Ketidakhadiran Presiden Jokowi di acara penutupan, wajar dikaitkan publik dengan serenceng masalah yang mengekor pelaksanaan pesta olahraga empat tahunan yang tampaknya sudah hilang pamor tersebut.
Jika bahasa Melayu menyebut olahraga dengan “Sukan”, bagi Urang Sunda “Sukan-sukan” adalah kata untuk menggambarkan suasana gembira, riang, penuh suka cita. Namun tampaknya tak ada kegembiraan di Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI, yang berlangsung di Aceh dan Sumatera Utara itu. Setidaknya bagi Tim Bola Voli Putra Jawa Barat. Bahkan hanya untuk berlatih, mereka harus mengepel lantai lapangan lebih dulu.
“Sebelum berlatih, kami harus mengepel dulu, dan fasilitas (kamar mandi) pun nggak ada,”kata Pelatih Tim Voli Putra Jawa Barat, Samsul Jais, kepada wartawan, Selasa (10/9/2024). “Tapi saya instruksikan, pada situasi apa pun Jawa Barat harus tetap fight dan memberikan yang terbaik,”kata Samsul. Kita harus berterima kasih pada Samsul, tentu. Persoalannya, bukan itu masalahnya. Ini tentang bagaimana menanggapi pihak yang alpa bekerja keras dan benar, sehingga pekerjaan telantar hingga waktu pelaksanaan datang. Seperti keluhan Samsul—yang tak bermakna Asam Sulfat—tadi, yang terpaksa harus berlatih di GOR Bola Voli yang belum rampung.
“Fasilitas di sini benar-benar tidak memadai, lapangan kotor, kami harus membersihkannya sendiri. Ini sangat tidak profesional bagi sebuah ajang sebesar PON,” Samsul menambahkan.
Dana? Tentu saja sudah terkucur lancar. Konon, pemerintah telah menggelontor-kan dana sebesar Rp811 miliar untuk di Aceh saja, untuk 18 venue yang harus dibangun, direhabilitasi, atau setidaknya direnovasi di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Tengah. Sementara, Kementerian Pemuda dan Olahraga juga mengatakan mengalokasikan dana sekitar Rp516 miliar lainnya untuk menyukseskan pelaksanaan PON di dua provinsi itu, baik untuk pertandingan dan kebutuhan panitia, hingga upacara pembukaan dan penutupan.
Bahkan, belakangan diketahui angkanya lebih dari itu. Total anggaran PON tersebut disebut-sebut mencapai hampir Rp4 triliun. Angka yang terlalu besar untuk kualitas penyelenggaraan yang begitu buruk hingga memancing keluhan banyak pihak. Menpora Dito menyebutkan, dana yang tersedot mencapai Rp2,24 triliun dari APBN dan Rp1,70 triliun dari APBD. Meski demikian, ia menekankan bahwa tanggung jawab penuh berada di tangan pemerintah daerah sebagai penyelenggara lokal.
![Presiden Jokowi saat membuka Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatera Utara (Sumut) 2024, di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh, Senin (9/9/2024) malam.](https://i0.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/09/Jokowi_pembukaan_pon_aceh_sumut_0927105276.jpeg)
Bukan hanya urusan fasilitas dan sarana yang menjadi keluhan pesta olahraga yang telah berakhir akhir pekan lalu itu. Sejatinya, banyak masyarakat yang baru “ngeuh” bahwa PON tengah berlangsung, justru dari keluhan yang marak di media sosial. Itu juga terjadi karena pemberitaan seputar PON kemarin ibarat iklan sebuah merk mobil di masa lalu, ”Nyaris tak terdengar…”
Senin (9/9/2024), akun TikTok seorang atlet asal Lampung, @hadi_hfc, membagikan rekaman berdurasi 36 detik. Rekaman saat ia membuka nasi kotak berisi nasi, beserta sejumlah lauk, seperti tumis buncis, dua buah tempe potongan kecil, sepotong ikan, dan sepotong ayam goreng serundeng. “Ya, begitulah,” kata si empunya akun, menutup video tersebut. Komentar atas rekaman itu umumnya mengaku miris.
