News

Polusi Tinggi, Jakarta Sudah Tak Layak Jadi Tempat Tinggal?

Akhir-akhir ini ramai muncul isu tentang kondisi udara Jakarta yang tercatat mengalami polusi tertinggi di dunia. Kualitas udara di Ibu Kota memang masih buruk. Apakah artinya Jakarta sudah layak lagi sebagai tempat tinggal?

Pada 15 Juni hingga 21 Juni 2022, kualitas udara di Jakarta secara berturut-turut, berada di urutan teratas kota dengan polusi tertinggi di dunia pada pengukuran udara di pagi hari. Ini menjadi keprihatinan banyak pihak mengingat polusi udara menjadi penyebab beberapa penyakit terutama yang berhubungan dengan pernapasan.

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sepanjang Juni 2022 ini di Jakarta terjadi konsentrasi rata-rata PM2.5 berada pada level 41 µg/m³ (mikrogram per meter kubik), melebihi nilai ambang batas aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kondisi ini tentu mengancam kesehatan masyarakat Jakarta. Berbagai penyakit akibat polusi udara mengintai warganya.

“Salah satu penyebabnya memang cuaca, tetapi penyebab utama lainnya adalah masih adanya sumber pencemar udara, yang terbukti belum bisa dikendalikan serius,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam acara Media Briefing Polusi Udara, pekan lalu.

Akibat tingginya tingkat polusi ini, kesehatan masyarakat Jakarta menjadi pertaruhan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat mengungkapkan, terdapat 5,5 juta kasus per tahun akibat polusi udara terjadi di ibu kota. Dari jumlah tersebut, biaya untuk kesehatan ditaksir mencapai Rp6,8 triliun.

“Pakar mengatakan 5,5 juta kasus penyakit disebabkan oleh pencemaran udara per tahunnya di Jakarta. Itu hampir 11 kasus setiap menitnya, dan biaya kesehatan akibat ini sekitar Rp6,8 triliun,” katanya. Pernyataan itu Anies ungkapkan 2 tahun lalu, bisa jadi angkanya malah lebih memburuk.

WHO menyebutkan, paparan polusi udara tingkat tinggi dapat menyebabkan berbagai hasil kesehatan yang merugikan. Seperti meningkatkan risiko infeksi pernapasan, penyakit jantung, dan kanker paru-paru. Paparan jangka pendek dan jangka panjang terhadap polutan udara telah dikaitkan dengan dampak kesehatan. Dampak yang lebih parah menimpa orang yang sudah sakit, anak-anak, orang tua dan orang miskin yang lebih rentan.

Mengapa Polusi Udara di Jakarta Bisa Sedemikian Parah?

Sekilas mungkin orang mengira penyebab utamanya adalah asap kendaraan. Tapi, sebenarnya penyumbang polusi udara terdiri dari banyak sumber yang terbagi dalam dua bagian, yakni sumber bergerak dan tidak bergerak.

Sumber bergerak berasal dari kendaraan bermotor baik roda dua, roda empat, maupun dari berbagai moda transportasi yang ada saat ini. Sementara untuk sumber tidak bergerak berasal dari industri, kegiatan konstruksi, dan sebagainya.

Selain itu, kondisi cuaca yang sejuk dan lembab di Jakarta pada Juni ini, juga berpengaruh terhadap tingginya polusi udara. Sebab, mobilitas masyarakat menggunakan kendaraan pribadi menjadi lebih tinggi.

Riset di 2020 mengungkapkan, kontribusi pencemaran udara terbesar di Jakarta adalah emisi yang tidak bergerak. Dari mulai pembangkit listrik, pabrik hingga fasilitas industri lainnya. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta juga sempat mencabut izin lingkungan PT Karya Citra Nusantara (KCN) buntut polusi debu batu bara di kawasan Marunda, Jakarta Utara.

Total ada sekitar 136 fasilitas industri beremisi tinggi yang berdiri di radius 100 km pusat Jakarta. Nah, 118 di antaranya itu berdiri, sebenarnya bukan di Jakarta, tapi di Jawa Barat dan juga di Banten. Yang artinya, polusi Jakarta itu bisa berasal dari kiriman wilayah-wilayah tetangganya.

Gubernur Anies mengatakan, udara Jakarta memang belum bersih. Ia menjelaskan jika kualitas udara terus memburuk selama dua bulan dan terjadi setiap harinya itu menunjukkan ada kesalahan. Berbeda halnya, apabila kualitas udara hanya memburuk satu hari saja.

