptakan lingkungan persaingan yang sangat agresif,” kata Benjamin Godwin dari Prism Strategic Intelligence.
Namun, meskipun ada kelebihan, para eksekutif mengatakan uranium tersebut perlahan-lahan mulai menipis. “Kami sedang berada pada kurva penipisan yang menurut saya tidak disadari oleh banyak pelanggan,” kata Cory Kos, wakil presiden hubungan investor di Cameco, salah satu produsen uranium publik terbesar di dunia dan pemasok barat terbesar yang berkantor pusat di Kanada.
Perusahaan energi memperoleh listriknya dari berbagai sumber, namun, seiring meningkatnya permintaan energi lebih bersih, meningkat pula permintaan listrik tenaga nuklir. Negara-negara termasuk AS, Inggris, dan Korea Selatan telah berjanji untuk melipatgandakan kapasitas energi nuklir global pada 2050.
China dan Rusia, yang berbatasan dengan Kazakhstan, juga tengah mempertimbangkan untuk memperluas tenaga nuklir mereka di dalam negeri. Pusat Studi Strategis dan Internasional AS menyatakan bahwa China dan Rusia dengan cepat memperluas penyerapan uranium hasil tambang dari mitra internasional.
Pusat Studi Strategis dan Internasional AS (CSIS) memperingatkan bulan ini bahwa China dan Rusia dengan cepat memperluas penyerapan uranium hasil tambang dari mitra internasional.
Laporan itu menambahkan bahwa terdapat “kesenjangan” antara upaya pemerintah Barat untuk mengamankan rantai pasokan uranium, “termasuk penambangan uranium”, dan rencana untuk memperluas penggunaan bahan bakar tersebut.
Rusia dan Tiongkok Pimpin Energi Nuklir
China berada di depan Amerika Serikat hingga 15 tahun dalam kemajuan tenaga nuklir berteknologi tinggi, berdasarkan laporan Yayasan Teknologi & Inovasi Informasi. Laporan itu menyatakan bahwa keunggulan China berasal dari strategi teknologi yang didukung negara.
“Penempatan cepat pembangkit listrik tenaga nuklir yang semakin modern di China dari waktu ke waktu menghasilkan skala ekonomi yang signifikan dan efek belajar sambil bekerja. Ini menunjukkan bahwa perusahaan China akan memperoleh keuntungan dalam inovasi tambahan di sektor ini di masa mendatang,” laporan itu menekankan.
Rusia, di sisi lain, mengumumkan perjanjian dengan Iran pada 18 Januari untuk memperluas kolaborasi energi nuklir mereka, termasuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir skala kecil dan skala besar, sebagai bagian dari perjanjian kemitraan strategis berdurasi 20 tahun.
Sebelum itu, Rusia dan Vietnam menandatangani perjanjian kerja sama energi nuklir pada 14 Januari saat Vietnam berupaya menghidupkan kembali program nuklirnya. Sebelumnya perjanjian itu ditangguhkan selama bertahun-tahun, namun permintaan listrik terus meningkat bagi sektor industrinya yang tengah berkembang.
Rusia dan Kongo menandatangani nota kesepahaman mengenai beberapa isu berbeda, termasuk penggunaan energi nuklir secara damai. Presiden Republik Kongo telah mengumumkan rencana untuk memperluas kerja sama energi dengan Rusia.