“Daging ayam nya sekali HAP ludes,” kata salah satu warganet, kami kutip verbatim. Sementara yang lain berkomentar, “Fungsi mo*ogi (satu merek kudapan–red) buat apa??? Atlet disuruh makan mo*ogi???”
Itu bukan yang paling ‘’parah”, karena pada Jumat (13/9/2024) banyak kontingen dan atlet PON Aceh-Sumut melakukan protes soal konsumsi. Tidak hanya sering terlambat diantar, makanannya juga dianggap tidak layak dimakan karena basi, selain porsi yang dianggap kurang. Keberadaan keluhan yang ramai-ramai disebar lewat media sosial itu, Ketua Bidang Konsumsi Pengurus Besar (PB) PON Wilayah Aceh, Diaz Furqan, mengakuinya.
“Kami memohon maaf atas beberapa kendala. Namun begitu, perbaikan dan evaluasi cepat kami lakukan,” kata Diaz pada wartawan, Rabu (11/9/ 2024). Tak hanya itu, bahkan Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo pun langsung turun tangan mengecek kondisi tersebut. Ia bahkan menjanjikan evaluasi, sehari sebelumnya. “Ini akan jadi catatan dan evaluasi,” kata Dito, saat jumpa pers di Media Center PON di Hotel Hermes, Banda Aceh, Minggu (8/9/2024).
Kondisinya kemudian lebih baik? Tampaknya tidak. Soalnya, pada akun Instagram @fakta.indo, yang dilansir Senin (16/9/2024), sebuah video memperlihatkan kotak kudapan atlet. Isinya roti dan….santan kemasan!
Unggahan itu pun mendapat banyak komentar pedas warganet. “Ini baru PON, belum lagi KLIWON. Paling jajanannya kembang 7 rupa,” komentar seorang warganet, kami kutip verbatim. “Udah bener itu, sun karanya pengganti susu.. Lejat dan bergiji.,” sahut warganet lain. “Lengah dikit, disuruh sedot santan,” sindir netizen lain sembari membubuhkan emoticon menangis.
Kondisi itu wajar membuat sebuah LSM, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), menduga konsumsi untuk atlet dan kontingen PON XXI itu dikorupsi. Koordinator MaTA, Alfian, mengatakan, berdasarkan dokumen yang didapatnya, per satuan harga nasi kotak untuk atlet PON itu Rp50.900, dengan total Rp30,8 miliar untuk seluruh atlet. Sementara untuk kydapan, harga satuannya Rp18.900, dengan total biaya Rp11,4 miliar. Alfian mengatakan, dana pengadaan konsumsi itu bersumber dari pemerintah pusat dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), dengan total anggaran mencapai lebih dari Rp42 miliar.
Itu yang membuat MaTA langsung mendesak agar Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit investigasi terkait dugaan mark-up anggaran konsumsi PON XXI. “Kalau kita lihat fakta di lapangan, ada potensi mark-up harga. Kami menduga ini sudah terjadi sejak perencanaan,” kata Alfian.
Atap Venue Roboh
Lebih buruk lagi, pada 17 September atap stadion cabang olahraga menembak di Mata Ie, Aceh Besar, roboh saat pertandingan sedang berlangsung. Untung saja tak ada korban jiwa pada insiden yang memalukan itu. Rafi Arofah Dirgantari, seorang atlet asal Jawa Timur, bercerita. “Awal mulanya, atap cuma bocor. Pas stafnya nyopotin kabel, tiba-tiba atapnya ambruk,” kata Rafi.
![Kondisi saluran talang air lapangan tembak indoor 10 meter yang ambruk akibat hujan ekstrem](https://i0.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/09/Whats_App_Image_2024_09_17_at_12_28_25_11012cdb2a.jpeg)
Meski tidak ada korban jiwa, insiden tersebut membuat pertandingan harus dihentikan, dan seluruh atlet dipulangkan ke hotel masing-masing. Hal itu secara telanjang menunjukkan ketidaksiapan panitia dari sisi infrastruktur, yang mestinya sudah selesai sebelum acara dimulai.
