Sebanyak 116 kekerasan tercatat melibatkan anggota Polri sepanjang tahun ini. Catatan itu dihimpun dalam laporan terbaru yang dirilis Amnesty International Indonesia dalam rentang waktu Januari hingga November 2024. Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan temuan ini menunjukkan pola sistematis yang terus berulang akibat minimnya akuntabilitas institusi kepolisian. “Kekerasan polisi bukan hanya persoalan individu, tetapi mencerminkan kebijakan yang represif dan kegagalan institusi dalam menjalankan pendekatan humanis yang dijanjikan,” ujar Usman Hamid.
Bahkan ketika dikerucutkan kepada penanganan polisi terhadap aksi unjuk rasa, angka kekerasan yang dilakukan oleh polisi makin besar lagi. Kata Usman, dalam investigasi yang dilakukan pihaknya selama periode 3 bulan atas unjuk rasa damai yang terjadi di 14 kota pada 22 sampai 29 Agustus 2024 lalu, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi.
Rinciannya, 344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena, 152 orang luka-luka akibat serangan fisik, termasuk penembakan meriam air, sedikitnya 17 orang terpapar gas air mata kimia yang berbahaya serta 65 lainnya mengalami kekerasan berlapis termasuk kekerasan fisik dan penahanan incommunicado (tanpa pemberitahuan) dan seorang lagi dilaporkan sempat hilang sementara. “Seluruh kekerasan tersebut terjadi saat polisi menghadapi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada,” jelas dia.
Salah satu hal yang disoroti Usman adalah perlunya evaluasi dalam penggunaan senjata api. Selain kasus di Semarang, contoh penyalahgunaan senjata api lain terlihat pada kasus-kasus di Papua. Di Yahukimo, Papua, seorang staf Badan Pengawas Pemilu ditembak mati oleh anggota Brimob saat perjalanan pulang ke rumahnya. Sementara itu, di Lampung Timur, seorang warga sipil tewas ditembak setelah dipaksa masuk ke dalam mobil polisi.
“Kami melihat pola yang berulang, terutama di Papua. Polisi sering kali memberikan pembenaran dengan alasan menghadapi kelompok bersenjata. Namun, banyak kasus kekerasan terjadi terhadap warga sipil biasa, di luar konteks konflik bersenjata,” tegas Usman.
Usman bilang, kekerasan polisi yang berulang adalah lubang hitam pelanggaran HAM. Beragam temuan kasus ini juga menunjukan bahwa lembaga Polri masih minim akuntabilitas dan menunjukan reformasi yang gagal. “Kapolri menjanjikan pendekatan humanis, tetapi faktanya yang terjadi justru sebaliknya. Kekerasan terus berulang karena tidak ada akuntabilitas terhadap pelaku,” ujarnya.
Baca ulasan lengkapnya di Insider edisi 15 Desember 2024 Reformasi Polri Jauh dari Kata Presisi