Kanal

Politik Bouwheer, Kegagalan Bernegara dan Antisipasi Pendiri Negeri

Sesuatu yang buruk hanya mungkin menghasilkan hal-hal yang busuk. Bahkan di negara-negara maju, donokrasi terbukti hanya melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak becus. Setidaknya, kaum medioker. Bagaimana mungkin ia akan mampu mengambil keputusan yang tegas bila sejuta kepentingan para donor yang sempat memberikan ‘ijon’ menghalanginya untuk itu.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Lontaran politisi Partai Gelora, Fahri Hamzah, soal nyaris niscayanya peran bouwheer (bohir) alias pemodal dalam politik Indonesia, yang ia ungkapkan pada diskusi bertajuk “Siapa Presiden dan Wapres Indonesia 2024?” yang digelar Inilah.com, di Petra Restaurant, Selasa (15/11) siang, menarik untuk dikaji dan dielaborasi lebih jauh. Yang juga menarik dipertanyakan, apakah di saat aturan permainan demokrasi yang kini berlangsung jauh di luar idealisasi para pendiri negeri, tidakkah itu berarti sejatinya negeri ini gagal mewujudkan cita-cita awal?

Dari pernyataan Fahri bahwa yang selama ini menyatukan parpol-parpol dalam koalisi adalah bohir, bukan kesamaan misi dan tujuan ideal, sejatinya harus membuat kita miris. Telah sebegitu pragmatiskah kita, sehingga urusan sefundamental Pemilu (juga Pilkada) pun tega kita serahkan saja kepada para kasir tersebut?

Kita memang tak bisa menutup mata bahwa biaya politik di negara ini begitu mahal. Itu tidak hanya pada sisi biaya penyelenggaraan pemilihan, melainkan pula biaya yang harus dikeluarkan oleh para kontestan pemilihan. Sudah menjadi rahasia umum, meski baru sebatas bisik-bisik, perlu sekian miliar untuk bisa terpilih menjadi seorang anggota DPR (D). Perlu sekian puluh atau ratus miliar sendiri untuk menjadi gubernur, dan bila urusannya sudah pada kursi kepresidenan, biaya yang harus dikumpulkan para calon dan timnya itu sudah mencapai ukuran puluhan triliun rupiah alias ribuan miliar jumlahnya!

Sekian banyak dana itu mengalir untuk biaya-biaya yang masuk akal, semisal pengadaan poster, spanduk, kaos, baliho dan sebagainya. Tetapi sebagian lainnya mungkin keluar untuk hal-hal yang tak akan mungkin dituliskan di pengeluaran, misalnya terutama, berbagai bentuk suap dari kontestan terhadap pemilik suara; rakyat pemilih. Bentuknya bisa berlainan, entah berupa natura dalam wujud barang dan makanan pokok, atau bahkan yang benar-benar secara harfiah merujuk pada terma ‘politik uang’.

Pada titik itulah seorang kontestan, entah ia bersaing di Pilpres, Pilkada atau pun Pileg, memerlukan uang dalam jumlah yang bahkan mungkin tidak ia bayangkan sebelumnya. Di sinilah terbuka peluang bagi datangnya bohir. Bukan apa-apa, karena bohir pun sejatinya adalah ‘pengusaha’. Wajar bila ia pun mengendus peluang besar meraup uang dari APBN/D, manakala calon yang ia ongkosi menang dalam pemilihan. Meski laiknya berjudi, dana yang ia kucurkan itu tentunya bukan gratisan bin prodeo, melainkan sebuah investasi tersendiri. Ia akan mendulang hasilnya ketika kontestan (anggota DPR/D, kepala daerah, presiden) terpilih, berupa proyek-proyek yang didanai anggaran resmi.

Sejatinya, pada awalnya kata ‘’bouwheer” atau bohir sendiri bukanlah kata yang berkonotasi ‘miring’. Artinya sebelum mengalami peyorasi adalah “pemilik modal.” Dalam bahasa aslinya, Belanda, bouwheer berarti “kontraktor”, berasal dari bouwen (membangun) dan heer (tuan). Kini, dalam bahasa Indonesia, khususnya percakapan politik sehari-hari, istilah “bohir” merujuk pada pemberi modal politik. Tentu saja, karena mengalami peyorasi (gejala memburuknya arti suatu kata), ia sudah bermakna negatif, yakni  semacam rentenir politik yang “meminjamkan” uang ke calon-calon yang akan berlaga dalam Pemilu.

Fenomena politik bohir ini tentu saja tidak merupakan monopoli Indonesia. Di berbagai negara ‘demokrasi’, transaksi-transaksi di bawah meja seperti itu kerap terjadi, termasuk di AS dan negara-negara Eropa. Mereka punya istilah sendiri untuk melukiskan demokrasi transaksional seperti itu: “donokrasi” alias demokrasi yang ditunjang kuat para donor. Yang membedakan, di Amerika, misalnya, donokrasi dilakukan secara lebih terbuka, tercatat dan dilaporkan kepada badan-badan publik, meski pada hal-hal tertentu tetap saja dilakukan sembunyi-sembunyi ala kaum lancung.

