News

Presiden Jokowi Dimakzulkan, Bisakah?

Dua hari belakangan ini, publik menyoroti munculnya surat terbuka dari Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana yang mendesak DPR untuk memulai proses impeachment atau pemakzulan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dikutip dari laman Twitter pribadinya, melalui akun @dennyindrayana menyebutkan bahwa dirinya memiliki bukti awal yang berasal dari kesaksian seorang tokoh bangsa yang pernah menjadi wakil presiden (wapres).

“Saya berpendapat, Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment (pemakzulan) karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pemilu 2024. Berikut adalah dugaan pelanggaran impeachment, yang dalam pandangan saya patut diselidiki oleh DPR melalui hak angket,” kata Denny melalui cuitannya di Twitter, dikutip Kamis (8/6/2023).

Ketiga alasan yang ia lontarkan adalah pertama, Jokowi telah menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menghalangi Anies Baswedan menjadi capres. Kedua, Presiden Jokowi membiarkan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, mengganggu kedaulatan Partai Demokrat, dan ujungnya pun menyebabkan Anies Baswedan tidak dapat maju sebagai capres dalam Pilpres 2024.

“Tiga, Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres-cawapres menuju Pilpres 2024,” lanjut Denny.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin menilai pemakzulan atau pelengseran terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi), akan sulit dilakukan saat ini.

“Ya sulit memang terkait dengan pemakzulan itu, apa yang disampaikan Denny Indrayana itu, ya sebagai bagian dari dinamika demokrasi ya katakanlah, bagian daripada elemen masyarakat gitu yang keras mengkritik agar Jokowi dimakzulkan,” ujar Ujang kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Kamis (8/6/2023).

Menurut pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia ini, sulitnya Jokowi dimakzulkan juga karena parlemen sudah diisi oleh 80 persen pendukung koalisi pemerintahan Jokowi.

“Jadi dalam konteks pemakzulan juga ya harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi juga atas usulan dari DPR, kan begitu. Tapi DPR-nya kelihatannya enggak (mungkin memakzulkan Jokowi) lah, karena kan syarat-syarat pemakzulan juga masih subjektif gitu, tidak memenuhi syarat pemakzulan itu,” tutur Ujang.

“Untuk pemakzulan kan sudah ada ketentuannya, sudah ada dalam UUD tinggal dicek saja, dilihat saja memenuhi unsur atau tidak,” sambungnya.

Ia menyebut bahwa desakan yang keluar dari Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana ini, mungkin karena sudah gusar dengan kondisi hukum dan politik di Indonesia saat ini.

“Mungkin sebagai akademisi, sebagai rakyat, sebagai lawyer dia gregetan terkait dengan persoalan hukum dan politik, yang makin hari makin tidak jelas sehingga dia meminta DPR (dengan) membuat surat terbuka untuk memakzulkan Jokowi,” ungkap Ujang.

Lebih lanjut Ujang juga menenkankan bahwa pemakzulan menjadi hal yang mustahil karena berbagai kebijakan Jokowi yang dianggap tidak pro-rakyat saja. “Memakzulkan tidak mungkin, apalagi dalam konteks saat ini,” tegas Ujang.

“Susah untuk dimakzulkan, apalagi banyak Ketum partai-partai koalisi Jokowi juga tunduk patuh kepada Jokowi seperti itu,” tambah Ujang menegaskan kembali.

Sebelumnya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai bahwa pemakzulan yang dinyatakan oleh Denny Indrayana hanya menggunakan sudut pandang Guru Besar Hukum Tata Negara itu sendiri.

“Beliau ini kan sosok akademis, ya harus berbicara menggunakan kerangka berpikir intelektual, jangan berbicara tentang perasaan, apalagi berbicara tentang pemakzulan,” tegas Hasto di Sekolah Partai PDIP, Jakarta Selatan, Selasa (6/6/2023).

Ia menyebut bahwa dalam sistem politik Indonesia, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga memiliki legitimasi dan legalitas yang begitu kuat. “Tidak bisa diberhentikan di tengah jalan, tentu harus melalui mekanisme yang tidak mudah sehingga harus paham bung Denny, terhadap sistem politik kita,” ujarnya.