“Tapi bila ada satu hari buruk sekali dan hari berikutnya seperti Jakarta normal, pasti ada sebuah peristiwa yang terjadi. Itu perlu kita lihat mengingat kualitas udara tidak ada pembatasan KTP atau administrasinya,” kata Anies. Jadi memang ada emisi di dalam kota dan ada juga pergerakan dari berbagai wilayah ke Jakarta.

Karena itu, pihaknya telah berupaya memperbaiki kualitas udara salah satunya dengan penggenjotan uji emisi. Langkah lainnya, lanjut Anies, dilakukan dengan memperbanyak transportasi umum yang ramah lingkungan. “Kemudian kewajiban mengurangi emisi di kota dengan uji emisi. Uji emisi untuk mengurangi dampak negatif dari kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta,” kata Anies.

Kondisi Jakarta juga semakin diperparah dengan prediksi Badan Riset dan Inovasi Nasional yang bilang kalau Jakarta itu bakal tenggelam di tahun 2050. Alasannya banyak, mulai dari climate change, kenaikan permukaan laut dan penurunan permukaan tanah.

Sementara masalah pencemaran lain masih menghantui seperti sampah yang berserakan di sungai-sungai, yang akhirnya bikin pergerakan air yang terhambat, tersumbat dan meluap ke daratan.

Masih Layak Sebagai Tempat Tinggal?

Meski dengan kondisi lingkungan yang seperti ini, tak bisa dipungkiri, Jakarta masih menjadi pilihan utama banyak orang. Warga memilih tinggal di Jakarta biasanya karena banyak alasan dari mulai pekerjaan, karena ada peluang usaha yang lebih baik, gaji yang lebih besar hingga infrastruktur yang lebih lengkap.

Kerasnya kehidupan Ibu Kota tak menjadi penghalang. Beberapa bagian potret Jakarta dengan kehidupan yang keras sudah tergambarkan dalam banyak film. Salah satunya direpresentasikan dalam film ‘Jakarta Vs Everybody’ dibintangi Jefri Nichol yang menggambarkan kerasnya kehidupan di Jakarta.

Tak heran karena begitu banyak persoalan yang ada di kota besar ini juga berpengaruh terhadap tingkat kesehatan mental warganya. Sebuah penelitian menjelaskan, tinggal di kota besar bisa meningkakan risiko depresi sebesar 40 persen, anxiety atau kecematan 20 persen, dan dua kali lipat risiko skizofrenia, kesepian, dan juga stres.

Dengan kondisi seperti ini, apakah Jakarta masih layak kita tinggali? Jakarta adalah kota dengan penduduk terbanyak di Indonesia, dengan jumlah hampir 11 juta penduduk. Angka ini cukup fantastis sebenarnya kalo dibandingkan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Karena itu memiliki problematika yang luar biasa kompleks.

Gubernur Anies malah pernah mengatakan, kepadatan penduduk Jakarta itu sebenarnya 118 kali lipat lebih besar daripada rata-rata nasional. Jadi, sudah udaranya tidak sehat, langganan banjir, padat penduduk, macet parah, harga rumah mahal, serta kehidupan yang keras. Dengan risiko sebesar itu, apakah Jakarta sekarang masih layak untuk ditinggali?

Untuk menjawab pertanyaan itu, ada beberapa indikator yang membuat sebuah kota disebut layak atau tidak sebagai tempat tinggal. Ini disebut ‘Most Livable City Index’. Indikator itu di antaranya, ketersediaan sarana kebutuhan dasar seperti rumah, air, listrik dan sebagainya. Juga, ada fasilitas publik, transportasi, taman kota, fasilitas buat beribadah, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Faktor lainnya adalah ketersediaan ruang publik dan tempat berinteraksi masyarakat. Yang juga tidak kalah pentinya soal tingkat kriminalitas, apakah aman atau tidak. Berikutnya adalah dukungan fungsi ekonomi, sosial, dan budaya dan terakhir adalah sistem sanitasi yang baik.

Jakarta memang sudah memenuhi indikator-indikator tersebut meskipun masih belum bisa dibilang nyaman secara keseluruhan dari indikator itu. Bisa jadi hidup di kota-kota kecil lebih nyaman daripada tinggal di kota besar.

Ini pula yang mendasari banyaknya bermunculan kawasan pemukiman baru di daerah-daerah sekitar Jakarta. Tapi di sisi lain, pindah ke kota kecil juga tidak serta merta membuat hidup bebas dari masalah. Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Sepertinya Anda masih lebih memilih tinggal di Jakarta sambil berharap kondisi lingkungan menjadi lebih baik kan? [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button