Ratusan Guru Honorer Jakarta Mendadak Dipecat Serentak, Ancaman Serius bagi Stabilitas Pendidikan


Pemutusan kontrak secara sepihak terhadap ratusan guru honorer di Jakarta telah menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pendidik. 

Ahmad Zuhri, Wakil Ketua Umum PP Pergunu (Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama), menyoroti dampak negatif yang mungkin timbul akibat kebijakan pembersihan atau ‘cleansing’ tenaga honorer yang dijalankan oleh pemerintah setempat.

Menurut Zuhri, yang juga dosen UIN Sunan Kalijaga, pemutusan kontrak ini tidak hanya berpotensi meningkatkan beban kerja bagi guru tetap, tetapi juga dapat mengganggu kesejahteraan dan stabilitas ekonomi guru honorer serta keluarganya. 

“Guru honorer telah berperan penting dalam mengisi kekosongan tenaga pengajar di banyak sekolah negeri. Tanpa mereka, efektivitas pembelajaran dapat terganggu dan ini tentunya berdampak pada kualitas pendidikan,” kata Zuhri dalam sebuah pernyataan di laman resmi PBNU, Kamis (18/7/2024).

Selain menambah beban kerja guru yang masih bertugas, pemutusan kontrak ini juga menimbulkan masalah keamanan pekerjaan dan kesejahteraan bagi para guru honorer. 

“Banyak dari mereka telah mengabdi bertahun-tahun dengan harapan akhirnya diangkat sebagai pegawai tetap. Kini, dengan pemutusan kontrak ini, mereka harus mencari sumber penghasilan lain di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu,” tambah Zuhri.

Kepala Bidang Advokasi Guru di Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, juga menekankan bahwa pemutusan ini telah membatalkan harapan banyak guru honorer yang sedang menantikan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2024. 

“Mereka telah mengabdi enam tahun atau lebih, dan dengan diberhentikannya mereka secara tiba-tiba, kesempatan mereka untuk terlibat dalam PPPK pun hilang,” ujar Iman.

Sementara Pengacara Publik LBH Jakarta Fadhil Alfathan menyoal istilah pembersihan atau cleansing yang digunakan Dinas Pendidikan Jakarta tidak ada dalam aturan mengenai pengelolaan sumber daya manusia. 

Istilah ini identik dengan pembersihan etnik atau penghapusan paksa secara sistematis terhadap kelompok etnik atau agama dari sebuah kawasan oleh sebuah kelompok etnik yang lebih berkuasa demi menciptakan masyarakat homogen.

”Ini genosida terhadap guru honorer karena istilahnya ambigu. Kata cleansing kalau kita buat terjemahan bebasnya berarti pembersihan. Itu hanya dikenal dalam istilah kejahatan hak asasi manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Ini sangat tidak manusiawi,” ucap Fadhil.

Kritik terhadap kebijakan ini mengemuka, dengan banyak pihak yang menuntut agar pemerintah DKI Jakarta meninjau kembali dan mempertimbangkan kembali dampak dari kebijakan tersebut. 

Mereka mendesak agar ada langkah konkret untuk mengatasi masalah ini agar tidak berulang di masa yang akan datang.