Terkait hal ini, Hasto banyak mengajak Denny untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2009 yang menurutnya ada sebuah instrumen negara yang digunakan pada kekuasaan saat itu. “Ketika instrumen negara digunakan, sehingga ada parpol yang bisa mencapai kenaikan 300 persen.

Kalau PDIP ini kan kemarin naiknya hanya satu, berapa lah, 8 persen, itu pun dengan berbagai upaya kerja 5 tahun,” ungkap Hasto. “Nah sehingga jangan lah apa yang dulu dilakukan oleh pak Denny Indrayana merupakan bagian dari rezim pemerintahan saat itu, kemudian dipersepsikan akan terjadi pada pemerintahan pak Jokowi yang sudah teruji dalam komitmen menjaga demokrasinya,” lanjutnya.

Dirinya pun menyinggung Jokowi adalah sosok pemimpin yang menyukai dialog dan tidak memiliki dendam politik, sehingga Denny tidak boleh menakut-nakuti rakyat dengan hal-hal seperti ini. “Karena itulah kami justru meminta pak Denny Indrayana, silakan ungkap apa yang terjadi pada tahun 2009, karena disitulah justru terjadi suatu penyalahgunaan kekuasaan secara masif untuk kepentingan elektoral,” ujarnya.

Hasto menekankan bahwa baik Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Jokowi sebagai sosok yang memahami sistem politik berdasarkan Pancasila, sehingga tak menggunakan instrumen negara dalam menghadapi lawan politiknya.

“Presiden Jokowi cawe-cawe demi loncatan kemajuan agar bonus demografi yang akan terjadi 13 tahun lagi itu, betul-betul dapat dipersiapkan dengan sebaik-baiknya sehingga kita menjadi bangsa yang hebat,” tegas Hasto.

“Dan di sini kami menegaskan (pada) Rakernas ini, mengukuhkan rakyat PDIP sebagai pemersatu untuk mengedepankan dialog, untuk merangkul, bukan membuat politik yang sifatnya eksklusif, tapi politik yang sifatnya inklusif untuk kepentingan bangsa negara, itulah cawe-cawe yang juga dilakukan PDIP,” sambung Hasto.

Definisi, syarat, mekanisme, dan contoh

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan bahwa makzul adalah berhenti memegang jabatan; turun takhta. Sedangkan memakzulkan, bisa berarti menurunkan dari takhta, memberhentikan dari jabatan; meletakkan jabatannya sebagai raja; berhenti sebagai raja.

Pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tidak terdapat kata makzul atau pemakzulan, melainkan menggunakan istilah diberhentikan, pemberhentian. Mengenai alasan dan proses pemakzulan ini, tertuang pada Pasal 7A dan 7B UUD 1945.

Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa pemberhentian ini bisa dilakukan oleh Majelis Dewan Permusyawaratan (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden.

Lalu pada Pasal 7B UUD 1945 pada ayat (1) menjelaskan bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR, dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK), untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa sudah terbukti dan memenuhi syarat sesuai alasan pemberhentian yang terdapat pada Pasal 7A.

Di Indonesia sendiri, ternyata pemakzulan Presiden ini pernah terjadi, yakni saat Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4 sejak 20 Oktober 1999.

MPR melengserkan Gus Dur dari jabatannya pada 23 Juli 2001 dengan alasan telah menyelewengkan dana dan menyalahgunakan kekuasaannya. Pada laporan dari Panitia Khusus (Pansus) DPR, Gus Dur diduga menggunakan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar 4 juta dollar AS.

Selain itu, dirinya juga diduga menggunakan dana bantuan dari Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. Berdasarkan tuduhan ini, Gus Dur dianggap telah melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Penyebab lainnya Gus Dur dilengserkan juga adalah karena timbulkan konflik antara dirinya dengan DPR dan MPR kala itu, hingga keluarnya Dekrit Presiden 23 Juli 2001. Di mana isi dekrit ini memuat mengenai pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, serta pembekuan Partai Golkar.

Tak hanya itu, saat menjabat diketahui Gus Dur juga telah memberhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR, sehingga MPR menetapkan bahwa dirinya melanggar Tap MPR No. III/MPR/2000.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button