Ketua Panitia Besar (PB) PON Wilayah Sumut, Agus Fatoni, tidak menampik adanya kekurangan dalam penyelenggaraan PON itu. Pada sebuah wawancaranya, 11 September lalu Agus menyatakan, sebenarnya semua sudah siap. “Menjelang pelaksanaan ini, ada Mabes Polri memeriksa semua venue. Ada risk management, dicek satu per satu apa risikonya, dan yang harus dilakukan. Itu yang kami benahi. Kesimpulannya, di Sumut secara umum sudah siap semuanya. Namun ada yang harus dilengkapi,” kata Agus. Secara tersirat, pernyataan itu menegaskan bahwa masih ada—kalau kata “banyak” berarti lain—hal yang masih perlu diperbaiki, bahkan hingga acara sudah dimulai.
Agus juga menanggapi masalah jalan becek yang viral di media sosial, terutama akses ke GOR Bola Voli Indoor Sumut. “Itu (jalan becek) di bagian belakang memang belum siap, dan (saat itu) terjadi hujan. Kalau dari depan sudah siap,” ujar Agus. Tentu saja, alasan itu tidak mampu meredam kekecewaan publik atas buruknya fasilitas di beberapa venue PON.
Hingga Menpora Dito Ariotedjo juga angkat bicara mengenai situasi yang memalukan itu. Pada 12 September 2024, ia menyampaikan permohonan maaf secara terbuka, “Ini memang saya harus mohon maaf. Mungkin ini ada koordinasi yang sangat besar dan agak delay waktunya,” ucap Dito di Kompleks Parlemen, Senayan. Menpora juga menambahkan bahwa pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki kondisi venue yang bermasalah, “Kami sudah tidak melihat tugas di mana kita (harus) langsung turun tangan. Setelah saya dari Aceh, itu minta tolong Pak Menteri PUPR segera membantu. Dan Alhamdulillah, baik dari infrastruktur pendukung, akses, dan juga stadion, semuanya sudah dikebut, ” kata Menpora.
Berkaitan dengan dugaan adanya korupsi yang dikemukan banyak pihak, Menpora menegaskan bahwa koordinasi dengan penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri, telah dilakukan untuk memastikan tidak adanya penyelewengan anggaran. “Kebetulan Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri menjadi Satgas pendampingan tata kelola penyelenggaraan PON dalam Keppres No 24 tahun 2024,”kata Menpora.
Tenang, Korupsi Itu Hal Biasa…
Jika pemerintah terkesan biasa-biasa saja menanggapi keluhan penyelenggaraan PON XXI, hingga Menpora pun memberi nilai 8,5 pada skala 10 untuk pelaksanaannya, mungkin sikap itu benar adanya. Kalau pun benar ada korupsi, bukankah korupsi memang sudah begitu biasa dalam kehidupan bangsa kita?
![Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Menpora RI) Dito Ariotedjo.](https://i1.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/09/3712_Menpora_Dito_Pastikan_Penutupan_PON_XXI_Aceh_Sumut_2024_Siap_Digelar_e714f9490b.jpg)
Bukankah masyarakat kita pun sudah terbiasa mendengar kasus-kasus korupsi hingga ratusan triliun rupiah besarnya? Kalau hanya triliunan rupiah, mungkin sekarang sudah dianggap “peanut” alias enteng saja di masyarakat kita, bahkan oleh kalangan miskin yang memimpikan memegang uang semiliar pun belum tentu berani.
Dengan “logika dengkul” seperti itu, kegagalan penyelenggaraan PON ya memang harus disikapi biasa. Apalagi, negara maju macam Amerika Serikat dan Jerman pun pernah mengalaminya. Olimpiade St. Louis 1904, misalnya, yang dianggap sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah Olimpiade.
