Pulau untuk Penjarah Negara


Pada suatu waktu dalam sejarah kekuasaan, ada semacam obsesi untuk memisahkan yang jahat dari yang baik. Seperti dalam kisah klasik—penjahat dibuang ke pulau, jauh dari peradaban, dari rakyat, dari akal sehat. Kini, di abad ke-21, Presiden terpilih Prabowo Subianto menggulirkan kembali ide itu: penjara khusus koruptor di pulau terpencil.

Sontak publik bersorak. Akhirnya! Seret mereka ke ujung dunia, biarkan mencangkul tanah kering, makan dari hasil kebun sendiri, dan tenggelam dalam rasa malu. Korupsi telah menggerogoti nadi republik. Tak heran, ketika seorang calon pemimpin bicara keras soal hukuman sosial, rakyat menyambutnya dengan harapan baru.

Namun, mari kita angkat satu per satu lapisan ide ini, seperti filsuf menguliti argumen demi argumen: Apakah ini solusi atau sekadar simbol? Apakah ini hukum atau retorika? Apakah ini jalan keluar atau hanya lorong lain dari labirin politik?

Korupsi: Kejahatan Melawan Negara dan Akal Sehat

Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pengkhianatan terhadap kontrak sosial. Ketika seseorang yang diberi amanah menghisap darah dari anggaran publik, ia tidak hanya mencuri uang rakyat. Ia menghancurkan kepercayaan, melemahkan negara, dan menggali kubur bagi masa depan generasi mendatang.

Filsafat hukum melihat korupsi sebagai kejahatan ganda: kriminal dan moral. Ia tidak bisa didekati hanya dengan pasal, tetapi dengan sikap. Maka, ketika Prabowo melempar gagasan penjara terpencil bagi para koruptor, yang sedang ditawarkan sebenarnya bukan hanya tempat tahanan—tetapi sikap politik. Sebuah posisi moral.

Namun, hukum bukan hanya pernyataan sikap. Ia menuntut struktur, sistem, dan keadilan yang prosedural. Di sinilah masalah dimulai.

Pengasingan dan Mimpi Politik Kekuasaan

Mengasingkan koruptor ke pulau terpencil mengandung daya tarik simbolik. Dalam sejarah, pembuangan ke pulau merupakan metode pengasingan yang klasik. Napoleon ke Elba. Bung Hatta ke Boven Digoel. Atau tahanan politik Orde Baru ke Pulau Buru. Pulau, dalam imajinasi kekuasaan, adalah tempat buangan. Di situ, yang tidak diinginkan ditanamkan, dijauhkan, dilupakan.

Namun koruptor bukan tahanan politik. Mereka bukan korban sistem. Mereka pelaku perampokan terorganisir. Memperlakukan mereka sebagai bandit yang harus dikucilkan, pada dasarnya dapat dimaklumi. Tetapi, jangan sampai kita melupakan bahwa keadilan bukan hanya soal tempat. Ia adalah soal perlakuan. Apakah pengasingan ini sesuai dengan prinsip non-diskriminasi? Apakah negara punya perangkat hukum yang memungkinkan praktik semacam ini?

Jangan sampai ini jadi semacam “kekuasaan performatif”: keras di suara, lemah di prosedur.

Penjara: Dari Tempat Pemasyarakatan ke Panggung Politik

Hukuman pidana dalam teori hukum modern tidak lagi semata-mata retributif. Ia adalah korektif. Penjara idealnya bukan tempat balas dendam, tetapi tempat pembinaan. Tapi, untuk koruptor, ide pembinaan terasa getir. Sebab banyak di antara mereka keluar dari penjara lebih kuat, lebih kaya, lebih kebal.

Rakyat jenuh. Maka, gagasan bahwa mereka harus dikirim ke pulau tandus, ditanamkan seperti bibit dalam tanah tak bertuan, terasa heroik. Apalagi jika mereka disuruh bercocok tanam dan makan dari hasil sendiri. Gagasan itu seperti memadukan etika puritan dengan praktik survival. Mungkin sedikit aroma reality show.

Tetapi negara tak boleh jadi panggung gimmick. Kita tidak sedang bermain sinetron hukum. Maka pertanyaannya: bagaimana sistem hukum mengeksekusi ini? Apakah kita punya dasar legal untuk memindahkan tahanan ke tempat khusus tanpa diskriminasi dan tanpa melanggar HAM?

