Politik Ekonomi Ramadan


Bulan Ramadan bukan hanya soal spiritualitas, tetapi juga fenomena ekonomi yang menuntut perhatian khusus. Kenaikan konsumsi, lonjakan harga, dan spekulasi pasar adalah tantangan yang terus berulang setiap tahunnya.

Tak bisa dimungkiri, bulan Ramadan membawa nuansa spiritual yang dalam bagi umat Islam di seluruh dunia. Namun, di balik semangat ibadah dan pengendalian diri, ada fenomena ekonomi yang menarik: konsumsi masyarakat justru meningkat, harga kebutuhan pokok melonjak, dan pemerintah dihadapkan pada dilema kebijakan yang harus menyeimbangkan kepentingan masyarakat dan stabilitas ekonomi. Fenomena ini bukan sekadar anomali, tetapi refleksi dari dinamika politik ekonomi yang khas selama bulan suci.

Secara logis, puasa berarti mengurangi waktu makan. Namun, kenyataannya, pengeluaran masyarakat justru meningkat selama Ramadan. Fenomena ini bisa dijelaskan oleh beberapa faktor:

Pertama, perubahan pola konsumsi. Saat sahur dan berbuka, masyarakat cenderung mengonsumsi makanan lebih spesial dibanding hari biasa. Hidangan berbuka sering kali lebih mewah, dan adanya tradisi takjil menambah daftar belanja rumah tangga.

Kedua, gaya hidup dan budaya Ramadan. Ramadan tidak hanya soal ibadah, tetapi juga momentum berkumpul bersama keluarga dan teman, yang mendorong konsumsi makanan, pakaian, hingga hiburan.

Ketiga, adanya tunjangan hari raya (THR). Pendapatan ekstra dalam bentuk THR memicu peningkatan daya beli masyarakat, yang akhirnya berdampak pada lonjakan konsumsi.

Kenaikan Harga

Naiknya permintaan selama Ramadan menyebabkan harga barang kebutuhan pokok meningkat. Beberapa penyebab utama meliputi:

Pertama, permintaan yang melonjak. Ketika permintaan naik, hukum ekonomi sederhana mengatakan harga pun ikut terdongkrak. Apalagi jika pasokan barang tidak meningkat sejalan dengan permintaan. Peningkatan permintaan yang signifikan selama Ramadan dapat memicu kenaikan harga, yang berpotensi menyebabkan inflasi.

Kedua, spekulasi dan permainan pasar. Distributor dan pedagang sering memanfaatkan momen ini dengan menaikkan harga, terkadang dengan menahan stok barang terlebih dahulu untuk menciptakan kelangkaan buatan.

Ketiga, efek psikologis konsumen. Karena sudah menjadi pola tahunan, masyarakat cenderung membeli lebih banyak di awal Ramadan untuk mengantisipasi kenaikan harga, yang justru mempercepat kenaikan harga lebih awal.

Keempat, gangguan rantai pasok. Faktor eksternal seperti cuaca, gangguan distribusi, hingga kebijakan impor turut memengaruhi ketersediaan barang di pasaran.

Keseimbangan Kebijakan

Dalam menghadapi fenomena ini, pemerintah berada dalam dilema: di satu sisi, perlu memastikan harga tetap stabil agar masyarakat tidak terbebani, tetapi di sisi lain, kebijakan yang diambil harus tetap menguntungkan secara politik.

Kebijakan ekonomi-politik yang bisa diterapkan antara lain: Stabilisasi harga melalui intervensi pasar. Pemerintah bisa menggelontorkan stok cadangan untuk menekan harga, seperti operasi pasar murah yang menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.

Selain itu, perlu ada pemberian insentif bagi produsen dan pedagang. Memberikan subsidi atau insentif pajak kepada produsen dan distributor bahan pokok agar harga tetap terjangkau tanpa merugikan mereka.

Yang tidak kalah penting, adanya regulasi anti-spekulasi. Pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap spekulan yang sengaja menimbun barang demi keuntungan berlipat. Hukuman tegas bisa menjadi efek jera bagi pelaku pasar yang bermain curang.

Kesejahteraan bisa dijadikan sebagai alat politik bagi pemerintah yang berhasil menjaga stabilitas harga dan memastikan masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya akan memperoleh insentif politik berupa peningkatan kepercayaan publik, yang dapat berkontribusi dalam pemilu atau agenda politik lainnya.

Empat Persoalan

Beberapa permasalahan ekonomi khas Ramadan yang perlu diselesaikan. Setidaknya ada empat persoalan yang senantiasa muncul:

Pertama, lonjakan harga pangan. Meskipun pemerintah sudah berusaha menstabilkan harga, lonjakan harga-harga, terutama pangan tetap saja terjadi. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan optimalisasi distribusi dan operasi pasar murah secara luas untuk mencegah inflasi yang tak terkendali.

Kedua, semakin melebarnya kesenjangan sosial akibat konsumsi berlebihan. Alih-alih mengurangi konsumsi, saat puasa justru terjadi konsumsi yang berlebihan. Untuk mengatasinya diperlukan kampanye kesederhanaan dan gerakan berbagi agar konsumsi lebih berkeadilan serta tidak berlebihan di kalangan masyarakat kelas atas.

Ketiga, ketergantungan pada impor. Akibat permintaan yang melonjak, ketergantungan pada impor sulit dihindari. Cara mengatasinya dengan mendorong ketahanan pangan nasional dengan meningkatkan produksi dalam negeri dan menekan impor, sehingga harga pangan lebih terkendali.

Keempat, eksploitasi pasar oleh pemain besar. Para pemain besar, terutama spekulan, memanfaatkan naiknya konsumsi untuk mengeksploitasi pasar. Persoalan ini bisa diantisipasi dengan penguatan peran koperasi dan usaha kecil dalam rantai pasok agar tidak hanya segelintir pemain besar yang mendominasi pasar.

Pemerintah harus mampu mengelola stabilitas ekonomi dengan kebijakan yang tepat, menyeimbangkan antara kepentingan masyarakat dan insentif politik yang menguntungkan. Dengan kebijakan yang bijak, Ramadan dapat menjadi momentum untuk menciptakan ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi semua lapisan masyarakat.