Politik Relawan Potensi Ciptakan Kekuasaan Otoriter

Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini menilai, level kekuasaan saat ini, sudah meninggalkan fatsoen politik, dan etika politik sudah tidak adalagi.

Akibatnya, kata Prof Didik, demokrasi sudah menjadi brutal dan hukum rimba, karena tidak adalagi kontrol publik yang kuat. Celakanya lagi, check and balance di parlemen, absen.

“Politisi juga sudah tebal muka. Sekarang, diantara mereka yang berkoalisi terjadi arus balik perpecahan di antara mereka sendiri. Karena kepentingan kekuasaan,” kata mantan Anggota DPR asal PAN ini, dalam serial Diskusi Fatsoen Politik secara daring, Jakarta, dikutip Rabu (6/12/2023).  

Dia bilang, kekuasaan saat ini, sudah terlampau kuat dan otoriter. Perlahan, terkuak bibit perpecahan karena adanya perlawanan. Dulu, rakyat yang diadu domba oleh elit, sehingga terbelah dua. Kini justru sebaliknya, kalangan elit yang terbelah.

Kali ini, Prof Didik mengkritisi fenomena relawan yang keberadaaannya tak lebih dari ‘begal’ demokrasi. Intinya, proses demokrasi yang sehat dibajak oleh peranan relawan di dalam kekuasaan. Ini juga akan menjadi penyakit di periode kepemimpinan ke depan, jika tetap dibiarkan menjadi barang haram dalam sistem demokrasi di luar eksekutif, legislatif, dan yudikatif.  

“Jadi, relawan itu bukan eksekutif, bukan legislatif, dan bukan pula yudikatif. Dia ada di bawah karpet yang dulu memuji-muji kekuasaan dan secara tidak langsung membungkam orang-orang kritis. Sekarang, seolah-olah menjadi oposisi, berperan check and balances. Padahal, 9 tahun ini menjadi rayap-rayap demokrasi,” paparnya.

Praktik para relawan ini, menurut Prof Didik, sangat potensial mendorong sebuah pemerintahan mengarah ke otoriter. “Untung saja tidak kejadian sampai bablas 3 periode. Kekuasaan yang didorong untuk berkuasa 3 periode, berisiko untuk Indonesia seperti Rusia di bawah Putin,” ungkapnya.

Di sisi lain, dia mengapresiasi nyali Ketum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati, meski terlambat memberikan kontrol. Sehingga kekuasan yang otoriter ini tidak kebablasan.  Sedangkan, Gunawan Muhammad harus menangis tersedu-sedu bak pemuda kehilangan pujaan hatinya, juga terlambat.

“Sejarah dia menemui Jokowi supaya menerbitkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK, itu percuma. Karena aktornya adalah Jokowi sendiri yang melemahkan KPK. Sehingga sekarang semuanya tahu Ada 2 tokoh yang menghancukan KPK, yakni Jokowi dan Firli Bahuri,” ungkapnya.

Dia berpesan, siapapun presiden pilihan rakyat yang dilahirkan dari Pilpres 2024, akan mengulang hal yang sama. Jika tetap memelihara relawan yang memuji-muji. Itu sama halnya dengan memelihara bandit dalam kekuasaan. Namun jika dikontrol oleh rule of law, demokrasi berjalan baik, maka akan jalannya pemerintahan bakalan lebih baik.

Sedangkan, Komaruddin Hidayat, salah satu pemikir Islam dan Kebangsaan, mengatakan, terdapat satu premis yang menyatakan bahwa dulu negara ini yang merupakan anak kandung rakyat, dibangun dari komunitas suku dan etnis yang begitu beragam dan punya relasi yang baik. Kebaikan itu menjadi modal dan identitas kelompok serta hidup dalam prasangka baik.

“Bahwa etika atau fatsoen etika politik akan menjadi satu panduan atau akan tetap dijaga dan dirawat ketika negara ini telah merdeka. Itu asumsinya,” kata dia, dalam kesempatan yang sama.

Namun, saat ini, menurut Komaruddin Hidayat, setelah negara ini lahir, di mana ada pergaulan, mekanisme dan aktor dan punya peluang godaan yang besar sekali, lalu kemudian dari awalnya bisa dialog dengan watak kultural dan tradisi dialog. “Tapi, lama kelamaan negara menjadi malin kundang terhadap ibu kandung yang melahirkannya, yaitu civil society,” imbuhnya.

Mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN), Syarif Hidayatullah Jakarta itu, menyampaikan, bisnis politik yang pemegang sahamnya oligarki. Bukan kekuatan rakyat.

“Di situlah kemudian, pemerintahan yang seharusnya jadi mediator antara negara dan komunitas, berubah menjadi bisa merongrong ke negara dan ke rakyat, dia bisa menindas,” ujarnya.

Sumber: Inilah.com