Kala itu, event ini berantakan karena kurangnya koordinasi, buruknya fasilitas, serta kesalahan manajemen yang menyebabkan banyak atlet mengalami kebingungan. Dugaan adanya korupsi pun meruyak. Demikian pula Olimpiade Berlin 1936, yang meskipun diselenggarakan dengan infrastruktur megah, dianggap buruk karena justru digunakan sebagai alat propaganda politik oleh Nazi yang berkuasa saat itu.
Untung saja Hitler justru dipermalukan dalam Olimpiade itu: sebagaimana pun atlet kulit hitam dan berwarna didiskriminasi, atlet AS, Jesse Owens, justru merajainya dengan memenangkan empat medali emas: 100 meter, lompat jauh, 200 meter, dan estafet 4 × 100 meter. ESPN saat itu menyebut Owens, ”berhasil menghancurkan mitos Hitler tentang supremasi Arya” dalam Olimpiade itu.
Apalagi di negara berkembang. Tengok saja All-Africa Games 2003 di Abuja, Nigeria, sebagai contoh paling mencolok. Persiapan yang kurang matang, infrastruktur yang belum siap, dan dugaan korupsi mewarnai acara tersebut.
Seorang pimpinan kontingen Nigeria—tuan rumah!— kepada media nasional, Vanguard, mengeluh. “Perkampungan atlet (Village Games) adalah tempat besar yang dipenuhi berbagai jenis masalah. Ventilasi buruk di hampir semua kamar. Kamar mandi bermasalah. Sekian banyak penghuni berpindah dari satu kamar ke kamar lain untuk mencari fasilitas yang mereka anggap layak,” kata dia.
Sebagaimana panitia PON XXI, seorang pejabat Comite d'Organization des jeux Africaine, atau dalam bahasa Inggris Committee for the Organisation for the African Games (COJA), alias panitia penyelenggara All Africa Games 2003, bilang,”Kami sudah siap!”, beberapa hari sebelum pelaksanaan.
Bisakah publik berharap ada pengadilan digelar untuk skandal-skandal penyelenggaraan pesta-pesta olahraga seperti itu? Tampaknya kita masih harus berkhayal sekian dekade ke depan. Tak ada satu pun panitia Olimpiade St Louis 1904 atau Olimpiade Berlin 1936—dua momen Olimpiade terburuk—pernah menghadapi Meja Hijau.
Memang, pernah ada kasus yang naik ke taraf penyidikan, yakni Olimpiade Musim Dingin 2002 di Salt Lake City, AS. Panitia pesta olahraga itu terbukti terlibat skandal besar suap untuk memenangkan hak sebagai tuan rumah. Tom Welch dan Dave Johnson, dua pejabat kunci Olimpiade Musim Dingin itu, memang sempat diadili. Tapi, keduanya kemudian dibebaskan dari semua tuduhan. Biasanya, hal-hal degil yang terjadi di negara-negara besar seperti itu, suka dijadikan pembenaran atas hal-hal busuk yang terjadi d dalam negeri.
Namun, tentu saja publik jangan kehilangan asa alias harap. Wakil Ketua Komisi X DPR. Dede Yusuf, sendiri menegaskan agar kasus ini tidak menguap begitu saja. “Pasti harus ada sanksi. Sanksi bisa berupa administratif, tapi kalau ada indikasi seperti pemotongan atau korupsi, ya tentu permasalahan hukum harus masuk,” ujar Dede.
Tapi bahwa PON XII sendiri bermasalah, itu sudah ditegaskan sikap Prrsiden Jokowi. Dengan begitu banyak masalah yang mencoreng nama baik PON, tidak heran jika Presiden Jokowi memilih absen dari upacara penutupan PON 2024. Sebuah sinyal bahwa mungkin ada rasa malu yang dirasakan oleh pemerintah atas penyelenggaraan yang sangat jauh dari kata sukses.
“Yang (ke penutupan PON) Pak Menko PMK, ya,” kata Jokowi, usai blusukan ke Pasar Dukuh Kupang, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (20/9/2024) lalu. Apa pun alasannya, yang jelas Presiden ogah datang.
[dsy/ vonita betalia/diana rizky oktaviani]