Komisi VIII DPR RI bersama Kementerian Agama (Kemenag) telah mencapai kesepakatan penting terkait Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) untuk tahun 2024, pada Senin (27/11/2023). Keputusan ini, yang menetapkan BPIH sebesar Rp93,4 juta per jemaah, dinilai merupakan langkah strategis untuk menghindari potensi skema Ponzi dalam pengelolaan dana haji. Dari total biaya ini, Rp56 juta akan ditanggung oleh jemaah haji, sementara sisanya, sekitar Rp37 juta, akan dibiayai melalui nilai manfaat yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Menurut Ketua Komnas Haji dan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Mustolih Siradj, ini merupakan upaya signifikan untuk merasionalisasi dan menyehatkan tata kelola dana haji. “Dengan jumlah jemaah haji sekitar 219.463, total nilai manfaat yang harus disediakan mencapai Rp8,2 triliun,” ungkapnya dalam keterangan tertulis kepada inilah.com, Selasa (28/11/2023).
Pengaturan ini mengikuti pola pembayaran yang terbagi menjadi 60% dari jemaah dan 40% dari nilai manfaat. Menariknya, jemaah haji reguler hanya akan membayar Rp21 juta, mengingat mereka sudah membayar uang setoran awal sebesar Rp25 juta saat mendaftar.
Pemahaman postur BPIH 2024 Masehi/1445 Hijriyah menunjukkan bahwa penggunaan dana dari nilai manfaat terus dikurangi secara bertahap. Hal ini berimbas pada peningkatan beban biaya yang harus ditanggung oleh jemaah haji.
“Ketimpangan dalam tata kelola keuangan haji, terutama antara dana distribusi nilai manfaat untuk jemaah yang berangkat dan yang masih menunggu, telah menjadi perhatian serius,” jelasnya.
Sejauh ini, terdapat ketidakseimbangan yang mencolok antara distribusi nilai manfaat yang diberikan kepada jemaah haji yang berangkat dibandingkan dengan mereka yang masih antre. Saat ini, ada sekitar 5,2 juta jemaah haji yang telah mendaftar, dengan dana terkumpul sebesar Rp165 triliun yang dikelola oleh BPKH.
Data historis nilai manfaat yang diberikan kepada jemaah haji yang berangkat sejak pendirian BPKH pada tahun 2017 menunjukkan adanya disparitas yang signifikan dibandingkan dengan jemaah haji yang menunggu. Penyebaran dana ini dianggap mirip dengan skema Ponzi, di mana jemaah haji yang menunggu ‘dipaksa’ menanggung subsidi kepada jemaah yang berangkat.
“Jika format subsidi ini berlanjut, akan ada risiko dana haji habis hanya untuk subsidi hingga tahun 2027,” tambah Mustolih. Munculnya ancaman inflasi, depresiasi mata uang, dan kenaikan komponen biaya haji yang diharapkan terus meningkat, menambah urgensi reformasi ini.
Tata kelola keuangan haji, oleh karenanya, harus terus diperbaiki. Siradj menegaskan pentingnya merasionalisasi dan menyeimbangkan pembagian nilai manfaat secara adil dan proporsional antara jemaah haji yang berangkat dan yang akan berangkat di masa mendatang.
Kesepakatan BPIH yang diambil oleh Komisi VIII dan Kemenag ini tidak hanya menjaga keseimbangan dan kesehatan dana haji, tetapi juga sebagai upaya serius untuk menyelamatkan tata kelola dana haji dari jebakan sistem Ponzi. Reformasi ini diharapkan dapat menjadi langkah awal yang signifikan untuk memastikan keberlangsungan dana haji bagi generasi mendatang.
Leave a Reply
Lihat Komentar