Prinsip Bernegara tak Lagi ‘Welfare State’, Sulit Wujudkan Indonesia Emas 2045


Analis hukum sekaligus advokat Integrity Law Firm Raziv Barokah mengungkapkan, saat ini disorientasi politik menjadi permasalahan utama bangsa ini. Persoalan ini diyakini jadi batu sandungan dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

“Saya membaca problem utama bangsa kita kali ini adalah disorientasi tujuan politik, kenapa? Jangan lupa bahwa tujuan kita berbangsa dan bernegara ada dalam konstitusi, kita menganut prinsip welfare state, negara yang diciptakan untuk mewujudkan kesejahteraan,” tutur Raziv dalam Simposium Nasional PB HMI bertajuk ‘Memperkuat Demokrasi Pembangunan dan Kesejahteraan’ di Hotel Milenium, Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2024).

Ia menjelaskan, konstitusi mengamanatkan negara ada untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, serta mewujudkan keadilan sosial.

Tetapi, kata dia, persoalan utamanya saat ini adalah orang-orang yang berkecimpung di dunia politik, hanya mengejar kekuasaan. “Tujuan untuk menciptakan welfare state itu yang sudah ditinggalkan oleh mereka-mereka yang menjadi penguasa,” ucapnya tegas.

Dia menyebut, dengan adanya disorientasi politik ini, maka belum tentu bila peta jalan Indonesia emas 2045 telah disusun, akan berjalan dengan baik.

“Jadi orang-orang yang bertarung (untuk mengisi) bangku penguasa negara, salah satu kepentingannya bukan kepentingan negara, tapi kepentingan kelompok. Bagaimana cara mempertahankan kekuasaannya, makanya nyata yang kita lihat terjadi di politik nasional,” tutur Raziv.

Ia pun mencontohkan ketika riuhnya isu perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode, namun ketika publik menyoroti hal tersebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru masih mencoba dengan cara lain.

“Kita lihat bagaimana (pakar dan akademisi), semua memperingati tidak boleh ada yang berkehendak untuk memimpin lebih dari dua periode. Jika tidak bisa mempertahankan kekuasaan itu, tapi upaya power syndrom itu tetap dilakukan melalui keluarga-keluarganya,” ujarnya.

Belum lagi, kata dia, untuk dapat menjadi kepala daerah maka seseorang harus memiliki hubungan keluarga.

“Sekarang kalau kita mau menjabat di jabatan-jabatan nasional, kalau tidak memiliki hubungan darah dengan bupati atau siapa maka (sulit). Ini problem ini, jadi orang-orang yang ditempatkan seharusnya menjalankan tugas mewujudkan welfare state itu sudah tidak ada,” ucap dia.