Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan seluruh putusan akhir sengketa Pilkada 2024 pada Senin, (24/2/2025) terkait 40 perkara yang masih berjalan proses hukumnya. Di tengah proses itu, mencuat wacana Pemungutan Suara Ulang (PSU), usulan ini tentu tak tepat di tengah efisiensi anggaran.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai PSU merupakan salah satu jalan yang bisa diambil oleh MK. Ia mengatakan biaya PSU bisa saja dibebankan kepada pemerintah pusat jika pemerintah daerah kehabisan dana.
“Tentu saja agak sulit kalau memang jalan keluarnya harus PSU, karena itu adalah salah satu jalan. Secara rasional ini masih bisa, walaupun undang-undangnya memang harus dibiayai oleh daerah, tapi dalam keadaan kontigensi tertentu bisa saja dilakukan oleh pusat,” kata Suminta saat dihubungi inilah.com di Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Dia menyebut MK harus punya keberanian mengambil keputusan jika secara faktual dalam persidangan ditemukan sedemikan rupa kecurangan atau tidak terpenuhinya syarat pencaloban. Di antaranya adalah pembatalan ataupun diskualifikasi. Ia mengatakan, majelis hakim juga bisa mendiskualifikasi tanpa harus PSU.
“Jadi kalau memang faktual, MK harus berani untuk melakukan diskualifikasi kalau faktual. PSU itu memang sesuatu yang memang, tentu saja Majelis Hakim mempunyai alasan untuk PSU atau tidak. Tapi kalau tidak PSU, bisa saja Majelis Hakim mendiskualifikasi,” ujar Suminta.
Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan akhir terkait sengketa Pilkada 2024 pada Senin, 24 Februari 2025. MK telah menerima 40 perkara yang akan dilanjutkan pada sidang pemeriksaan lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan dari saksi dan ahli.
Hakim Konstitusi, Saldi Isra, menegaskan kepada pihak yang mengajukan gugatan bahwa MK akan memberikan keputusan yang adil dalam setiap perkara yang ditangani.
“Sesuai dengan jadwal, putusan akhir akan dibacakan pada 24 Februari. Kami harap para pihak mempercayakan hasilnya kepada kami, dan kami akan memutuskan berdasarkan fakta-fakta yang ada,” ujar Saldi dalam sidang pembuktian yang berlangsung di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Senin, (17/2/2025).
Jelang putusan mencuat opsi PSU. Dalam sidang pemeriksaan saksi dan ahli di sidang sengketa Pilkada Kabupaten Siak, pemohon menghadirkan mantan Wakil Ketua MK 2018-2020, Aswanto. Sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan hakim anggota Daniel Yusmic P Foekh dan M Guntur Hamzah ini membahas gugatan yang diajukan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Siak Nomor Urut 3, Alfedri dan Husni Merza, terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Siak. Pasangan Nomor Urut 2, Afni Z dan Syamsurizal, menjadi pihak terkait, sementara Bawaslu Kabupaten Siak bertindak sebagai pemberi keterangan.
Sidang ini menyoroti empat isu utama, yakni hak pilih 128 pasien RSUD Tengku Rafi’an yang tidak diakomodasi, surat undangan pemilih PT KWL yang tidak tersampaikan, dugaan Ketua KPPS mencoblos dua kali, serta dugaan petugas KPPS mengarahkan pemilih.
“Hasil pencermatan ahli terhadap permohonan ini menunjukkan adanya berbagai pelanggaran pemilihan, termasuk di beberapa TPS pada beberapa kecamatan,” ujar Aswanto dalam persidangan.
Sementara itu, ahli yang dihadirkan KPU, I Gusti Putu Artha, menolak adanya PSU. Dia mengatakan, TPS di RSUD Tengku Rafi’an yang dipersoalkan bukan bagian dari lokasi wajib memiliki TPS khusus, dan KPU menurutnya sudah memfasilitasi pemilih sesuai aturan yang berlaku.
Ia juga menyatakan bahwa dugaan tidak sampainya surat undangan ke pemilih di PT KWL tidak cukup menjadi dasar untuk PSU. “Jika ada Model C Pemberitahuan yang tidak diterima pemilih, tetapi tidak memenuhi unsur pelanggaran berat, maka tidak dapat dilakukan PSU,” jelasnya.