Reformasi DJSN dan Tata Kelola SJSN


Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk pemenuhan hak dasar masyarakat yang diamanatkan oleh konstitusi Indonesia. Dalam Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, negara diwajibkan mengembangkan sistem jaminan sosial yang menyeluruh untuk seluruh rakyat Indonesia. Pemenuhan jaminan sosial ini sekaligus menjadi aktualisasi dari nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kelima, yang menegaskan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di Indonesia, pelaksanaan jaminan sosial disebut dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Keberadaan SJSN menjadi tolok ukur implementasi visi negara yang berkeadilan. SJSN harus berjalan secara inklusif, adaptif, dan berkelanjutan.

Namun, implementasi program jaminan sosial di Indonesia masih diwarnai berbagai tantangan. Salah satu isu terkini adalah potensi gagal bayar pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diproyeksikan bisa terjadi pada tahun 2026. Potensi risiko ini bukanlah hal baru. Pada tahun-tahun sebelumnya, program JKN sempat mengalami defisit anggaran yang mencapai Rp15 triliun pada periode 2016–2018. Defisit tersebut berhasil diatasi melalui reformasi kebijakan, termasuk terbitnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, yang membuat program ini kembali surplus pada 2023.

Meski demikian, risiko gagal bayar tidak hanya mengancam program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Program jaminan sosial ketenagakerjaan, yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di bawah BPJS Ketenagakerjaan, juga menghadapi ancaman serupa. Apalagi jika dihadapkan pada risiko penuaan penduduk (aging society). Jika tidak diantisipasi, hal ini dapat memicu ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang signifikan.

Regulasi sebenarnya telah mengatur mekanisme mitigasi risiko gagal bayar. Tetapi, dalam praktiknya, beberapa aspek masih memerlukan pembenahan. Salah satu contoh adalah kurangnya regulasi yang tegas untuk mencegah terjadinya kesalahan administrasi (error) dan potensi kecurangan (fraud). Di sisi lain, terdapat kebutuhan untuk menyelaraskan lebih dari 15 regulasi terkait demi mendukung transformasi SJSN yang lebih inklusif, adaptif, dan berkelanjutan sebagaimana dirancang dalam peta jalan SJSN 2027.

Evaluasi Tata Kelola SJSN

Selama lebih dari dua dekade implementasinya, tata kelola SJSN kerap menjadi sorotan. Ada pertanyaan besar mengenai konsistensi dan kepatuhan para pemangku kepentingan utama, seperti Pemerintah, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan.

Salah satu isu utama adalah ketidakpatuhan pemerintah terhadap regulasi terkait evaluasi program jaminan sosial. Dalam konteks program JKN, Pasal 38 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 mengamanatkan evaluasi besaran iuran setiap dua tahun sekali. Namun, evaluasi terakhir dilakukan pada 18 September 2018, atau lebih dari enam tahun yang lalu. Selain itu, Pasal 54A peraturan yang sama mengharuskan pemerintah meninjau manfaat dasar kesehatan dan implementasi rawat inap kelas standar paling lambat Desember 2020, pada tanggal 6 Januari 2023, Pemerintah menerbitkan Permenkes Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Terpaut 3 tahun dari amanat yang seharusnya.

Hal serupa juga terjadi pada program jaminan sosial ketenagakerjaan. Misalnya, evaluasi iuran JKK, JKM, JP, dan JKP, yang diatur dalam berbagai peraturan pemerintah, belum sepenuhnya dilaksanakan. Contohnya, iuran JKK dan JKM terakhir kali dievaluasi pada 2019, sementara iuran JP belum pernah ditinjau sejak program ini diluncurkan pada 2015. Ketidakpatuhan ini meningkatkan risiko defisit jangka panjang, sebagaimana diprediksi akan terjadi pada program JP pada tahun 2070.

Selain itu, terdapat disharmoni dalam beberapa regulasi yang memperumit pelaksanaan SJSN. Salah satu contohnya adalah tumpang tindih kewenangan antara Menteri Keuangan dan DJSN dalam menilai laporan pertanggungjawaban Dewan Pengawas dan Direksi BPJS. Ketidakjelasan ini tidak hanya menghambat pengawasan, tetapi juga menurunkan efektivitas pengelolaan dana jaminan sosial.

Kendala dalam Tata Kelola DJSN

Sebagai lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden, DJSN memiliki peran strategis dalam merumuskan kebijakan umum serta melakukan sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan SJSN. Namun, pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DJSN sering terhambat oleh berbagai kendala struktural dan operasional.

