PSSI Jangan Sibuk Poles Timnas Terus, Kompetisi Lokal Masih Sibuk Ribut-ribut


Jurnalis sekaligus pengamat sepak bola, Haris Pardede alias Bung Harpa, menyoroti maraknya berbagai insiden yang mencoreng citra kompetisi domestik. Hampir setiap hari muncul kejadian baru, mulai dari kericuhan antar pemain, serangan terhadap wasit hingga terbaru keributan antar suporter.

Dalam program Arena Talk yang tayang di YouTube Inilah.com, Bung Harpa berpandangan kondisi kompetisi di Indonesia semakin memprihatinkan, sementara perhatian federasi tampak lebih terfokus pada tim nasional.

Salah satu contoh insiden yang disorot Harpa adalah kericuhan yang terjadi pada kompetisi Liga 3 alias Liga Nusantara antar Persikab versus Tornado FC. Duel tersebut sempat diwarnai kericuhan hingga wasit dikejar-kejar pemain di akhir laga.

“Misalnya, saat Persikab menghadapi Tornado FC, terjadi kericuhan di mana wasit diserang dan kiper Tornado, M. Yuda. Di Tangerang, laga antara Dejan FC dan FC Bekasi City juga diwarnai insiden, dengan pemain Bekasi menjadi korban serangan,” ungkap Bung Harpa.

Tak hanya itu, ia juga menyoroti laga lanjutan Liga 2 antara PSPS Pekanbaru versus Persiraja Banda Aceh yang berakhir dengan keributan hingga menyerupai pertarungan gulat. Tak hanya itu di akhir laga pemain Persiraja sampai memiting sang pengadil. “Ini bukan lagi sepak bola, melainkan sepak gulat,” tegasnya.

Terlepas dari kejadian itu, Bung Harpa menilai keputusan wasit menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kegaduhan di lapangan.

Ia menganggap masalah ini seperti lingkaran setan yang sulit diputus. Belum lagi, isu tunggakan gaji pemain masih menjadi momok, seperti yang terjadi di PSM Makassar dan Persikabo.

“Di atas kertas, roadmap sepak bola Indonesia terlihat penuh dengan janji dan sensasi. Namun, realitanya di lapangan justru penuh dengan ilusi. Reformasi memang dirancang dari atas ke bawah, tetapi implementasi di level bawah masih belum terlihat,” kritiknya.

Lantas dengan sederet permasalahan tersebut, Bung Harpa mempertanyakan apakah federasi terlalu sibuk dengan tim nasional hingga mengabaikan pembenahan kompetisi lokal.

Menurutnya, jika perhatian hanya tertuju pada timnas, maka akar permasalahan sepak bola Indonesia di level bawah akan terus berlarut tanpa solusi.

“Masih banyak hal yang perlu diperbaiki, terutama di level akar rumput. Masalah ini tampaknya menjadi isu klasik yang tidak kunjung ditangani dengan serius. Mungkin karena kurang mendapat sorotan media, grassroots tidak dianggap sebagai sektor yang “seksi” untuk diperhatikan,” ungkapnya.

“Padahal, pemain-pemain seperti Marselino Ferdinan, Witan Sulaeman, Egy Maulana Vikri, hingga Rizky Ridho, semuanya berawal dari level bawah. Mereka berkembang melalui Sekolah Sepak Bola (SSB) dan kompetisi seperti Piala Suratin. Jika ekosistem ini tidak dibenahi dengan serius, sulit berharap Indonesia memiliki generasi emas sepak bola di masa depan,” sambungnya menutup.