Market

Pengusaha dan Buruh Tak Sepakat, Apa Itu Sistem ‘No Work No Pay’?

Beberapa sektor industri terutama yang bersifat padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki mulai dibayangi ancaman resesi. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun mulai terjadi. Pengusaha mengusulkan sistem kerja ‘no work no pay‘ sebagai solusi. Sikap buruh? Jelas menolaknya mentah-mentah.

Usul menggunakan sistem kerja ‘no work no pay‘ (tidak bekerja tidak dibayar) ini muncul dari Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit. Ia mendesak pemerintah membantu meminimalisir risiko PHK dengan mengatur fleksibilitas jam kerja sesuai prinsip ‘no work no pay‘.

Menurut Anton, jika ada aturan tersebut, maka saat industri sedang lesu, pekerja tidak lantas kehilangan pekerjaan. “Masalah PHK ini menurut kami itu sangat serius, jadi harus antisipasi. Oleh karena itu bisa nggak dipertimbangkan, yaitu harapan kami agar ada satu Permenaker yang mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip ‘no work no pay‘,” kata Anton saat Rapat Kerja Kemnaker bersama Komisi IX DPR, Selasa (8/11/2022).

Seperti diketahui, sektor industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki mulai terpengaruh dengan penurunan order hingga 50 persen. “Dengan order menurun 50 persen atau katakanlah 30 persen kita nggak bisa menahan, 1-2 bulan masih oke, tetapi kalau sudah beberapa bulan atau setahun saya kira pilihannya ya memang harus PHK massal,” ujar Anton.

Beberapa perusahaan pun telah melaporkan adanya PHK. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat selama periode Januari-September 2022, terdapat 10.765 buruh yang terkena PHK.

Asas ‘no work no pay

Asas ‘no work no pay‘ sebenarnya sudah sejak lama menjadi asas yang berlaku di dunia ketenagakerjaan. Asas ini termaktub pada Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa “upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”.

Hanya saja asas ini sering dijadikan ‘senjata’ bagi pengusaha untuk tidak membayar upah kepada karyawan yang tidak melakukan pekerjaannya sesuai yang disepakati dalam perjanjian kerja. Namun, sebenarnya asas ini tidak berlaku secara mutlak. Karena terdapat beberapa pengecualian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pengusaha tetap berkewajiban untuk membayar upah jika karyawan berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya atau bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kesalahan pengusaha sendiri atau kendala yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.

Karyawan yang dirumahkan memang tidak disebutkan secara tegas sebagai salah satu pengecualian dari asas tersebut. Namun, ‘karyawan yang dirumahkan’ termasuk pada kondisi bahwa karyawan tersebut sebenarnya bersedia melakukan pekerjaan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kehendak pengusaha.

Hal ini mengingat bahwa keputusan untuk merumahkan karyawan adalah kebijakan dari pengusaha itu sendiri, yang lebih memilih untuk ‘meliburkan atau membebaskan’ karyawan dari pekerjaannya. Sehingga gagalnya pelaksanaan pekerjaan tersebut ‘bukan karena kesalahan’ dari pihak karyawan, dan oleh karenanya asas ‘no work no pay‘ dapat dikecualikan.

Terlebih lagi, karyawan yang dirumahkan pada prinsipnya tetap mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha dan tidak dalam upaya pemutusan hubungan kerja. Sehingga apabila pengusaha tidak membayar upah kepada karyawan yang dirumahkan maka hal tersebut akan berpotensi menimbulkan perselisihan hak, yang dapat diajukan oleh karyawan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Sementara itu Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Ayunita Nur Rohanawati SH, MH mengungkapkan, hukum Ketenagakerjaan Indonesia mengenal asas ‘no work no pay‘ yang bermakna jika pekerja tidak bekerja, maka tidak akan mendapatkan upah.

Hal ini juga sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, pada Pasal 40 ayat (1). Pasal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada pekerja atas amanah pekerjaan yang dimilikinya di tempat kerja.

