Jumlah petani gurem di Indonesia melonjak 21 persen pada 2023. Jawa Timur jadi penyumbang petani gurem terbanyak.
Petani gurem merujuk pada mereka yang menguasai lahan pertanian (tidak termasuk lahan budi daya di laut atau perairan umum) kurang dari 0,5 hektare.
Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 Tahap II menunjukkan jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia mencapai 17,71 juta atau 62,3 persen dari total. Satu dekade lalu, rumah tangga usaha pertanian mencapai 14,62 juta atau 55,94 persen.
Sebagai catatan, periode 2013-2023 berbarengan dengan masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dimulai pada Oktober 2014.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah petani gurem di Indonesia mengalami peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan berkurangnya luas lahan pertanian akibat alih fungsi lahan.
Provinsi Jawa Timur mencatat jumlah tertinggi dengan 4,55 juta petani gurem, diikuti oleh Jawa Tengah dengan 3,53 juta petani gurem dan Jawa Barat 2,62 juta petani gurem.
Petani gurem merupakan garda terdepan dalam upaya mempertahankan ketahanan pangan nasional. Di balik kontribusi mereka yang besar, petani gurem menghadapi tantangan serius yang mengancam keberlangsungan hidup dan keberlanjutan usaha tani mereka.
Dalam konteks ini, kita perlu memahami kondisi, tantangan, dan solusi yang dapat diambil untuk mendukung petani gurem agar lebih produktif dan sejahtera.
Tingginya jumlah petani gurem ini menunjukkan bahwa banyak petani di Indonesia masih berjuang dengan keterbatasan lahan, yang berdampak langsung pada produktivitas dan kesejahteraan mereka.
Data BPS tahun 2021 berbicara alih fungsi lahan sawah nasional bervariasi antara 60.000 hingga 80.000 hektare per tahun. Jika indeks panen padi yang beralih fungsi antara 2,5 hingga 3 persen dengan produktivitas rata-rata 6 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektare, maka dalam lima tahun lahan sawah yang beralih fungsi antara 300 ribu hingga 400 ribu hektare dengan kehilangan hasil padi mencapai 1,8 juta hingga 2,4 juta ton GKG.
Faktor dominan penyebab alih fungsi lahan sangat komplek dan dinamis, serta bervariasi antar ruang dan waktu. Berdasarkan Kementerian Pertanian (Kementan) setidaknya ada tiga faktor penyebab maraknya alih fungsi lahan.
Bagi mereka, setiap musim tanam adalah perjuangan untuk bertahan hidup, karena kecilnya skala lahan berdampak langsung pada produktivitas dan pendapatan mereka. Kondisi ini memperkuat urgensi untuk segera mencari solusi yang dapat meningkatkan efisiensi dan skala ekonomi bagi para petani gurem.
Hasil panen yang kecil sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi jika mereka harus menghadapi risiko gagal panen yang selalu menghantui. Lebih dari itu, akses ke teknologi pertanian modern dan modal usaha yang memadai masih menjadi tantangan besar.
Banyak dari mereka masih bergantung pada metode tradisional, karena tidak punya cukup sumber daya untuk beralih ke teknologi yang lebih efisien.
Di tengah segala keterbatasan ini, petani gurem, meskipun mereka berjuang keras di lahan mereka sendiri, sering kali tidak memiliki alat dan pengetahuan yang diperlukan untuk benar-benar mengoptimalkan potensi tanah yang mereka miliki.