Namun, politik bohir di negara kita adalah donokrasi yang dilakukan dengan cara-cara yang barangkali tergolong brutal dibandingkan negara-negara demokrasi yang tadi kita sebut. Tidaklah berlebihan bila ada kalangan pengamat politik yang menyatakan bahwa demokrasi yang kita jalani ini sejatinya adalah “bohirokrasi” atau demokrasi para bohir. Dalam bahasa Dr Luthfi Assyaukanie, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), pemegang saham terbesar dalam Pemilu bukanlah rakyat (demos), tapi bohir yang berada di balik setiap kontestan. Alhasil, rakyat banyak hanyalah pelengkap penderita, karena hasil Pemilu pun sebenarnya bukanlah untuk mereka, melainkan demi para bohir tersebut.

Tangis para founding fathers

Sesuatu yang buruk hanya mungkin menghasilkan hal-hal yang busuk. Bahkan di negara-negara maju, donokrasi terbukti hanya melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak becus. Setidaknya, kaum medioker. Bagaimana mungkin ia akan mampu mengambil keputusan yang tegas bila sejuta kepentingan para donor yang sempat memberikan ‘ijon’ menghalanginya untuk itu. Tidak hanya mekanisme pemilihan yang sarat campur-tangan donor, setelah muncul pemenang kontestasi pun, selalu ada hal-hal yang menyulitkan munculnya kebijakan politik yang jernih, sehat dan berorientasi untuk kepentingan rakyat banyak. Akibat lainnya adalah munculnya gejala generasi pemilih abai (ignorant voters).

Sebuah jajak pendapat yang digelar di AS pada 2017 tentang kepuasan publik terhadap para gubernur menunjukkan, dari 50 gubernur terpilih, hanya tujuh yang mendapatkan (nilai) tingkat kepuasan di atas 60 persen. Rata-rata gubernur dalam jajak pendapat yang digelar lembaga Morning Consult tersebut hanya mendapat approval rating di bawah 50 persen.

Di Indonesia, kita mendapatkan data bahwa dari 34 provinsi dan 500-an bupati/wali kota, sejak 2004 hingga Januari 2022 ada 22 gubernur dan 148 bupati atau walikota yang ditangkap KPK. Itu baru data KPK, belum lagi jika digabungkan dengan data Kejaksaan dan Kepolisian. Berdasarkan pengumpulan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2010-Juni 2018 saja ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. Itulah hasil dari donokrasi.

Tidaklah berlebihan jika kita katakan, kalau saja Bung Karno, Bung Hatta, Pak Natsir, Syahrir, dan para pendiri bangsa lainnya kembali hidup saat ini, sangat mungkin mereka akan menangisi kondisi negeri ini. Kesepakatan mereka untuk membangun sebuah negara republik yang mencita-citakan keadilan dan kesejahteraan, sudah gagal dari hal yang paling dasar: kondisi dan aturan main berdemokrasi yang dibangun.

Bagaimanapun, pemilihan bentuk negara republik , yang kemudian diputuskan dalam sidang BPUPKI menjelang proklamasi kemerdekaan, adalah hal mendasar. Bentuk republik adalah bentuk negara yang secara otomatis memberikan keadilan dan kesetaraan kepada seluruh warga. Bahkan, jika boleh mengingat ulang, jauh sebelum sidang BPUPKI pun bentuk republik ini telah menjadi pilihan umum di kalangan perintis kemerdekaan. Tan Malaka, misalnya, pada 1925 telah menulis sebuah risalah berjudul “Menuju Republik Indonesia” yang antara lain berisi program-program ekonomi dan politik bagi Indonesia pasca-merdeka. Tan Malaka mengambil revolusi Prancis yang menjatuhkan monarki sebagai referensi pendirian republik. Bahkan di tahun 1920, istilah “republik” juga telah dikemukakan oleh Haji Misbach dengan menyitir perubahan yang terjadi di Austria dalam pidatonya di Sarekat Islam, di Solo.

Catatan Bung Karno sendiri menunjukkan bahwa kesepakatan untuk mendirikan Indonesia yang berbentuk republik  itu telah dicapai kalangan pergerakan di tahun 1933. Setidaknya, ada ada kesepakatan yang dicapai antara Parttindo yang dipimpin Sukarno dan PNI Baru yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, untuk itu.

Yang perlu diingat, pemaknaan atas Indonesia merdeka yang berbentuk “republik” itu tidak sekadar berdasar penolakan atas bentuk kerajaan atau monarki. Para pendiri bangsa memahami bahwa republik mempunyai makna yang luas, yaitu mengutamakan kepentingan umum, bukan kepentingan individu atau golongan. Ki Bagoes Hadikoesomo, pimpinan BPUPKI, menjelaskan republik sebagai “Daulat Rakyat”.

