Hakim Agung Ansori seharusnya tidak ditunjuk sebagai majelis hakim yang menangani perkara Peninjauan Kembali (PK) eks Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming.
Demikian, kata Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andini. Ia juga menyoroti Hakim Agung Ansori yang memiliki catatan buruk pernah membebaskan koruptor.
“Tekait dengan penilaian terhqdap track record buruk Hakim MA (Ansori) yang menangani kasus ini, ya saya kira memang kalau mau ideal yang ditunjuk sebagai majelis yang tidak punya track record kontroversial,” kata Orin ketika dihubungi Inilah.com, Minggu (22/9/2024).
Menurut Orin, gerak-gerik hakim Ansori yang menangani perkara PK Maming harus diawasi oleh lembaga pengawas hakim seperti Badan Pengawas (Bawas) MA, Komisi Yudisial (KY) hingga publik harus turut pelototi. Begitu juga majelis hakim lainnya yaitu, Ketua Hakim Sunarto dan Hakim Anggota Prim Haryadi.
“Tapi kan sudah terlanjur ya, jadi kita awasi saja bersama. Dan apabila ada hal-hal yang luar biasa saya kira publik juga sekarang sudah cukup cerdas untuk merespons,” kata Orin.
Orin menyebut, Hakim Agung Ansori harus mencuci dosa masa lalunya dengan menolak permohonan PK dari terpidana kasus suap Izin Usaha Pertambangan (IUP) itu. Pasalnya, dalam permohonan PK Maming tidak ada bukti baru (novum).
“Saatnya hakim MA membuktikan kepada masyarakat atas keberpihakannya pada agenda-agenda pemberantasan korupsi dan mnnjukkan bahwa MA benar-benar independen dan bebas dari kepentingan pihak tertentu,” tutur Orin.
Diketahui, MA mulai memproses PK erpidana kasus korupsi Mardani H Maming. Kabar tak sedap masih menyelimuti PK yang terang-terangan diminta KPK untuk ditolak ini.
Beberapa waktu lalu, sempat dikabarkan bahwa dalam musyawarah hakim 3 September 2024, Ketua Majelis Hakim MA Sunarto keukeuh mengurangi hukuman Maming. Sedangkan, dua hakim anggota, Ansori dan Prim Hayadi menolak karena tidak ada novum baru dalam PK tersebut.
Belakangan, Ansori diduga ikut terpengaruh untuk mengurangi masa hukuman Maming. Penelusuran Inilah.com, Ansori memiliki rekam jejak kurang sedap saat menangani PK terpidana korupsi. Salah satunya membebaskan terdakwa korupsi bos PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk, Samin Tan.
Bebaskan Samin Tan
Ansori bersama dua hakim agung Suharto dan Suhadi pernah menolak kasasi yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi bos PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk, Samintan.
Ansori menguatkan vonis bebas yang diberikan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 30 Agustus 2021.
Ansori dan dua hakim agung lain seperti menutup mata dengan deretan barang bukti yang telah diajukan KPK, termasuk dengan fakta kalau Samintan sempat melarikan diri dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Mei 2020 hingga akhirnya ditangkap oleh Tim KPK pada 5 April 2021.
Hal yang kemudian menjadi catatan koalisi masyarakat sipil sebagai preseden buruk dalam pemberantasan korupsi.
Bebaskan 7 Tersangka Korupsi Pengadaan Kapal Singkil 3
Ansori menjadi salah satu hakim kasasi dalam kasus korupsi pengadaan Kapal Singkil 3 pada Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Aceh Singkil.
Pada putusannya itu, Ansori bersama dengan Eddy Army dan Prim Haryadi bersepakat untuk menolak kasasi yang diajukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Singkil, dan membebaskan tujuh orang terdakwa pada kasus ini.
Melihat catatan itu, nampaknya tidak terlalu mengagetkan, sebab saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR 21 Januari 2020, Ansori terang-terangan menilai penyunatan atau pengurangan hukuman terhadap nara pidana koruptor adalah hal yang biasa-biasa saja.
Menurut mantan hakim ad hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah ini, pengurangan hukuman atas terpidana kasus korupsi merupakan proses hukum alami. Peringanan hukuman, ujar Ansori, bukan berarti tidak berpihak terhadap upaya pemberantasan korupsi atau sebaliknya.
“Apakah keberhasilan pemberantasan korupsi itu bisa diukur dari pemenjaraan? Saya kira tidak. Pemberatan atau penyunatan itu sesuatu yang biasa-biasa saja, yang penting pertimbangan hukumnya harus patut,” ujar Ansori saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Selasa, 21 Januari 2020.