Ia melanjutkan, ketentuan tersebut harus dipahami lebih lanjut sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal-pasal lanjutan tentang adanya pengecualian kondisi terkait pemberlakuan ‘no work no pay‘ ini. Pada Pasal 40 ayat (2) dan (3) PP No 36 Tahun 2021 disebutkan bahwasanya pengecualian atas ‘no work no pay’ tersebut salah satunya dalam kondisi pekerja berhalangan melaksanakan pekerjaan karena sakit sehingga menyebabkan pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan.

“Pengecualian tersebut bermakna, pekerja tetap memperoleh haknya berupa upah walaupun tidak melaksanakan pekerjaan misalnya karena kondisi sakit,” kata Ayunita, mengutip situs Fakultas Hukum UII.

Sikap pekerja

Pekerja pun menolak dengan tegas usulan pengusaha soal ‘no work no pay‘ ini. Jika pemerintah mengamini permintaan dari pengusaha ini berarti melegalkan upaya pengusaha yang enggan membayar upah pekerja yang dirumahkan.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar menekankan bahwa ‘no work no pay’ telah diatur dalam pasal 93 ayat 1 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. “Bunyinya, upah tidak dibayar apabila pekerja/ buruh tidak melakukan pekerjaan. Jadi poinnya ‘no work no pay‘ kalau pekerja tidak mau kerja. Di luar ketentuan tersebut pekerja yang tidak boleh kerja harus tetap dibayar,” ujar Timboel, Kamis (10/11/2022).

Dalam ketentuan tersebut, contoh pekerja yang tidak boleh bekerja, tapi tetap dibayar seperti pekerja/ buruh yang sakit, melaksanakan hak istirahat, sakit pada hari pertama dan kedua haid. Selain itu, pekerja/ buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha juga tetap harus dibayar.

Menurut Timboel, apabila dalam kondisi ancaman resesi saat ini dan pengusaha mau merumahkan, maka sesuai ketentuan perusahaan tetap membayar upah dan iuran seluruh program jaminan sosial agar pekerja tetap terlindungi.

Sekalipun jalan terakhir harus melakukan PHK dan terjadi perselisihan, menurut pasal 157A UU Cipta Kerja, maka perusahaan pun harus tetap membayar upah sampai adanya putusan pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap.

“Selama ini pengusaha yang merumahkan pekerja tanpa dibayar upah adalah sebuah pelanggaran dan ini dibiarkan pemerintah. Saya kira permintaan adanya permenaker tentang ‘no work no pay‘ oleh pengusaha adalah agar upaya merumahkan tanpa membayar upah menjadi legal,” ujarnya.

Bagaimana sikap Pemerintah? Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Anwar Sanusi mengatakan, Pemerintah tengah membicarakan usulan dari pengusaha mengenai sistem ‘no work no pay‘. Ia menyebut, perlu banyak pertimbangan untuk membuat aturan ini karena melibatkan banyak pihak seperti pengusaha dan buruh atau pekerja.

“Ya artinya kalau permintaan mereka tentunya kita sedang godok, kita juga sedang pertimbangkan semuanya karena kan kalau kita berbicara masalah terkait ketenagakerjaan itu kan dari dua sisi harus kita perhatikan dari sisi pekerja, dari sisi pengusaha tentunya kita carikan solusi yang terbaik,” ujar Anwar kepada media di Jakarta, Kamis (10/11/2022).

Oleh karena itu, lanjutnya, Kemnaker melakukan adanya dialog sosial bipartit untuk menghindari PHK di tengah dinamika perekonomian. Pihaknya juga siap untuk mendampingi semua pihak tersebut dalam mencari win-win solution.

“Apapun lah, mudah-mudahan kita bisa tentunya mengantisipasi apapun dengan kebijakan sebaik-baiknya,” jelas Anwar. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button