News

PKPU 10/2023 Tak Wakili Aspirasi Masyarakat, MA Diharapkan Adil

Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti berharap Mahkamah Agung (MA) dapat memberikan putusan yang adil terhadap gugatan materi soal Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 (PKPU 10/2023).

Valina menyatakan aturan tersebut tidak mewakili aspirasi masyarakat, mengingat selama ini keterwakilan perempuan selalu terpenuhi pada pemilu-pemilu sebelumnya, namun diubah oleh KPU era Hasyim Asy’ari.

Ia mengingatkan, keterwakilan perempuan di parlemen sangat penting, mengingat Indonesia saat ini mengalami persoalan multi dimensi. Di mana persoalan tersebut tidak hanya dapat diselesaikan oleh pihak laki-laki saja.

“Itu tidak bisa diselesaikan oleh pihak laki-laki. Jadi ada Politic of presence tidak hanyak politik of ideas. Perempuan harus hadir disana untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan publik,” jelas Valina secara daring diakses dari Jakarta, Jumat (9/6/2023).

Selain tidak mewakili aspirasi, PKPU 10/2023 juga bisa dibilang inkonstitusional. Karena bertentangan, dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pemilu.

“Mengenai PKPU 10/2023 pasal 8 ayat 2 itu sesungguhnya adalah bertentangan dengan apa yang dimaksudkan konstitusi Pasal 28 H Ayat 2 UUD 1945, dan juga ini bertentangan dengan regulasi UU nomor 7/2017. Ingat UUD 1945 memberikan jaminan bagi tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, koalisi organisasi dan masyarakat sipil, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, mengajukan uji materi atau judicial review (JR) terhadap Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 (PKPU 10/2023) ke Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Senin (5/6/2023).

Anggota Dewan Penasihat Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan PKPU tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengamanatkan pencalonan perempuan itu sekurang-kurangnya 30 persen perwakilan perempuan di daerah pemilihan (dapil).

Titi menyebut, uji materi ini diajukan lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak kunjung merevisi PKPU tersebut. Padahal, KPU sudah melakukan konferensi pers sebelumnya, menyatakan akan mervisi PKPU tersebut.

“Peraturan KPU melanggar ketentuan Pasal 245 UU 7/2017 sebab penggunaan rumus pembulatan ke bawah secara tidak relevan dalam menghitung keterwakilan perempuan sebagaimana terdapat dalam Pasal Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023 jo,” jelas dia di Jakarta, Senin (5/6/2023).

Dia menambahkan PKPU tersebut bukan hanya melawan norma dalam UU Pemilu, namun juga inkonstitusional karena bertentangan dengan substansi Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945. Adapun bunyi pasal tersebut: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

“Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 memberikan jaminan bagi tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara,” tutup Titi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button