Jika perusahaan keuangan Amerika Serikat (AS) sekelas Visa atau Mastercard diberikan karpet merah menyelenggarakan sistem pembayaran berbasis digital di Indonesia, tidak akan laku. Karena, bisa dipastikan biaya transaksinya bisa lebih mahal.
Selama ini, sebagian besar masyarakat dari berbagai kelas serta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), sangat terbantu dengan adanya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Biaya transaksinya murah dan sederhana caranya. Tak perlu repot harus bawa dana cash.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai sorotan Amerika Serikat (AS) terhadap QRIS dan GPN yang dianggap merintangi perdagangan, tidak memiliki dasar kuat.
Sebab, QRIS memang dirancang sebagai instrumen untuk memperluas inklusi keuangan, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia.
“Target utama QRIS adalah untuk mendorong inklusi keuangan, termasuk untuk UMKM. Jika (perusahaan) asing akan bergabung dengan QRIS, masih terbuka lebar, tinggal melakukan aplikasi ke BI (Bank Indonesia),” kata Wijayanto di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Informasi saja, pemerintah AS lewat Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mengkritik QRIS yang tidak melibatkan asing. Termasuk jasa pembayaran dan bank asal AS. Hal itu tertuang dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis USTR pada 31 Maret 2025.
Dalam dokumen tersebut dsampaikan, para pemangku kepentingan (stakeholders) internasional tidak diberi kesempatan untuk mengintegrasikan sistem pembayaran mereka ke dalam QRIS yang berlaku di Indonesia.
Kata pria yang akrap disapa Kang Wija itu, percuma juga membuka kesempatan bagi Visa dan Mastercard asal AS, masuk ke QRIS. Mereka tak akan sanggup dengan murahnya tarif.
“Misalnya untuk UMKM, transaksi di bawah Rp500 ribu dengan menggunakan QRIS, fee-nya nol. Bandingkan dengan Visa atau Mastercard bisa mencapai 1,8 persen sampai dua persen,” jelasnya.
Selain itu, terkait dengan keluhan serupa terhadap sistem Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), Wijayanto menegaskan bahwa regulasi yang ada justru mendorong kompetisi yang sehat. Salah jika GPN disebut tidak membatasi, justru membuka ruang bagi semua pemain termasuk perusahaan asal AS.
“Bagi kita, GPN adalah sesuatu yang logis. Transaksi di Indonesia, dua pihak dari Indonesia, menggunakan rupiah, berlokasi di Indonesia. Sesungguhnya tidak ada alasan mengapa proses dan service-nya harus di luar negeri, selain mahal juga tidak efisien,” tuturnya.
Wijayanto mengingatkan, agar pemerintah Indonesia tetap bersikap tegas dalam menjaga kepentingan nasional yang bersifat mutlak dan tidak dapat dikompromikan.
“Kita tidak perlu terlalu terprovokasi oleh permintaan AS. Namanya juga negosiasi, mereka pasti memulai dengan call yang tinggi, apalagi merasa di atas angin,” katanya.
Adapun Bank Indonesia (BI) sebelumnya telah menanggapi kritik dari AS tersebut. Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyebut, kerja sama dengan negara lain, termasuk dalam sistem pembayaran cepat lintas batas seperti QRIS, sepenuhnya tergantung pada kesiapan masing-masing negara.
“Jadi kami tidak membeda-bedakan. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa tidak?” ujar Destry dalam acara Edukasi Keuangan bagi Pekerja Migran Indonesia di Jakarta, Senin lalu (21/4).