Kanal

Di Beranda Istana Alhambra (10 – Menjadi Khatib dan Imam)

Saat aku memasuki ruang Mushala As Salam, ternyata Pak Dubes sudah lebih dahulu berada di situ dan terlihat sedang menjalankan Sholat Sunnah.

Aku langsung menuju mimbar tempat imam memimpin Shalat, kemudian menunaikan sholat Sunnah.

Setelah salam, aku lirik dengan ekor mataku pak Dubes yang duduk persis di belakangku menundukkan kepalanya, tampak khusuk berzikir sehingga tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya.

 - inilah.com

Takmir kemudian mengumumkan tema khotbah Jum’at hari itu dan memberitahu nama khatib dan imamnya. Aku kemudian dipersilahkan untuk naik ke mimbar karena waktu Dzhuhur sudah masuk.

Aku memulai dengan doa, kemudian mengingatkan pentingnya bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita, mulai nikmat Iman, Islam, kesehatan, rizki, termasuk pangkat, jabatan, dan nikmat-nikmat lainnya. Setelah itu aku masuk kepada tema utama, yakni tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Aku memulai dengan menjelaskan bahwa istilah “khalifah” dan “khilafah” memiliki akar kata yang sama dalam Bahasa Arab.

Istilah ini paling tidak memiliki dua makna menurut Al Qur’an: Pertama, sebagai wakil atau pengganti Tuhan di muka bumi yang bertugas merawat dan memakmurkannya, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al Baqarah, ayat 30 yang berbunyi: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat. Sesungguhnya Aku (Allah) hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.

Kedua, istilah “khalifah” bermakna sebagai pemimpin yang tugas utamanya menegakkan keadilan, sebagaimana disebutkan dalam Surah As Sad, ayat 26, yang berbunyi: “Hai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu sebagai penguasa di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu , karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”.

Terkait dengan masalah pemimpin dan kepemimpinan, paling tidak ada tiga Hadits Nabi yang saya kira relevan untuk diutarakan dalam kesempatan ini: Pertama, Sayyidul Kaumi Khadimuhum, yang artinya: seorang pemimpin tidak ubahnya seperti seorang pelayan, karena itu seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang mampu menjadi pelayan yang baik bagi pengikutnya atau rakyatnya. Kedua, Khairunnas Anfauhum Linnas, sebaik-baik manusia adalah mereka yang mampu memberi manfaat bagi sesama. Dengan demikian semakin besar manfaat yang bisa diberikan, maka semakin tinggi derajat kepemimpinannya di mata Allah. Ketiga, Kullukum Rain wa Kullu Rain Masulun an Raiyatihi, kalian semua adalah seorang pemimpin kata Nabi dan setiap pemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah SWT.

Aku perhatikan beberapa kali Pak Dubes mengangkat kepalanya, saat aku mengucapakan kalimat-kalimat tertentu. Usai khotbah aku menjadi Imam pelaksanaan Shalat Jum’at. Kemudian usai salam aku lanjutkan dengan doa. Setelah berdoa aku membalikkan badan. Ternyata separuh jamaah sudah meninggalkan tempat, akan tetapi Pak Dubes masih berada di posisinya semula. Aku kemudian menyapanya dengan kalimat: “Apa khabar Pak Dubes ? Semoga senantiasa Allah memberikan kekuatan dan kesehatan, agar Bapak mampu menjalankan tugas dengan baik”.

“Terimakasih atas doanya”, jawabnya.
“Saya punya gagasan yang saya tuangkan dalam bentuk proposal, mohon saran dan arahan Bapak”, kataku sembari mengambilnya dari tangan Iqbal yang sudah mendekat untuk aku serahkan.

“Akan saya pelajar”, jawabnya singkat sembari mengambil proposal tersebut dari tanganku. Aku berharap beliau segera meresponsnya, akan tetapi isyarat yang aku nanti dari hari ke hari tidak kunjung datang. Perasaanku mulai cemas, tapi aku berusaha menutupinya agar tidak tampak di mata Iqbal.