Salah satu kendala utama adalah kelemahan dalam struktur organisasi DJSN. Anggota DJSN tidak dilantik langsung oleh Presiden, sehingga posisi mereka tidak memiliki bobot yang setara dengan BPJS, yang dilantik langsung oleh kepala negara. Hal ini memengaruhi kewibawaan DJSN dalam melakukan pengawasan dan memberi rekomendasi kebijakan.

Kapasitas sumber daya manusia dan anggaran operasional DJSN juga sangat terbatas. Pada tahun 2021, anggaran DJSN hanya sebesar Rp15,7 miliar, jauh lebih kecil dibandingkan dana operasional BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, serta dana kelola pada masing-masing BPJS yang mencapai ratusan triliun rupiah, bahkan sebentar lagi dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan akan tembus Rp 1000 T. Minimnya anggaran ini berdampak pada keterbatasan DJSN dalam menjalankan tugas-tugas penting, seperti kajian dan pengawasan terhadap program jaminan sosial, salah satu yang belum dilakukan adalah tugas mengusulkan kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial (DJS).

Selain itu, DJSN tidak memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan anggarannya. Anggaran DJSN dititipkan di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), yang mengurangi fleksibilitas lembaga ini. Ketiadaan hak pemrakarsa dalam merumuskan kebijakan umum juga menjadi hambatan besar. Misalnya, rekomendasi DJSN terkait interoperabilitas data jaminan sosial dan rekomendasi PBI Jamsosnaker untuk perbaikan ekosistem Jamsos, belum mendapat tanggapan serius dari kementerian terkait.

Reformasi Tata Kelola SJSN

Untuk memperbaiki tata kelola SJSN, diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah harus konsisten dalam mematuhi regulasi yang mewajibkan evaluasi iuran dan manfaat program secara berkala. Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan finansial program jaminan sosial di tengah dinamika ekonomi yang terus berubah.

Berbagai tantangan dalam tata kelola SJSN memerlukan strategi reformasi yang menyeluruh. Pertama, pemerintah harus memastikan evaluasi iuran dan manfaat program dilakukan secara berkala sesuai regulasi. Langkah ini penting untuk menjaga keberlanjutan finansial program jaminan sosial di tengah dinamika ekonomi yang terus berubah.

Kedua, diperlukan harmonisasi regulasi untuk mengurangi tumpang tindih kewenangan dan meningkatkan efektivitas pengelolaan SJSN. Penyelarasan regulasi ini harus mencakup penguatan koordinasi antara DJSN, Kementerian Keuangan, dan BPJS.

Ketiga, kapasitas DJSN perlu ditingkatkan melalui alokasi anggaran yang memadai dan penguatan struktur organisasi. Anggota DJSN sebaiknya dilantik langsung oleh Presiden agar memiliki bobot yang setara dengan BPJS. Selain itu, DJSN perlu diberikan kewenangan yang lebih luas, termasuk hak pemrakarsa, untuk merumuskan kebijakan yang relevan.

Keempat, diperlukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana jaminan sosial. Hal ini mencakup penerapan teknologi untuk meningkatkan interoperabilitas data antar-lembaga, yang saat ini masih menjadi kendala. Transparansi juga dapat diperkuat melalui pengawasan yang lebih ketat dari pihak independen.

Kelima, pendidikan dan literasi masyarakat tentang pentingnya jaminan sosial harus ditingkatkan. Banyak masyarakat, terutama di sektor informal (peserta BPU), masih belum memahami manfaat program jaminan sosial. Upaya edukasi ini dapat mendorong peningkatan partisipasi dan kepatuhan iuran, yang pada akhirnya akan mendukung keberlanjutan program.

Dalam jangka pendek, upaya percepatan dalam harmonisasi regulasi yang mengatur SJSN perlu jadi prioritas. Kehadiran kerangka hukum yang terpadu akan meminimalkan tumpang tindih kewenangan dan meningkatkan efektivitas tata kelola. DJSN perlu diberdayakan melalui penguatan struktur organisasi, peningkatan anggaran, dan pemberian kewenangan yang lebih luas, termasuk hak pemrakarsa. Dengan begitu, DJSN akan mampu memainkan peran strategisnya dalam merumuskan kebijakan dan mengawasi pelaksanaan SJSN secara lebih efektif.

Pada akhirnya, perbaikan tata kelola SJSN tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan kerja sama yang baik, sistem jaminan sosial di Indonesia diharapkan dapat menjadi instrumen yang inklusif, adaptif, berkelanjutan, dan mampu mewujudkan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh sila ke-5 Pancasila dan UUD 1945. Jaminan sosial yang kuat tidak hanya menjadi simbol keberpihakan negara kepada rakyat, tetapi juga pondasi bagi stabilitas sosial dan ekonomi bangsa yang mencerminkan implementasi nyata dari nilai-nilai Pancasila dan konstitusi Indonesia.