Artinya, ide pertama tentang Indonesia di mata para pendiri negara adalah kesetaraan, kepentingan umum, dan  keadilan bagi seluruh rakyat. Lalu, manakala yang saat ini bergulir adalah demokrasi bohir, dengan hujjah apa kita bisa menolak telah gagalnya kita semua mewujudkan cita-cita mulia para pendiri negara tersebut?

Solusi yang mungkin

Bisakah kita lepas dari politik bohir yang semakin lama terasa kioan membuat sesak ini? Bahkan kalau pun manakala hanya membaca koran tentang kian tingginya politik bohir yang dikenal sebagai mahar politik.

Setidaknya ada dua solusi yang pernah diajukan para ilmuwan politik berkenaan dengan kebuntuan yang ditimbulkan donokrasi ini. Yang pertama, cara radikal seperti diusulkan Jason Brennan melalui bukunya “Against Democracy”. Brennan berpendapat, tidak ada cara lain yang bisa memperbaiki kualitas demokrasi kecuali dengan melakukan sortifikasi atau penyortiran  terhadap pemilih. Caranya dengan melakukan penyortiran atau pembatasan jumlah pemilih, misalnya hanya orang-orang tertentu yang benar-benar melek dan peduli politik yang berhak datang ke bilik suara. Mereka yang tak punya pengetahuan atau kepedulian politik tak layak diajak ikut pemilu. Mekanisme penyortiran bisa berdasarkan jenjang pendidikan, bisa juga berdasarkan perilaku informasi/pengetahuan yang dikonsumsi seseorang. Brennan menyebutnya “epistokrasi.”

Cara ini sebenarnya pernah berlaku di Indonesia, bahkan dikukuhkan dalam sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oelh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Cara ini berakhir seiring bergulirnya Reformasi, yang memunculkan kehendak kuat untuk dilakukannya pemilihan langsung untuk hal apa pun.

Solusi kedua bersifat struktural, sebagaimana ditawarkan Ilya Somin dalam “Democracy and Political Ignorance”. Bagi Somin, sortifikasi bukanlah alternatif ideal buat demokrasi. Selain mekanisme penyortiran yang tak mudah, semangat sortifikasi pun cenderung diskriminatif. Baginya, ignorance (abai) bukanlah sebuah kondisi yang tak masuk akal, tapi justru pilihan rasional pemilih. Di tengah banyaknya pilihan, memilih atau mengabaikan adalah keputusan yang sepenuhnya rasional.

Jika akar masalah dari buruknya hasil demokrasi adalah karena banyaknya pemilih abai, mengapa mereka memilkih untuk abai? Somin percaya, itu terjadi karena mereka disuguhi begitu banyak pilihan yang tak mungkin mereka kaji secara mendalam. Cara mengatasinya: mengurangi pilihan, kurangi jabatan publik, kurangi posisi-posisi yang tidak penting. Sederhananya, rampingkan pemerintahan.

Namun ada cara ketiga yang diajukan Dr Luthfi Assyaukanie, yang ia akui sendiri belum banyak dipercakapkan orang, bahkan di kalangan akademis. Jika masalah demokrasi terkait keterlibatan (emosional) pemilih dan juga pendanaan, memikirkan solusi yang bisa mengombinasikan keduanya adalah jalan keluar terbaik. Luthfi membayangkan terbangunnya sebuah sistem atau platform yang memungkinkan pemilih dalam demokrasi lebih terlibat dengan pilihan-pilihan politik mereka. Misalnya, mendorong mereka agar lebih besar lagi berperan dalam proses pemilihan, bukan hanya datang ke bilik suara, tapi aktif berkampanye dan , terutama, melakukan penggalangan dana.

Luthfi yakin, penggalangan dana merupakan unsur penting yang bisa menggabungkan emosi pemilih dengan isu pendanaan yang jadi akar persoalan demokrasi. “Orang yang mengeluarkan uang, seberapapun jumlahnya, pasti punya ikatan emosional lebih besar ketimbang pemilih minimalis yang tak menyumbang. Dia akan memantau calon yang didukung,” kata Luthfi.

Dampak positif lain cara itu, kata dia, kandidat yang didanai uang masyarakat, hasil dari penggalangan dana, seharusnya akan merasa lebih bertanggung jawab kepada publik, ketimbang kepada seseorang (bohir). Penggalangan dana, dengan demikian bukan hanya mengatasi masalah biaya politik yang selama ini sangat rawan, tapi juga mendorong seorang kandidat lebih bertanggung jawab kepada pemilihnya. Tinggal kapan kita mau memulai cara yang lenbih sehat dalam berdemokrasi ini mulai kita lakukan. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button