Senin malam, seperti biasanya usai Shalat Isya’ berjamaah bersama Iqbal, kami makan malam lesehan di ruang satu-satunya di apartemen yang kami sewa. Ruang itu disamping digunakan untuk Shalat dan makan, juga digunakan untuk menerima tamu yang datang. Hanya ada dua kamar di dalamnya, yang berada di lantai dua dari apartemen sederhana yang kami sewa. Terletak di pinggiran kota Madrid membuat harga sewanya jauh lebih rendah dibanding apartemen dengan jumlah kamar dan kondisi yang sama yang berada di dalam kota. Karena itu kami selalu pergi lebih awal jika harus ke kampus atau menghadiri acara di dalam kota, untuk mengantisipasi macet dan kendaraan umum yang penuh.

HP Iqbal mengedip tanda ada pesan masuk, ia lalu mengangkat dan melihat pesan di dalamnya. Tiba-tiba wajahnya berubah cerah, dan bibirnya tersungging lebar, ia kemudian mengucapkan kalimat pendek: “Alhamdulillah”.

“Ada apa ?”, kataku penasaran.
“Ku bilang juga apa ?”, responnya.
“Jangan menggodaku!”, pintaku semakin penasaran.
“Kita mendapatkan undangan ke KBRI”, jelasnya.
“Dari siapa ?”, kataku dengan perasaan tak sabar.

“Siapa lagi kalau bukan dari Dubes. Besok siang kita diminta untuk menghadap oleh Ibu Nany yang menjadi Sekretaris beliau”, katanya.

Aku langsung mengucapkan Alhamdulillah sambil mengangkat tangan, diikuti dengan memutar badan ke arah kiblat kemudian bersujud sebagai bagian bentuk syukur.
“Sekarang tidak suudzon lagi kan ?”, kata Iqbal dengan nada menggoda.

“Maafkan aku, kali ini aku mengaku salah dan kalah”, kataku dengan nada penyesalan.

“Sudahlah, yang penting kita bisa memetik pelajaran dari berbagai peristiwa yang kita alami. Tenang, sabar, dan terus berusaha, diiringi dengan doa, merupakan prinsip yang sangat penting dalam menjalani hidup dan kehidupan, kapanpun dan dimanapun kita berada”, katanya dengan nada menasihatiku layaknya seorang kakak.

Keesokan harinya, sesuai jadwal yang ditentukan kami datang ke KBRI dan langsung menuju ruang kerja Dubes di lantai enam. Kami diterima oleh Sekretaris beliau.

“Silahkan tunggu sebentar, karena beliau masih menerima tamu!”, kata Bu Nany sambil mengarahkan kami berdua ke ruang tunggu. Aku duduk di kursi sofa besar berwarna hijau. Rasanya baru pertama kali aku duduk di kursi selembut ini dan berada di ruang tamu semewah ini, fikirku dalam hati dengan perasaan tidak karuan.

Terdapat satu lukisan besar bergambar wayang yang tergantung di dindingnya, dan satu dekorasi batik pada dinding lainnya, serta sebuah lemari kaca pendek yang di dalamnya terdapat berbagai souvenir asal berbagai daerah di Indonesia.

Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya, aku berusaha menutupinya agar tidak ketahuan Iqbal.

“Nanti bantu aku menjelaskan programku ke Pak Dubes !”, kataku lirih, sementara Iqbal hanya tersenyum melihat tingkah-laku ku yang mungkin tampak gugup di matanya.

Pintu ruang Dubes terbuka. Seorang bertubuh tinggi ramping berwajah Spanyol dengan jenggot lebat yang dipelihara rapi, menggunakan jas lengkap dengan dasi berjalan meninggalkan ruangan dengan langkah berwibawa. Pintu kamar masih terbuka lebar, tetapi Pak Dubes tidak kunjung keluar. Aku menjulurkan sedikit leherku untuk melihat ruang kerja Pak Dubes. Besar sekali fikirku dalam hati.

Pak Dubes kemudian keluar dari ruangannya, mempersilahkan kami berdua masuk dan mempersilahkan kami berdua duduk berdampingan, sementara Pak Dubes duduk di seberang meja.

