News

Presidential Threshold Picu Masalah, Jokowi Belum Terlambat Terbitkan Perppu Pemilu

Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu guna menghapus presidential threshold (PT) Sebab, PT atau ambang batas pencalonan presiden saat ini sebesar 20 persen dianggap berkontribusi terhadap munculnya polarisasi terkait politik yang kerap membelah masyarakat.

“Kami setuju bahwa sumber sengkarut politik yang terjadi berakar karena penerapan PT ini. Karena itu masih belum terlambat jika Pak Jokowi menerbitkan Perppu Pemilu agar PT tak lagi menjadi penghalang,” kata Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani kepada Inilah.com, Senin (4/7/2022).

Kamhar menjelaskan, penerapan PT sebesar 20 persen mengakibatkan sedikitnya calon presiden (capres) yang bisa dipilih  masyarakat dalam pemilihan presiden. Sehingga, polarisasi masyarakat menjadi dua kubu berpotensi terjadi.

Menurut Kamhar, PT dapat mengancam persatuan Indonesia karena cenderung menjadi alat kendali para oligarki politik. Tujuannya untuk memuluskan skenario yang bertabrakan dengan konstitusi.

“Lagi pula konstitusi kita tidak mengenal presidential threshold. Bahkan Amerika yang menjadi kiblat demokrasi sekalipun dan negara-negara demokrasi lainnya tak mengenal ini,” jelasnya.

Kamhar menegaskan, UU Pemilu memang harus direvisi. Hal ini tidak terlepas dari situasi terkini yang mencuat antara lain penambahan tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.

“Lagi pula ada beberapa keadaan yang menuntut penyesuaian pada UU Pemilu seperti status Ibu Kota Negara baru dan penambahan tiga provinsi baru di Papua,” imbuh Kamhar.

Bertabrakan dengan Konstitusi

Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), R Siti Zuhro telah menyatakan, ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) 20 persen akan mengancam persatuan nasional.

Terlebih, ambang batas dinilai bertabrakan dengan konstitusi. Selain itu, hanya akan membawa kontestasi pilpres head to head sehingga memantik perpecahan di tengah masyarakat.

“Kita mencoba melihat, apa yang salah dengan pilkada langsung, pilpres langsung, ternyata banyak yang salah. Sudah jelas pemilu yang kita inginkan, pilpres kalau serentak tidak perlu lagi ada ambang batas, tapi tetep ada ambang batas,” ujar Siti di Jakarta, Minggu (3/7/2022).

Dia menambahkan, dirinya dan sejumlah pihak telah menyodorkan beragam pertimbangan hukum bahwa ambang batas pencalonan presiden bertabrakan dengan konstitusi. Namun ambang batas itu tetap dipaksakan menjadi syarat pencalonan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button