Tanpa UU Perampasan Aset, Semua Gagasan adalah Kosmetik

MAKI—Masyarakat Anti Korupsi Indonesia—mengkritik ide ini dengan sangat tajam. Boyamin Saiman menyatakan bahwa jauh lebih penting bagi negara untuk mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset ketimbang sibuk membangun pulau tahanan.

Ia benar.

Apa guna mengurung koruptor di pulau jika hasil korupsinya masih bisa dinikmati anak-istri? Apa artinya membangun penjara eksklusif jika rumah, rekening, dan aset mereka tetap aman di luar sana? Hukum tidak sekadar menghukum tubuh, tapi juga menghukum hasil kejahatan.

Di sini, pemerintah perlu jujur pada rakyat: apakah penjara pulau ini solusi struktural, atau hanya upaya kosmetik untuk memberi kesan tegas?

Jika serius, seharusnya Prabowo juga mendorong percepatan UU Perampasan Aset. Bila perlu, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kejahatan luar biasa butuh respons luar biasa.

Pendidikan Hukum: Pilar yang Terabaikan

Sebanyak apa pun penjara kita bangun, sebanyak itu pula akan penuh jika kita gagal mendidik warga negara. Korupsi tidak hanya dilahirkan oleh kesempatan, tetapi juga oleh nilai-nilai yang busuk. Ketika integritas menjadi bahan tertawaan, dan kejujuran dianggap bodoh, maka bahkan pulau-pulau akan habis digunakan untuk menampung koruptor.

Pendidikan hukum dan etika harus menjadi prioritas nasional. Dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dari ruang kelas sampai meja birokrasi. Korupsi harus dijadikan musuh bersama, bukan sekadar dosa hukum, tapi dosa moral dan sosial.

Jangan sampai negara hanya keras pada akhir, tapi lembek pada awal.

Antara Simbolisme dan Kebijakan Publik

Dalam politik, simbol itu penting. Tetapi dalam hukum, prosedur lebih penting. Prabowo perlu memastikan bahwa simbol ini tidak hanya berhenti di mimbar pidato, tetapi dilanjutkan dalam desain kebijakan yang bisa diuji secara hukum.

Jika benar penjara pulau ini akan dibangun, siapa yang akan mengelolanya? Kementerian Hukum dan HAM? KPK? Atau kerja sama antar lembaga? Bagaimana pengawasannya? Apakah ada jaminan tidak terjadi kekerasan, pelanggaran hak, atau justru eksklusivisme baru? Hukum harus transparan, akuntabel, dan menghindari jebakan populisme.

Etika Kekuasaan dan Keberanian Politik

Sebagai seorang pembelajar hukum, saya melihat rencana ini sebagai semacam refleksi etika kekuasaan. Ini adalah pertaruhan moral: Prabowo ingin menunjukkan bahwa negara tidak bisa terus dilecehkan oleh tikus berdasi. Bahwa kekuasaan akan menjadi alat keadilan, bukan perlindungan bagi para perampok anggaran.

Tapi keberanian politik tidak cukup hanya dengan membangun penjara. Keberanian sejati adalah menindak siapa pun, bahkan jika mereka sekutu politik, kawan lama, atau kerabat dekat. Penjara bisa dibangun di ujung samudra. Tetapi jika koruptor tetap dilindungi oleh jejaring kekuasaan, semua itu tidak ada artinya.

Di Mana Kita Berdiri?

Pulau untuk penjarah negara bisa jadi simbol awal dari kebangkitan etika hukum yang baru—jika dilandasi oleh keberanian menindak secara menyeluruh dan ditopang oleh perangkat hukum yang kuat. Namun, ia juga bisa menjadi panggung retorika yang megah tetapi kosong, jika tidak diikuti dengan pembaruan struktural.

Korupsi adalah penyakit lama dalam tubuh republik. Untuk menyembuhkannya, kita butuh lebih dari sekadar ruang tahanan. Kita butuh revolusi nilai, reformasi hukum, dan keteladanan moral. Penjara di pulau terpencil bisa menjadi bagian dari itu. Tapi bukan satu-satunya. Dan tidak boleh menjadi yang utama.

Sebab negara hukum bukan dibangun dari ancaman, tetapi dari keadilan.