Oh ! ternyata aku keliru, ruangan ini ternyata ruang rapat, sementara ruang Dubes berada di sebelahnya lagi. Aku perhatikan ruang itu diisi meja lebar yang sangat mewah yang dikelilingi dengan sekitar12 kursi.

Di bagian ujungnya yang diapit oleh bendera Merah-Putih dan bendera Spanyol terdapat sebuah kursi yang lebih lebar dengan sandaran yang lebih tinggi. Tampaknya itu kursi Dubes bila sedang memimpin rapat. Di dinding terpasang peta dunia yang sangat lebar, sementara pada dinding lain sebuah TV dengan layar sangat lebar, tampaknya untuk keperluan rapat virtual.

Di dinding lain tergantung deretan foto para dubes yang pernah bertugas di Spanyol, tapi foto dubes yang baru belum ada di situ.

Aku perhatikan seiisi ruangan ini dengan seksama, sampai-sampai saat aku disapa Pak Dubes tidak mendengarnya. Iqbal kemudian memegang tanganku sambil menggoyangnya sedikit. Aku seperti baru tersadar dari siuman.

“Apa khabar ?”, tanya Pak Dubes mengulangi sapaan sebelumnya.
“Baik Pak!”, jawabku dengan tersipu.
“Kami telah membaca proposal yang diserahkan Jum’at yang lalu, apa yang bisa kami bantu untuk merealisasikannya ?”, katanya langsung dan lugas.

“Kami justru berharap arahan dari Bapak”, jawabku diplomatis.

“Sementara belum ada arahan dari saya, silahkan mulai disusun rencana aksinya, jika memerlukan bantuan dari KBRI bisa disampaikan ke Seketaris saya. Hanya saja perlu dipahami bahwa anggaran KBRI terbatas, dan di masa Pandemi ini terjadi pemotongan berkali-kali”, jelasnya.

“Baik Pak, kami akan mulai melakukan peninjauan lapangan, berkomunikasi dengan sejumlah pihak untuk menyusun rencana aksi jangka pendek, menegah, dan jangka panjang, agar program Interfaith Dialogue dan pembentukan Diaspora Muslim Indonesia (DMI) seperti yang kami telah tulis dalam proposal benar-benar bisa terwujud”, responku.

“Jika perlu kendaraan untuk melakukannya, silahkan diajukan”, katanya sambil pamitan karena sudah ada tamu lain yang menunggu.
Kami lalu meninggalkan KBRI dengan perasaan berbunga-bunga.

Saat berada di dalam Bus dalam perjalan pulang aku bertanya kepada Iqbal: “Untuk apa negara membuang-buang dana besar sekedar untuk membuat kantor KBRI begitu mewah, sementara rakyat kita masih banyak yang miskin ?”.
“KBRI merupakan salah satu simbol bangsa dan negeri. Muruah dan harga diri bangsa, apalagi berada di negara lain tentu memiliki makna tersendiri. Itulah sebabnya semua negara berusaha untuk menampilkan kedutaannya sebesar mungkin, sebagus mungkin, dan di tempat yang sestragis mungkin di pusat kota. Wisma Duta kita juga sangat bagus, bangunannya megah dan indah, tanahnya luas dilengkapi dengan kolam renang dan taman yang asri”, kata Iqbal yang tampaknya banyak tahu tentang diplomasi.

Sekarang aku faham kenapa kedutaan-kedutaan asing di Jakarta seperti berlomba dalam menampilkan kedutaan dan rumah dutanya. Tiba-tiba aku ingin melihat Wisma Duta, ada perasaan menyesal kenapa ketika diajak Iqbal aku menolaknya. Tapi aku harus tetap merahasiakan perasaan ku yang satu ini, agar Iqbal tidak mengetahuinya. Pada saatnya aku akan cari cara tersendiri untuk mengunjungi untuk melihat dari dekat Wisma Duta kita yang terletak di pinggir kota Madrid.

(Bersambung)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Dr. Muhammad Najib

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO. Penulis Buku "Mengapa Umat Islam Tertinggal?" info pemesanan buku
Back to top button