News

Lembagakan Sinergisitas TNI-Polri, Analis Intelijen: Prosedur Situasi Perang Perlu Diaktifkan di Papua


Analis intelijen, pertahanan, dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro mengatakan sinergisitas TNI dan Polri bersifat wajib dilembagakan di Papua, terlebih pasca-aksi Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menyebabkan Komandan Rayon Militer (Danramil) 1703-04 Aradide Letda Inf. Oktovianus Sogalrey meninggal dunia.

“Sinergisitas TNI-Polri sudah bersifat tuntutan wajib dilembagakan di Papua karena OPM menyatakan perang terbuka,” kata Simon, sapaan akrabnya, dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Sabtu (13/4/2024).

Simon menjelaskan bahwa melembagakan sinergisitas TNI-Polri merupakan salah satu respons penting yang harus segera dilakukan.

Caranya, kata dia, dengan menetapkan peran-peran yang beririsan di antara kedua institusi sekaligus memperkuat dan mempersiapkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing lembaga.

“Kita perlu memperkuat tupoksi TNI dalam melaksanakan operasi teritorial dan operasi pengamanan perbatasan dengan SOP (standar operasional prosedur) yang lebih responsif sesuai dengan standar penerapan pada kondisi perang,” katanya.

Sementara itu, operasi pengamanan terhadap sipil dilakukan oleh kepolisian. “Ini juga penguatannya harus ditingkatkan,” imbuh Simon.

Menurut dia, menetapkan prosedur operasi sebagaimana dalam situasi perang menjadi hal penting melihat situasi Papua saat ini. 

“Kalau tidak, NKRI akan terus dirugikan dan dirongrong kedaulatannya,” ucap Simon.

Ia menambahkan, intelijen negara sebagai pendeteksi dini ancaman harus melekat pada setiap operasi yang informasinya dipergunakan secara taktis dan menyeluruh. Di samping itu, Simon mengingatkan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan strategi operasi lapangan oleh TNI.

“Kita tahu bahwa kondisi geografis di Papua memiliki spesifikasi tersendiri. Oleh karenanya, untuk meningkatkan efektifitas perlu dipersiapkan SDM, dukungan infrastruktur, sarana dan prasarana, dan kelembagaan secara lebih rinci dan terstruktur. Ini membutuhkan sinergi TNI-Polri dan juga intelijen di lapangan,” tuturnya.

Simon menilai situasi di Papua kian genting dan bukan lagi perihal isu hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, situasi di Papua telah masuk pada kondisi perang melawan kelompok separatis.

“Sebagai aktor non-state (non-negara), mereka menggunakan senjata perang taktik, strategi, intelijen bahkan infrastruktur perang. Bagaimana seorang Danramil bisa diketahui identitasnya? Bagaimana prosedur perjalanannya? Itu semua menjadi pertanyaan-pertanyaan kunci untuk dapat melihat peristiwa ini secara lebih utuh,” kata Simon.

Sebagai sebuah operasi, OPM dinilai telah menyusun strategi yang menyerang langsung, tertarget, dan spesifik terhadap institusi pertahanan negara. Bahkan, imbuh Simon, OPM memetakan secara detail pergerakaran, sehingga eksekusi pembunuhan dapat dilakukan.

Simon juga berpendapat, kelompok separatisme tersebut sudah ditunggangi dengan agenda asing. “Siapa asing itu? Mereka yang meneriakkan situasi di Papua sebagai situasi pelanggaran HAM. Padahal jelas, mereka bersenjata, bertaktik, berstrategi, agenda dan tujuan jelas, dan sasaran kelompok tertentu yang merepresentasikan institusi pertahanan dan keamanan negara,” kata dia.

Sebelumnya, Kapendam XVII/Cenderawasih Letkol Inf. Chandra Kurniawan ketika dihubungi di Jayapura, Jumat (12/4) membenarkan bahwa Danramil 1703-04 Aradide Letda Inf. Oktovianus Sogalrey diserang dan ditembak oleh OPM di daerah Pasir Putih, Distrik Aradide, Kabupaten Paniai, Papua Tengah, Kamis (11/4).

Dari laporan yang diterima Kapendam XVII/Cenderawasih, insiden itu berawal saat korban keluar dari Makoramil 1703-4/Aradide, Rabu (10/4) sore. Namun, ditunggu sampai Kamis (11/4) pagi yang bersangkutan tidak kembali. Setelah itu, dilakukan pencarian dan korban ditemukan meninggal dunia akibat luka tembak.
 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button