Posisi Tawar Indonesia, Strategi Hadapi Kebijakan Tarif AS


Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 8 April lalu memaparkan strategi pemerintah menghadapi gelombang tarif perdagangan Amerika Serikat dalam forum Silaturahmi Bersama Presiden. Strategi yang ditawarkan sangat berhati-hati. Pemerintah memilih jalur defensif: mempercepat reformasi fiskal, deregulasi perpajakan, dan optimalisasi trade diversion. Strategi ini memang tampak wajar untuk menjaga stabilitas. Namun, dalam lanskap perdagangan global yang semakin sarat dengan praktik koersif, itu tidak cukup untuk membangun posisi tawar Indonesia.

Dalam dokumen tersebut, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah mengutamakan jalur diplomasi guna menurunkan ketegangan tarif. Namun, di tengah meningkatnya tren unilateralisme Amerika, sekadar menunggu hasil negosiasi bisa membuat Indonesia berada di posisi yang rentan. Pada titik inilah, gagasan Suryani Motik dalam artikelnya “Dirtylateral: Fair Trade ala Trump?” menawarkan perspektif yang lebih realistis sekaligus strategis.

Suryani Motik, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, memperingatkan agar pemerintah tidak lagi bersikap pasif atau sekadar menunggu hasil negosiasi. Indonesia, tegasnya, harus mengambil langkah berani dengan menerapkan hambatan nontarif yang efektif untuk melindungi kepentingan nasional. Pandangan ini sejalan dengan teori realisme dalam ekonomi politik internasional, yang melihat negara sebagai aktor rasional dalam dunia tanpa otoritas tertinggi dan tanpa kepastian keadilan perdagangan.

Pertama, melakukan banned ekspor CPO ke AS bukan semata langkah reaktif, tetapi ofensif yang terukur. Dalam kerangka realisme, ini adalah penggunaan kekuatan ekonomi untuk melindungi dan memajukan kepentingan domestik, yakni penguatan hilirisasi biodiesel dalam negeri. Indonesia sebagai salah satu produsen sawit terbesar dunia memiliki leverage besar yang selama ini kurang dimanfaatkan secara maksimal. Dengan memutuskan saluran ekspor ke AS, Indonesia tidak hanya mengirim sinyal politik kuat, tetapi juga memacu substitusi energi domestik yang lebih mandiri.

Kedua, mengambil langkah banned impor susu, jagung, dan daging sapi AS sambil membangun kemitraan dengan Selandia Baru juga merupakan langkah cerdas dalam logika power balancing. Dalam teori realisme, diversifikasi mitra dagang tidak sekadar soal mencari harga terbaik, tetapi memperkuat posisi tawar dalam menghadapi dominasi satu kekuatan besar. Selandia Baru secara geografis lebih dekat, menawarkan efisiensi logistik, serta memiliki intensi kuat untuk memperdalam hubungan perdagangan dengan Asia Tenggara.

Ketiga, melakukan pembelian produk migas dari Rusia memperjelas peta keberpihakan energi Indonesia dalam realitas multipolar saat ini. Ketika Barat melakukan isolasi ekonomi terhadap Rusia, langkah Indonesia justru bisa memberikan ruang untuk mendapatkan harga lebih kompetitif sambil memperkuat ketahanan energi nasional. Sekali lagi, ini adalah penerapan prinsip realisme: negara harus mencari aliansi pragmatis demi kepentingan nasionalnya, tanpa terjebak dalam dikotomi geopolitik Barat versus Timur.

Keempat, melakukan percepatan local currency transaction, eksplorasi borderless payment, bahkan penggunaan bitcoin dalam perdagangan internasional. Tindakan ini mencerminkan respons strategis terhadap weaponization dolar AS. Amerika tidak hanya menggunakan tarif sebagai alat politik, tetapi juga dominasi dolar sebagai senjata finansial global. Upaya de-dollarisasi ini akan memperkecil eksposur Indonesia terhadap fluktuasi eksternal dan meningkatkan kedaulatan transaksi keuangan.

Dibandingkan pendekatan pemerintah yang menekankan reformasi internal, strategi Suryani Motik menawarkan kecepatan respons sekaligus sinyal tegas kepada AS dan mitra dagang lainnya. Kelebihan strategi ini adalah sifatnya yang langsung dan nyata. Sementara pemerintah berharap pada hasil negosiasi yang belum pasti, langkah ofensif seperti ini dapat memaksa AS untuk mengkalkulasi ulang strateginya terhadap Indonesia.

Namun, harus diakui, strategi ofensif ini memerlukan kesiapan domestik yang matang. Gangguan pasokan akibat banned impor dari AS, misalnya, harus segera diantisipasi dengan penguatan produksi dalam negeri dan percepatan peralihan mitra dagang. Pemerintah perlu memastikan bahwa industri pangan dan energi domestik siap menyerap pergeseran ini tanpa menimbulkan gejolak harga di pasar domestik.

Mitigasi terhadap potensi disrupsi juga mencakup penyediaan pembiayaan murah bagi pelaku usaha yang terdampak, percepatan logistik untuk impor alternatif, serta penguatan komunikasi publik guna menjaga kepercayaan pasar. Lebih jauh, task force lintas kementerian harus dibentuk untuk memastikan sinergi antara kebijakan perdagangan, fiskal, energi, dan keuangan.

Dalam logika realisme, tidak ada ruang bagi sikap setengah hati dalam menjaga kepentingan nasional. Negara yang kuat adalah negara yang berani memanfaatkan seluruh instrumen kekuasaannya untuk bertahan dan menang dalam kompetisi global. Jika Indonesia ingin lepas dari jebakan negara pasar yang selalu bergantung pada kemauan negara besar, maka langkah ofensif yang diusulkan Suryani Motik bukan hanya layak dipertimbangkan, tetapi harus diprioritaskan.

Apalagi, pendekatan ini sejalan dengan tren global di mana negara-negara besar seperti Tiongkok, India, dan Rusia sudah lebih dulu menempuh jalur yang sama: menyeimbangkan kekuatan domestik dengan langkah koersif dalam perdagangan internasional. Indonesia, dengan kekuatan pasar domestik yang besar dan posisi strategis di Asia Tenggara, memiliki semua syarat untuk melakukan hal serupa.

Akhirnya, pilihan kita bukan sekadar antara defensif atau ofensif, melainkan bagaimana meramu keduanya dalam satu paket kebijakan yang utuh. Pemerintah memang harus melanjutkan reformasi struktural untuk daya saing jangka panjang. Namun, dalam jangka pendek, Indonesia memerlukan jurus yang lebih keras untuk memaksa AS menghormati kepentingan kita. Seperti yang ditegaskan realisme: dalam arena global, hanya negara yang berani memanfaatkan kekuatannya yang akan dihormati.