Pada 29 November 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memberikan putusan terkait uji materi Pasal 42 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memberi kewenangan kepada KPK untuk menangani perkara korupsi baik di peradilan umum maupun militer. Putusan ini merupakan jawaban atas polemik yang muncul pada tahun 2023 ketika KPK menangani kasus korupsi Basarnas yang melibatkan seorang jenderal bintang tiga TNI. Polemik ini semakin berkembang setelah TNI mengajukan protes terhadap KPK, dengan alasan bahwa lembaga anti-rasuah tersebut telah keluar batas kewenangan. Pimpinan KPK pun kemudian meminta maaf atas “kekhilafan” tersebut. Pernyataan ini memicu berbagai reaksi, baik pro maupun kontra, di masyarakat.
Masyarakat dan pemerhati antikorupsi berpendapat bahwa KPK seharusnya dapat menindaklanjuti kasus-kasus korupsi di tubuh militer, mengingat sektor pertahanan adalah salah satu sektor yang rawan dengan praktik korupsi. Namun, kewenangan ini sempat dipertanyakan mengingat terdapat pemisahan yang jelas antara hukum pidana militer dan hukum pidana umum. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa KPK tetap dapat menangani kasus korupsi militer asalkan sejak awal sudah ditangani oleh KPK, meskipun bila tidak ada perkara koneksitas, maka penanganannya akan tetap dilakukan oleh sistem peradilan militer.
Kewenangan Prosekusi Korupsi Militer
KPK selama ini memang diberi kewenangan untuk menangani korupsi, baik di sektor umum maupun militer, termasuk melakukan pencegahan, monitoring, penindakan, dan koordinasi. Selama ini, penanganan kasus korupsi di tubuh TNI telah berjalan dengan melibatkan KPK, seperti dalam kasus pengadaan helikopter AgustaWestland (AW-101), korupsi dana pensiun TNI, dan proyek satelit Kemenhan. Dalam beberapa kasus ini, KPK bekerja sama dengan TNI untuk menyelidiki dan menyelesaikan masalah korupsi.
Namun, meskipun kewenangan KPK dalam menangani kasus militer telah diatur, tetap ada perbedaan dalam pendekatan dan aturan hukum antara hukum pidana umum dan militer. Sebagai contoh, UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur prinsip-prinsip yang berbeda, seperti asas kesatuan komando dan kepentingan militer yang didahulukan. Putusan MK memberikan ruang bagi kolaborasi antara KPK dan sistem peradilan militer, asalkan ada keterlibatan KPK sejak awal dalam penyelidikan.
Tantangan dan Keterbukaan dalam Penanganan Korupsi Militer
Sektor militer, khususnya di Indonesia, dikenal dengan sifatnya yang tertutup, yang sering kali menjadi tantangan dalam memberantas korupsi. Sejumlah data menunjukkan bahwa sektor pertahanan dan militer secara global rawan dengan praktik korupsi. Sebagai contoh, Transparency International mencatat bahwa 62% negara di dunia memiliki skor yang rendah dalam hal menutup celah korupsi di sektor pertahanan. Untuk itu, keterbukaan dalam penanganan kasus korupsi di militer menjadi penting.
Dengan adanya putusan MK, kini KPK memiliki ruang untuk menangani korupsi militer dengan lebih terbuka, mengingat sebelumnya banyak pihak yang menganggap sektor ini terisolasi dari pengawasan dan penindakan. Namun, untuk mewujudkan ini, perlu adanya sistem koordinasi yang jelas dan pengaturan yang lebih rinci agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara KPK dan peradilan militer. Salah satu solusi adalah membentuk tim khusus di KPK yang dapat menangani kasus-kasus militer dengan melibatkan perwira TNI, untuk memastikan agar penanganan ini berjalan transparan dan efektif.
Model Kolaborasi dan Pengawasan dalam Penanganan Korupsi
Salah satu contoh yang patut dicontoh adalah upaya Presiden Xi Jinping di China yang berhasil menanggulangi korupsi di sektor pemerintahannya, termasuk di sektor militer (People’s Liberation Army). Melalui proses yang transparan dan pemeriksaan yang tidak pandang bulu, Xi Jinping berhasil membersihkan sektor-sektor yang rawan dengan praktik korupsi. Ini menunjukkan bahwa dengan tekad yang kuat dan sistem yang transparan, sektor militer pun dapat dibersihkan dari praktik korupsi yang merugikan negara.
Indonesia bisa belajar dari model tersebut dengan memperkuat pengawasan dan kolaborasi antara KPK dan TNI. Dalam hal ini, penting untuk memiliki lembaga yang bekerja sama, tetapi juga menghormati hak-hak militer yang bersifat khusus. Ini akan memastikan bahwa setiap tindakan korupsi di sektor pertahanan dapat diungkap dengan adil dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku.
Putusan MK mengenai kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi di sektor militer membuka babak baru dalam penerapan hukum yang lebih transparan dan akuntabel di Indonesia. KPK, dengan wewenang yang lebih jelas, kini dapat berperan aktif dalam mencegah dan memberantas korupsi di lingkungan TNI, asalkan penanganan perkara dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada. Keterbukaan, koordinasi, dan pengawasan yang lebih ketat menjadi kunci dalam mewujudkan sektor militer yang bebas dari korupsi, dan ini memerlukan kerja sama antara semua pihak yang terlibat. Ke depan, harapan besar agar sektor pertahanan dan militer Indonesia menjadi lebih bersih dan berintegritas dapat terwujud melalui kolaborasi yang lebih baik antara TNI dan KPK, serta upaya maksimal dalam menjaga supremasi hukum dan kepentingan nasional.