Besarnya anggaran bantuan sosial (bansos) ternyata gagal menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Mengonfirmasi sebuah kata-kata bijak: berilah kail, jangan ikannya.
Menurut catatan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, anggaran bansos 2010 hingga 2023, angkanya terus naik. Di sisi lain, kemiskinan hanya turun 2,3 persen.
Artinya, bansos boleh disebut tidak efektif dalam menurunkan jumlah penduduk duafa alias miskin. Pada 2023, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, menyebut angka kemiskinan sebesar 25,9 persen. Sedangkan pada 2022, angka kemiskinan mencapai 26,36 persen.
“Menurut saya (bansos) tidak efektif. Karena, selama dua belas tahun, angka kemiskinan turun 2,3 persen dari 2010 sampai dengan 2023,” kata Esther dalam diskusi publik “Tanggapan Atas Debat Kelima Pilpres” di Hotel Manhattan, Kuningan, Jakarta Pusat, Senin (5/4/2024).
Penurunan tersebut dinilai tidak sejalan dengan besarnya anggaran bansos yang semakin meningkat, menjelang pemilu 2024. Misalnya, pada 2009 sebesar Rp17,7 triliun. Sepuluh tahun kemudian melompat menjadi Rp194,76 triliun. Sedangkan pada 2024, anggaran bansos nyaris Rp500 triliun, tepatnya Rp496 triliun.
Dengan anggaran bansos yang semakin jumbo, berarti semakin banyak penerima masyarakat yang menerima bansos. Sayangnya, jumlah penduduk yang lepas dari kemiskinan, tidak beranjak jauh.
“Kalau kita lihat bansos ini kan tahun pemilu biasanya relatif lebih tinggi. Pada tahun 2009 cuma Rp17 triliun, jadi Rp78 triliun, tahun 2019 sebesar 194 triliun. Nah pada tahun 2024 kenaikannya sangat tajam Rp496 triliun. Jadi, dua setengah kali lipat. Bahwa bansos itu yang menerima semakin banyak, angka kemiskinan hanya turun 2 persenan. Ini yang patut dipertanyakan intervensi negara untuk pengurangan kemiskinan di mana?” jelasnya.
Lebih lanjut, Esther menyimpulkan kebijakan bansos ini bukanlah solusi jangka panjang. Menurutnya, kebijakan tersebut hanyalah kebijakan populis untuk meraih banyak suara.
Dia pun membandingkan kebijakan bansos di luar negeri. Alih-alih dibagikan yang menimbulkan kerumunan, bansos tersebut ditransfer. Adapun besarannya sesuai dengan biaya kehidupan sehari-hari atau living cost.
“Saya kesimpulan bansos ini bukan solusi jangka panjang, ini kebijakan populis get more voter. Dibandingkan ke negara lain harusnya sistematis jadi besarnya tidak hanya Rp250 ribu, besarnya sesuai dengan living cost di daerah tersebut, setara UMR,” jelasnya.
Leave a Reply
Lihat Komentar